
JAKARTA – Pada tanggal 8 Desember 2024, pasukan pemberontak Suriah dari kelompok Islamis Hayat Tahrir Al-Syam (HTS) pimpinan Ahmed Hussein al-Sharaa atau lebih dikenal dengan nama alias “Abu Mohammad al-Julani.” merebut Damaskus dan secara resmi mengakhiri pemerintahan Bashar al-Assad. Bashar al-Assad sendiri diketahui pergi meninggalkan Suriah dan bertolak menuju ke Moskow.
Perubahan geopolitik di Timur Tengah terjadi secara tiba-tiba dan mengejutkan banyak pihak. Tidak terbayangkan rezim al-Assad yang berkuasa hamper 54 tahun, digulingkan hanya dalam waktu 11 hari. Mulai dari direbutnya Kota Aleppo pada tanggal 2 Desember 2024, hingga akhirnya ke Ibukota Suriah, Damaskus pada 8 Desember 2024. Aleppo mulai diserang pemberontak pada 29 November 2024 dan dapat dikuasai cukup dalam peperangan selama 3 hari.
Al-Julani kini tampil sebagai pemimpin baru Suriah dan dunia menantikan bagaimana arah , ia menampilkan dirinya dengan branding “Zelenskyynya dunia Arab” dan hal ini terlihat dari penataan pakaian hingga jenggotnya. Bisa dipahami mengapa al-Julani menggunakan branding seperti ini, Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy dianggap antitesis dari Presiden Rusia Vladimir Putin yang dianggap membekingi kekuasaan Bashar al-Assad. Kemenangan al-Julani memberi kesan bahwa Rusia dapat dikalahkan, begitu juga Iran dan Hezbollah yang juga membekingi kekuasaan Bashar al-Assad.
Kemenangan al-Julani mendapatkan sambutan hangat dari kalangan Islamis khususnya dari kalangan Islamis Sunni di dunia, terutama kalangan Islamis Sunni dari Indonesia banyak yang berharap besar akan kemajuan Suriah di bawah pimpinannya dan berharap Suriah akan menerapkan syariat Islam, serta akan menjadi negara Islam yang adil dan Makmur. Suatu anggapan yang sangat naif menurut saya.
Sayangnya bagi saya sendiri yang sudah lama memperhatikan dinamika politik di Timur Tengah dan juga saya sedari lama mempelajari sejarah bangsa Arab, juga saya sendiri berasal dari etnis Arab-Indonesia, hal ini membuat saya tidak berharap banyak terhadap Suriah. Dari proses pengambil alihan kekuasaan oleh al-Julani, saya menyimpulkan akan terjadi Perang Saudara ke-II di Suriah. Tentunya analisa ini bukan berasal dari ramalan, sumber klenik, pseudosains, ataupun teori konspirasi, tentu saja bukan—semua itu didapat dari analisa yang sepenuhnya ilmiah.
Kita bisa melihat rezim Muammar Gaddafi di Libya dan rezim Ali Abdullah Saleh di Yaman yang sama-sama digulingkan oleh gelombang “Arab Spring”. Yang terjadi di sana malahan bukannya konflik berakhir dan terjadi proses demokratisasi seperti yang diharapkan oleh kelompok oposisi, melainkan perang saudara kedua, yakni perang saudara antar faksi yang menggulingkan rezim diktator.
Bukan tidak mungkin hal tersebut juga bisa terjadi di Suriah, sebab sudah ada contoh dua negara Arab yang diktatornya sama-sama jatuh lewat perang saudara seperti di Yaman dan Libya. Antar faksi yang menggulingkan hanya berfokus menggulingkan diktator, tanpa memikirkan lebih lanjut arah ke depan bangsanya mau bagaimana dan bagaimana pembagian kekuasaan antar faksi yang berkuasa.
