160 views 17 mins 0 comments

2024 Tahun Menguatnya Praktik Otoriter di Indonesia dan Dunia

In Hukum
April 29, 2025

Serangan pada kebebasan berekspresi

Praktik negara masih cenderung terus memenjarakan orang-orang kritis dengan tuduhan menghina, mencemarkan nama baik lembaga, individu maupun pejabat negara atau keluarga mereka di media sosial maupun elektronik.

Dari Januari hingga Desember 2024 Amnesty mencatat 13 pelanggaran kebebasan berekspresi dengan 15 korban yang dituduh melanggar UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Walau sudah direvisi dua kali, UU ITE masih sering digunakan untuk merepresi warga yang menggunakan hak mereka untuk berpendapat.

Hingga memasuki tahun 2025, kriminalisasi terus terjadi walaupun telah ada aturan hukum yang melindungi warga yang ingin berpartisipasi (Anti-SLAPP).

Pada 10 Maret 2025 polisi menangkap seorang aparatur sipil negara dan seorang mahasiswa di Bangka Belitung. Kepolisian menetapkan mereka sebagai tersangka pencemaran nama baik karena memuat konten negatif atas seorang pejabat rumah sakit umum daerah Pangkalpinang di media sosial.

Ada pula Septia Dwi Pertiwi, yang didakwa pencemaran nama baik hanya karena mengkritik pimpinan perusahaan tempat dia bekerja. Dalam putusan 22 Januari 2025, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan Septia tidak bersalah. Namun, pada 17 Februari 2025, jaksa penuntut umum yang mendakwanya dengan UU ITE mengajukan kasasi atas putusan bebas Septia ke Mahkamah Agung.

“Jaksa adalah pengacara negara. Negara seakan ingin mengubah ruang ekspresi menjadi ruang jeruji melalui kriminalisasi ekspresi-ekspresi damai di ruang publik maupun digital,” kata Haeril Halim, Manajer Media Amnesty International Indonesia.

“Pelaporan pidana, apalagi penghukuman pidana, merupakan taktik yang tidak manusiawi untuk membungkam kritik. Kriminalisasi tidak hanya menghukum si korban tapi juga menimbulkan trauma psikologis keluarga mereka,” tambah Haeril.

“Mereka dalam beberapa kasus harus terpisah dari keluarga ketika proses hukum berjalan akibat penahanan dan pemenjaraan. Ini merupakan taktik yang represif dan tidak adil,” kata Haeril.

Pelanggaran HAM yang terus berlanjut

Kekerasan dan pelanggaran HAM oleh aparat keamanan di tahun 2024 mencapai level epidemik. Penggunaan kekuatan berlebihan dan kekerasan yang tidak perlu telah menarget berbagai aksi damai yang merata hampir di seluruh Indonesia.

Selama Januari-Desember 2024, Amnesty mencatat 40 kasus penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi lainnya yang dilakukan oleh aparat negara dengan 59 orang korban. Sebanyak 27 kasus dengan 40 orang korban diduga dilakukan oleh anggota Polri, 12 kasus dengan 18 korban diduga dilakukan oleh personel TNI, dan satu kasus dengan satu korban kasus penyiksaan lainnya diduga dilakukan oleh sebuah kampus kedinasan pelayaran di Jakarta.

Sementara itu dalam rangkaian unjuk rasa #PeringatanDarurat di 14 kota pada 22 sampai 29 Agustus 2024 setidaknya 579 orang menjadi korban kekerasan polisi.

Siklus ini kembali terulang di tahun 2025 saat demonstrasi mahasiswa menolak pengesahan revisi UU TNI di berbagai kota di Indonesia pada bulan Maret. Amnesty mencatat setidaknya 24 kasus kekerasan dengan 221 korban dalam rangkaian demonstrasi selama 21-27 Maret yang berlangsung di tujuh provinsi (Sumatra Utara, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Utara).

Sebagian besar korban, di antaranya, adalah mereka yang ditangkap sewenang-wenang (8 kasus dengan 114 korban), banyak pula korban kekerasan fisik atau intimidasi (15 kasus dengan 66 korban), bahkan ada pula yang dilaporkan sempat hilang sementara (1 kasus dengan 2 korban).

“Impunitas adalah bahan bakar utama keberulangan. Tanpa penghukuman pada anggota maupun mereka yang ada di level komando, siklus kekerasan ini akan terus mewarnai pelanggaran HAM di Indonesia setiap tahunnya,” kata Deputi Direktur Amnesty International Indonesia, Wirya Adiwena.