
Diskriminasi terhadap kelompok minoritas agama
Setidaknya masih terjadi 8 kasus diskriminasi terhadap minorita sagama sepanjang 2024, dalam bentuk penolakan rumah ibadah, penyegelan rumah ibadah, perusakan rumah ibadah, dan intimidasi/larangan beribadah.
Pemerintah Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, melarang Jemaah Ahmadiyah mengadakan pertemuan tahunan Jalsah Salanah Jemaah Ahmadiyah Indonesia yang akan dilaksanakan pada tanggal 6-8 Desember 2024, bertempat di Desa Manislor, Kecamatan Jalaksana, Kabupaten Kuningan.
Sejumlah warga suatu perumahan di Cibinong melarang ibadah perayaan Natal yang dirayakan oleh Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) pada 8 Desember 2024. Sebelumnya terjadi juga aksi penolakan sejumlah masyarakat atas pendirian gereja Mawar Sharon di Pegambiran, Cirebon, pada 2 November 2024.
“Dalam pelanggaran kebebasan beragama pelakunya adalah negara dan aktor non- negara. Negara membiarkan praktik diskriminatif dan intoleran atas kaum minoritas dalam menjalankan agama mereka sesuai keyakinan,” kata Usman.
“Negara tidak boleh terus-menerus membiarkan itu terjadi dan harus tegas menentang segala bentuk intoleransi maupun diskriminasi atas dasar keyakinan agama,” lanjutnya.
Lembaga yudikatif seperti Mahkamah Konstitusi juga bisa memperkeruh permasalahan diskriminasi bagi pemeluk agama dengan memberi interpretasi sempit soal kebebasan beragama dalam putusan MK pada 3 Januari lalu.
Pembangunan proyek ekonomi
Kebijakan pembangunan pemerintah, seperti di tahun-tahun sebelumnya, terlihat tidak menjadikan HAM sebagai landasan utama. Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN) menggerus hak-hak masyarakat adat yang terdampak. Proyek-proyek PSN, dalam banyak kasus, tidak melalui proses persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan dari masyarakat adat setempat.
Atas nama pembangunan, proyek pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) melanggar hak masyarakat adat, salah satunya komunitas Balik dengan ancaman penggusuran yang menghantui mereka sepanjang tahun 2024.
Intimidasi dan kriminalisasi juga mewarnai pelaksanaan PSN Rempang Eco City di Kepulauan Riau. Pada September, satu tahun setelah aparat menghadapi protes warga dengan kekerasan, aparat membiarkan sekelompok orang berpakaian preman menyerang warga yang berjaga di sebuah jalan di desa Sungai Bulu.
Tiga orang warga terluka ketika mereka dipukul dengan papan kayu dan helm. Poster-poster yang mengekspresikan penentangan terhadap proyek tersebut juga dirusak.
“Ini ibarat membangun rumah secara fisik namun penghuni awalnya justru diinjak-injak tanpa menghormati kaidah hak asasi manusia. Ini jelas melanggar aturan HAM nasional maupun internasional,” kata Usman.
Pada September, pemerintah menyiapkan dua kebijakan: Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Kebijakan Energi Nasional (RPP KEN) dan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET). Kedua dokumen ini penting untuk membentuk kebijakan energi Indonesia.
Organisasi masyarakat sipil menyuarakan keprihatinan mereka terhadap kedua RUU tersebut, dan meyakini bahwa kedua RUU tersebut masih belum memadai untuk transisi menuju emisi nol bersih.
Dalam RPP KEN, pemerintah menurunkan target bauran energi terbarukan, menyesuaikan target tahun 2025 dari 23% menjadi sekitar 17-19%, dan untuk tahun 2030 dari 26% menjadi sekitar 19-21%.
RUU EBET masih mengizinkan pengembangan bahan bakar fosil, asalkan disertai teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon. Selain itu, kedua dokumen tidak memiliki pertimbangan dampak sosial, sehingga menimbulkan kekhawatiran akan perampasan lahan lebih lanjut untuk proyek-proyek energi dan memperpanjang ketidakadilan bagi masyarakat.*
Baca juga: Amnesty International Indonesia: Bebaskan Delapan Warga Masyarakat Adat Sikka