Menggulingkan diktator bagi banyak kelompok pemberontak tersebut hanya semata sentimen kebencian dan balas dendam, tanpa pertimbangan jangka panjang mengenai ideologi negara kedepannya, narasi kebangsaan apa yang harus diciptakan untuk menggantikan narasi yang sudah ada, dan juga arah pembangunan bangsa ke depannya serta rekonsiliasi pasca perang. Apakah hal tersebut juga akan terjadi di Suriah? Tentu saja bila kita melihat proses perebutan kekuasaannya.
Abu Mohammad al-Julani
Mengapa di Libya dan Yaman transisi menuju demokrasi tidak menghasilkan demokratisasi serta rekonsiliasi pasca-konflik, malahan menciptakan perang saudara baru? Malahan di Libya situasinya lebih buruk pasca Gaddafi berkuasa terjadi tigalisme, hingga kemudian dualisme dan baru terjadi pemerintahan bersatu pada tahun 2023.
Antarfaksi yang bertikai sendiri memiliki bohir negara-negara yang berbeda, bahkan antar negara di Blok Barat saja mendukung faksi yang berbeda dan punya kepentingan sendiri di Libya, tanpa saya sangka ada negara Barat yang satu faksi dengan negara Blok Timur untuk proxy mereka di Libya.
Saya ambil contoh kubu Faksi Tobruk, didukung oleh Rusia, Prancis, dan Arab Saudi. Faksi Tripoli malahan didukung oleh Qatar, Turki, dan Iran. Kita bisa melihat negara yang berbeda aliansi geopolitiknya, bisa ketemu kepentingannya di Libya. Ketika terjadi dualisme pemerintahan untuk waktu hampir 10 tahun, tidak mudah untuk mempersatukannya sebab untuk mempersatukannya harus melibatkan perundingan antar negara yang menjadi bohir faksi yang bertikai tersebut. Mereka semua hanya pion kekuatan yang lebih besar.
Pertama-tama kita harus melihat proses pengambil alihan kekuasaan di Suriah. Bila kita melihat proses bagaimana Damaskus bisa ditaklukkan oleh HTS pimpinan al-Julani, kita bisa melihat rezim Assad memang sedang melemah akibat banyak instalasi militer vital yang menyokong rezimnya diserang oleh serangan udara serta drone oleh Israel dan Amerika Serikat, bukan saja instalasi militer rezim Assad namun juga penyokongnya yakni Iran dan Hezbollah. Terlebih lagi Israel melakukan serangan yang menewaskan Pemimpin Hezbollah, Hassan Nasrallah.
Pada saat yang sama Rusia sendiri sedang sibuk atas peperangannya di Ukraina, sehingga Rusia sendiri terpecah fokus dan tidak bisa melindungi sekutu terdekatnya di dunia Arab tersebut. Iran sendiri sedang dalam perang proxy dengan Israel, bahkan menghadapi banyak serangan balasan serius dari Israel terhadap proxy Iran di Lebanon, Irak, Yaman, bahkan ada juga serangan ke Iran pada Oktober 2024.
Hal ini tentunya menyita energi Iran, belum lagi juga masalah dalam negeri Iran sendiri pasca kematian Presiden Ebrahim Raisi pada 19 Mei 2024 dan juga perjuangan Iran untuk mempertahankan ekonominya di tengah embargo dan potensi instabilitas politik dalam negerinya.
Pada saat terjadi perang proxy ini Turki melihat kesempatan dari melemahnya kekuasaan al-Assad dengan melihat banyak instalasi militer vitalnya yang hancur, tentu membutuhkan waktu bagi rezim Assad membangun ulang kekuatan militernya dan juga negara sekutunya seperti Iran serta Rusia butuh waktu juga untuk membantu al-Assad.
Ketika semuanya sedang lengah, para pemberontak melihat peluang besar untuk menyerang rezim yang sedang lemah. Turki selaku salah satu bohir pemberontak Islamis memberi lampu hijau untuk al-Julani dan koalisi kelompok pemberontak Islamis melakukan serangan ke Aleppo pada 29 November 2024 hingga akhirnya bisa merebut Damaskus pada 8 Desember 2024. Serangan tak terduga tersebut, membuat Bashar al-Assad kemudian kabur ke Moskow.
