158 views 17 mins 0 comments

2024 Tahun Menguatnya Praktik Otoriter di Indonesia dan Dunia

In Hukum
April 29, 2025

JAKARTA – Laporan tahunan Amnesty International berjudul Situasi HAM di Dunia 2024/2025 mencatat menguatnya praktik-praktik otoriter yang diadopsi oleh negara-negara di dunia termasuk Indonesia.

Di seantero dunia, praktik-praktik otoriter kian menyerang jaminan perlindungan hak asasi manusia dalam hukum nasional maupun hukum internasional.

Fenomena global tersebut terlihat dalam serangan-serangan terhadap supremasi hukum (rule of law), serangan terhadap kebebasan berekspresi dan perbedaan pendapat, penyalahgunaan teknologi yang melanggar hak-hak asasi manusia, diskriminasi terhadap kaum minoritas, hingga ketidakadilan iklim dan ketimpangan sosial ekonomi yang menajam.

Fenomena ini terihat di berbagai negara, mulai dari rasisme sistemik di Israel dan Myanmar, kejahatan perang di Etiopia, Sudan, dan Yaman, hingga kejahatan sangat serius (most serious crimes) di Gaza dan Ukraina.

Bahkan, setidaknya 21 negara mengajukan undang-undang atau rancangan undang-undang yang bertujuan untuk menekan kebebasan berbicara, berekspresi hingga pelarangan terhadap media.

Fenomena serupa terlihat di tingkat nasional seperti di Indonesia. Amnesty mencatat menguatnya praktik otoriter berupa serangan terhadap aturan hukum, termasuk aturan pemilu, serangan terhadap kebebasan berekspresi, pers, dan pelanggaran HAM yang berlanjut termasuk di Papua, pengawasan di luar hukum termasuk melalui penyalahgunaan teknologi yang melanggar HAM, diskriminasi terhadap kelompok minoritas agama dan proyek-proyek pembangunan tanpa partisipasi masyarakat khususnya masyarakat adat.

“Jika penggunaan praktik-praktik otoriter tidak segera dihentikan maka kita bisa menuju pada epidemi pelanggaran HAM, sesuatu yang kita tidak inginkan,” ujar Direktur eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, saat peluncuran laporan tahunan Amnesty International terkait situasi HAM di tahun 2024, di Jakarta, Selasa (29/4/2025).

Serangan terhadap aturan hukum

Jika di tingkat global serangan terhadap aturan hukum tercermin pada kasus Gaza dan Ukraina, maka di tingkat nasional serangan itu tercermin pada kasus Papua.

“Dari Aceh hingga Papua pembunuhan di luar hukum oleh aparat keamanan seakan menjadi norma hukum karena berulangnya kekerasan tersebut selalu diikuti

dengan impunitas yang mengakar. Pembunuhan di luar hukum seakan menjadi endemi yang merata di banyak wilayah setiap tahunnya,” kata Nurina Savitri, Manajer Kampanye Amnesty International Indonesia.

“Otoritas negara harus dengan segera menginvestigasi semua pembunuhan di luar hukum baik oleh aparat maupun aktor-aktor non negara dan membawa pelaku ke pengadilan untuk diadili,” sambung Nurina.

Pembunuhan di luar hukum terus berlanjut di 2025. Amnesty mencatat, dari Januari hingga Desember 2024 terdapat 39 kasus pembunuhan di luar hukum yang tersebar di berbagai kota di Indonesia dengan total 39 korban. Pelakunya mayoritas berasal dari Polri dan TNI.

Data tersebut belum mencakup yang terjadi di Papua, di mana dari Januari hingga akhir Agustus 2024 Amnesty mencatat 17 kasus pembunuhan di luar hukum dengan jumlah 19 korban yang pelakunya berasal dari berbagai aktor seperti TNI/Polri (5),Polri (1),TNI (2) OPM (10) dan OTK (1).

Selain serangan terhadap warga yang berulang dan seolah menjadi norma hukum baru, tahun 2024 diawali oleh reaksi berlebihan aparat terhadap berbagai ekspresi kekhawatiran akan netralitas aparat dan lemahnya integritas pemilu Indonesia. Ada berbagai tindakan pengawasan dan pembatasan ekspresi mahasiswa, aktivis, dan akademisi yang terkait netralitas negara dalam menyelenggarakan pemilu.

Ini tampaknya dipicu oleh perubahan aturan elektoral yang dilakukan Mahkamah Konstitusi pada Oktober 2023, saat-saat di mana tahapan pemilu telah dimulai. Untuk pertama kalinya, integritas dan independensi pemilu Indonesia dipertanyakan.

Kritik bukan hanya datang dari akademisi, aktivis, jurnalis, dan mahasiswa di dalam negeri. Tapi juga datang dari berbagai pihak di luar negeri, termasuk Komite HAM PBB, sebagaimana tertuang dalam sesi resmi observasi penutup pada Maret 2024.

Kritik Komite HAM tertuju pada tindakan Presiden Joko Widodo ketika itu yang dinilai mengubah aturan elektoral melalui Mahkamah Konstitusi untuk mengupayakan agar anaknya, Gibran Rakabuming Raka, menduduki jabatan publik yang tinggi. Seperti termaktub dalam aturan pemilu, Gibran tidak memenuhi persyaratan formal berupa usia minimum untuk menjadi peserta pemilu.

“Ekspresi kritik warga terhadap netralitas pemilu adalah ekspresi yang sah. Wajib dijamin. Partisipasi warga dalam pemilu yang berintegritas juga sangatlah penting. Karena itu Pemilu 2024 menjadi momen ujian besar bagi pelaksanaan kewajiban negara atas hak asasi manusia. Sayangnya Indonesia gagal menjamin integritas elektoral tersebut,” kata Usman.

“Meskipun negara Indonesia mengalami kegagalan memenuhi HAM di 2024, kami akan tetap terus menyuarakan agar pemerintahan baru menjadikan HAM sebagai kunci dari setiap kebijakan yang negara ambil baik di tingkat domestik maupun internasional,” lanjut Usman.