Al-Julani kini dianggap sebagai pemimpin de facto Suriah karena ia menguasai ibukota. Namun ia bukan satu-satunya faksi pemberontak yang dominan, banyak wilayah yang dikuasai oleh kelompok pemberontak yang berbeda dengan ideologi berbeda yang disokong juga oleh negara-negara berbeda.
Misalkan Turki mendukung Syrian National Army (SNA) dan melakukan pendudukan di wilayah Suriah Utara. Juga seluruh wilayah bagian utara Suriah tidak sepenuhnya dikuasai SNA, wilayah utara lainnya serta timur Suriah dikuasai oleh pemberontak etnis Kurdi dan minoritas Assyria yang tergabung dalam Syrian Democratic Forces (SDF) yang didukung oleh Inggris, Amerika Serikat, dan diduga ada dukungan Israel yang ditengarai ada agenda tersembunyi untuk mendukung Kurdistan untuk melemahkan kekuatan bangsa Arab.
Namun dukungan negara-negara Barat untuk SDF sembunyi-sembunyi, sebab Turki yang juga anggota NATO terganggu dengan adanya pemberontak Kurdi yang dianggap mengancam kedaulatannya, serta SDF dianggap sekutu pemberontak Kurdi di Turki sendiri.
Walau bagaimana pun Turki juga anggota aliansi militer Blok Barat, NATO maka Amerika Serikat tidak bisa terang-terangan mendukung SDF karena tidak enak hati dengan Turki. Juga ada pemberontak Syrian Free Army (SFA) yang memegang wilayah bagian tenggara Suriah. SFA didukung terang-terangan oleh Amerika Serikat, bahkan Amerika Serikat punya benteng dan pangkalan militer di wilayah yang diduduki oleh SFA. SFA sendiri berideologi sekuler-liberal, berbeda dengan HTS dan koalisi pemberontak Islamis pimpinan al-Julani. Belum lagi terdapat wilayah yang dikuasai oleh ISIS.
Wilayah yang dikuasai HTS dan koalisinya masuk ke dalam pengaruh Turki, tentunya tidak mungkin HTS dan koalisinya berani menyerang tanpa seizin Turki. Presiden Terpilih AS Donald Trump pada 16 Desember 2024 menyatakan bahwa Turki melakukan “unfriendly takeover” di Suriah. Pernyataan ini membuktikkan asumsi bahwa Turki berada di balik penggulingan Bashar al-Assad.
Masalah ini baru faksi pemberontak yang berbeda, belum lagi pendudukan militer asing di Suriah. Masih terdapat pangkalan laut dan militer Rusia di Tartus, juga pasukan Israel sudah merangsek masuk ke luar wilayah Dataran Tinggi Golan, dan terdapat pangkalan militer Amerika Serikat di wilayah tenggara Suriah. Tentunya negara lain yang sudah menguasai Suriah, tidak mau semudah itu menarik tentaranya dari Suriah. Mereka akan tetap bermain hingga siapa yang berkuasa sesuai kepentingan mereka.
Abu Muhammad al-Julani menyatakan mereka tidak akan mengganggu pangkalan militer Rusia di Tartus, pernyataan ini dikeluarkan agar Rusia tidak melakukan serangan balasan dan menyokong pemberontakan loyalis al-Assad. Tentu janji al-Julani bukan hal yang bisa dipegang, bisa saja ada negara lain yang menyuruh agar pangkalan itu ditutup dan berani memberi sokongan finansial serta dukungan diplomatik yang besar dengan syarat Rusia diusir dari Suriah. Bukan hal tidak mungkin hal itu bisa terjadi.
Jalan terjal
Setelah suatu rezim runtuh, perlu adanya pemerintahan transisi yang mengatur bagaimana arah masa depan suatu bangsa. Arah masa depan ini termasuk juga narasi kebangsaannya, ideologinya, bila perlu konstitusi baru untuk masa depan negara tersebut. Membentuk pemerintahan transisi bukanlah hal yang mudah, sebab terdapat banyak kepentingan yang bermain dan juga kue yang harus dibagi. Lain ceritanya bila pemberontak yang meruntuhkan suatu rezim merupakan kelompok sangat dominan dan kuat, juga memiliki pemimpin tunggal yang memiliki legitimasi kuat.
Dalam sejarah contoh ini dapat dilihat lewat Partai Komunis Cina (PKC) di bawah pimpinan Mao Zedong yang mendeklarasikan berdirinya Republik Rakyat Tiongkok yang berideologi komunis pada 1 Oktober 1949. Pada saat Mao mendeklarasikan Tiongkok sebagai negara komunis, Mao sudah menguasai hampir seluruh wilayah Tiongkok sehingga posisinya sudah sangat kuat. Kendati memiliki jutaan tentara yang siap mati untuknya, Mao tetap melakukan rekonsiliasi dengan orang-orang dari rezim lama hal ini dapat dilihat dalam film The Founding of a Republic (2009).
Di dalam film yang dibintangi Jackie Chan, Jet Li, dan Andy Lau tersebut terlihat Mao melakukan pendekatan terhadap orang-orang rezim lama, bahkan ia melobi janda Sun Yat-Sen, Soong Ching-ling untuk masuk pemerintahan baru yang dipimpin Mao. Sikap bijaksana Mao yang merangkul beberapa orang lama untuk bergabung dengan pemerintahannya, cukup mengagetkan saya.
Mao tidak menghabisi total orang-orang lama di pemerintahan Chiang Kai-shek dan mengajak orang yang ia anggap perlu. Padahal kekuatan Mao saat itu sangat kuat sekali, ia bisa membentuk pemerintahan baru tanpa rekonsiliasi dengan orang-orang lama, tetapi Mao tidak melakukan itu.
Walhasil Mao berhasil melakukan transisi pemerintahan dengan sangat mulus, sebab banyak posisi kunci diberikan kepada orang-orang PKC dan banyak juga orang-orang dari rezim lama yang akhirnya bergabung dengan PKC. Juga terjadi rekonsiliasi, sebab Mao hanya menghabisi orang yang ia anggap perlu dihabisi dan tidak menghabiskan energi untuk menghadapi perlawanan dari sisa-sisa kekuatan lama. Syahdan dalam waktu singkat tepatnya tahun 1950, Mao Zedong sudah berhasil mencengkram seluruh wilayah mainland Tiongkok.
Abu Mohammad al-Julani tentunya harus melakukan dialog nasional dengan semua faksi untuk transisi pemerintahan dan rekonsiliasi antar faksi, bukan hanya faksi pemberontak namun juga dengan orang-orang rezim lama serta simpatisannya. Bila ada yang perlu diadili atas kejahatan di masa silam, hanya orang-orang penting di pemerintahan rezim al-Assad, jangan bersikap barji tibeh (bubar siji, tibo kabeh) atau bubar satu, bubar semua.
Sayangnya hal ini bukanlah hal yang mudah, karena kecendrungan bangsa Arab yang gengsi bila ada konflik antar kelompok ataupun negara Arab, kemudian mediatornya sama-sama orang Arab; seringkali ada harga diri yang terlukai. Hal ini pernah terbukti dalam Perang Saudara Aljazair yang pecah pada tahun 1992, faksi yang bertikai dalam perang saudara tersebut berunding di Roma, Italia. Begitu juga konflik Hamas – Fatah di Palestina, baru terjadi rekonsiliasi setelah dimediasi Tiongkok di Beijing 2024.
Perundingan sebelum-sebelumnya yang dimediasi Mesir, kemudian Arab Saudi, Yaman, Qatar, semuanya gagal total. Nampaknya bangsa Arab lebih percaya apabila mediatornya bukan orang Arab dan juga bukan orang Islam, karena dianggap bebas kepentingan.
Orang Islam juga tidak selalu didengarkan, karena mazhab Islam antar negara berbeda, jadi negara Islam juga walaupun bukan Arab dianggap ada kepentingan karena perbedaan mazhab. Itu sebabnya beberapa kali Indonesia mencoba beberapa kali menjadi menawarkan diri untuk menjadi mediator konflik Timur Tengah, seringkali gagal karena tidak memahami hal ini.
Rekonsiliasi ini akan mudah seandainya antar faksi yang bertikai tidak ada backing dari kekuatan asing di belakangnya, sayangnya setiap faksi punya. Hal ini perlu disikapi dengan hati-hati. Al-Julani perlu mengajak berunding dengan para backing tersebut sebelum berunding dengan pimpinan faksi pemberontak.
Sikap normatif al-Julani dalam setiap wawancara dengan jurnalis asing, sudah tepat. Dia tidak terpancing dengan pertanyaan provokatif jurnalis Arab Saudi ataupun jurnalis negara Barat, ia jawab semuanya dengan hati-hati. Namun dunia tidak akan sepenuhnya percaya dengan pernyataan al-Julani tanpa ada aksi nyata yang mencermikan pernyataannya tersebut.
Juga perlu dipikirkan mengenai populasi minoritas non-Muslim baik itu umat Kristen dan Druze di Suriah yang jumlahnya tidak sedikit. Banyak dari non-Muslim di Suriah yang mendukung al-Assad sebab rezim al-Assad sekuler dan menjamin kebebasan beragama, bahkan non-Muslim menduduki posisi menteri hingga beberapa jabatan penting di pemerintahan al-Assad.
Selama Assad berkuasa natal dirayakan di tv nasional Suriah dan saya sendiri pernah menonton acara perayaan natal di TV Suriah lewat parabola rumah saya sekitar tahun 2010. Hal ini mengingatkan saya dengan rezim Ba’ath di Irak di bawah kepemimpinan Saddam Hussein yang juga sangat toleran dengan non-Muslim, bahkan tangan kanan Saddam Hussein yakni Menlu Tariq Aziz adalah seorang Katolik. Setelah Saddam Hussein jatuh dan terjadi instabilitas serta kekacauan luar biasa di Irak, banyak umat Kristen Irak eksodus ke negara-negara Barat hingga Amerika Latin.
Sehingga kini jumlah umat Kristen tidak sebanyak era Saddam Hussein, ditaksir dulu sebelum Invasi Irak 2003 ada sekitar 10 – 12% orang Kristen di Irak. Kini jumlahnya cuma sekitar 1 – 4% menurut data yang dilansir di situs CIA World Factbook 2024.
Selama Perang Saudara Suriah sejak 2011, sudah terdapat banyak laporan tempat ibadah non-Muslim hingga terjadi pembunuhan serta pemerkosaan terhadap non-Muslim terutama oleh ISIS. Banyak komunitas Kristen Suriah yang kemudian eksodus ke negara-negara Barat, di mana mereka diterima dengan baik di sana oleh karena kesamaan agama. Genosida terhadap non-Muslim ataupun persekusi terhadap non-Muslim akan menyulut kecaman dan sanksi dunia internasional.
Apabila pemerintahan baru Suriah bisa menjamin kebebasan beragama sebagaimana al-Assad memperlakukan komunitas non-Muslim atau malahan lebih baik dari al-Assad tentunya pemerintahan baru ini akan mendapatkan pujian dari dunia internasional. Sebab dunia internasional, terutama dunia Barat ataupun Rusia sendiri berkepentingan atas keselamatan non-Muslim di Suriah.
Putin sendiri menyatakan ketika ia membantu al-Assad, ia berkepentingan melindungi umat Kristen di Suriah. Hal ini wajar mengingat kebanyakan umat Kristen di Suriah adalah Kristen Ortodoks Timur yang satu aliran dengan Rusia, meski terdapat juga aliran lain seperti Ortodoks Oriental, Katolik, dan Protestan. Ditaksir sebelum perang terdapat sekitar 10% umat Kristen di Suriah.
Belum lagi komunitas Nushairiyah (Alawite) di mana keluarga al-Assad berasal dari komunitas itu, kelompok ini meski dianggap sebagai bagian dari aliran Islam Syi’ah namun dianggap sesat oleh banyak teolog Sunni dan Syi’ah. Kelompok Nushairiyah selama ini diasosiasikan dengan Bashar al-Assad, juga hampir semuanya mendukung al-Assad dan menjadi minoritas dominan di pemerintahan Bashar al-Assad.
Juga terdapat kelompok Syi’ah 7 Imam (Ismailiyah) dan Syi’ah 12 Imam (Ja’fari). Semua total Nushairiyah, dengan kelompok Syi’ah lainnya ditaksir sekitar 13% sebelum perang. Juga terdapat penganut agama Druze sekitar 3%. Kebanyakan kelompok non-Muslim, Nushairiyah, dan Syi’ah mayoritas mendukung Bashar al-Assad, sebab kebijakan sekulerisme dan pluralisme agama rezim Assad.
Mereka adalah kelompok potensial menjadi sasaran balas dendam oleh kelompok garis keras, karena berpotensi dianggap pengkhianat. Tentunya hal ini harus dipikirkan, perlu adanya rekonsiliasi yang mengajak kelompok minoritas untuk membangun Suriah baru. Bila tidak terjadi maka yang ada Suriah akan jatuh ke dalam konflik horizontal, sebab kelompok minoritas yang ditindas tidak akan diam dan pasti akan melawan. Situasi ini berbeda dengan di Yaman dan Libya, di mana jumlah non-Muslim hanya sekitar nol koma hingga 1 satu persen.
Ketika para pemberontak menggulingkan suatu rezim, sudah tentu mereka ingin mengadili dan menghukum pemimpin sebelumnya dan kroni-kroninya. Di sini Abu Mohammad al-Julani harus selektif, tidak semua orang dibabat habis. Cukup mereka yang memegang posisi kunci. Harus diadakan dialog rekonsiliasi nasional antar semua faksi pemberontak, juga dengan elite maupun simpatisan rezim lama.
Mereka juga harus dilibatkan dalam pemerintahan transisi, supaya cita-cita untuk menciptakan Suriah yang demokratis serta adil dan makmur dapat tercapai. Bila transisi pemerintahan tidak tercapai dengan baik dan tiadanya rekonsiliasi untuk menciptakan “konsensus nasional” di Suriah, maka cita-cita Suriah baru yang demokratis, stabil, dan adil makmur tidak akan tercapai.
Maka bukan tidak mungkin perang saudara kedua di Suriah dapat terjadi. Bila terjadi instabilitas dan konflik akibat kegagalan mencapai konsensus nasional, maka nasib terbaik yang bisa dicapai oleh Suriah adalah seperti di Libya, di mana terjadi dualisme kepemimpinan hingga perang saudara kedua.
Nasib terburuk adalah Afghanistan pasca invasi Uni Soviet dan Somalia pasca runtuhnya rezim Siad Barre, di mana terdapat banyak kelompok perlawanan sporadis (insurgent) yang merongrong kekuasaan pemerintahan dan tidak adanya pemerintahan pusat yang kuat dan stabil yang diakui oleh dunia internasional. Bila hal itu terjadi maka Suriah menjadi negara gagal dan tidak adanya pemerintahan pusat yang kuat serta diakui dunia internasional.*
Irsyad Mohammad, Alumni Ilmu Sejarah Universitas Indonesia, Pengamat Timur Tengah dan Penyair.