188 views 20 mins 0 comments

Membangun Pribadi Berintegritas

In Kolom
March 31, 2025

JAKARTA – Marilah dalam kesempatan mengawali bulan Syawal 1446 H/2025 M ini, kita bersama-sama meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah SWT dengan senantiasa berusaha melaksanakan segala perintah-Nya dan terus berupaya meninggalkan larangan-Nya.

Hari ini seluruh semesta bertakbir, mengagungkan asma Allah SWT, dan pada saat yang sama kita mengakui akan kecilnya kita di hadapan Sang Maha Pencipta, seberapa tinggi kekuasaan dan jabatan kita.

Di hari yang fitri ini, umat Islam seluruh dunia menyambutnya dengan penuh suka cita. Gema takbir mengumandang di seluruh jagad. Jutaan suara manusia, desiran ombak, tiupan angin, gerakan tetumbuhan, binatang, semuanya mengumandangkan takbir memuji kebesaran-Nya.

“Dan hendaknya kamu bertakbir mengagungkan nama Allah atas hidayah yang diberikan padamu dan semoga kamu bersyukur.”  (QS. al-Baqarah: 185).

Alhamdulillah, selama sebulan penuh kita berada di Madrasah Ramadhan, sebuah kawah candradimuka untuk penempaan diri sebagai pembuktian ketaatan dan ketertundukan kita kepada Ilahi Rabbi. Hubungan hamba dengan Rabb-nya, yang dimanifestisakan dalam komitmen menjalankan kewajiban.

Puasa Ramadhan mengajarkan kedisiplinan soal waktu, mengajarkan kejujuran, mengajarkan keikhlasan, menghindarkan diri dari yang syubhat dan meragukan; membangun empati dan solidaritas kepada sesama, dengan komitmen berbagi untuk kebahagiaan bersama. Semua nilai-nilai luhur itu ditanamkan dengan pola pembiasaan, selama penuh satu bulan.

Hari ini kita masuk pada fase inaugurasi, hari raya Idul Fitri, menandai berakhirnya pelatihan diri. Jika dilakukan dengan penuh keimanan dam keikhlasan, maka dosa kita akan diampuni oleh Alah SWT.

Dalam hadits yang sangat terkenal disebutkan, “Barang siapa yang berpuasa Ramadhan dengan penuh iman dan mengharap Ridha Allah, dosanya yang telah lampau diampuni.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Jika telah diampuni, maka diri kita kembali kembali ke fitrah dan jati diri, jati diri kemanusiaan kita saat dilahirkan, sebagaimana dijelaskan dalam hadis lainnya. “Barang siapa saja yang berpuasa dan qiyam Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharap ridha Allah maka dia akan keluar seperti orang yang baru dilahirkan ibunya.”

Ini berarti orang tersebut kembali kepada fitrahnya. Inilah mengapa hari raya sesudah puasa disebut sebagai Idul Fitri, yang artinya kembali kepada fitrahnya atau kembali kepada kesuciannya, sebagaimana suci bayi. Kita berharap mudah-mudahan semua ibadah kita selama satu bulan itu diterima dan dicatat oleh Allah swt sebagai amal saleh dan ikhlas semata-mata karena Allah.

Setelah sebulan kita melaksanakan ibadah ramadhan, dan setelah melaksanakan Takbir sebagai pengagungan asma Allah SWT serta ibadah zakat fitri, maka kita semua hari ini berharap dapat menyempurnakan ibadah dengan berhari raya idul fitri. Esensi dari Idul Fitri di bulan Syawwal ini adalah semangat saling memaafkan, kerelaan hati untuk mengakui kesalahan untuk kemudian membuka diri untuk saling memberi dan menerima.

Sikap saling memaafkan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan ibadah puasa. Ibadah puasa mempunyai tujuan penciptaan pribadi yang taqwa, sementara sifat pemaaf mendekatkan pada ketaqwaan, sebagaimana firman-Nya: “Dan permaafan kamu itu lebih dekat pada taqwa, dan janganlah kau lupakan keutamaan antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui atas apa yang kamu lakukan.

Dengan demikian, kesempurnaan fitrah yang kita harapkan ini adalah dengan saling memberikan maaf antar sesama, sebesar apapun dosa itu. Penghapusan dosa kepada Allah jauh lebih mudah dari pada dosa kepada manusia. Hal ini karena manusia mempunyai kecenderungan untuk tidak berbuat baik, akibat nafsunya. Untuk itu, melalui momentum ‘Idul Fitri, kita buka pintu maaf seluas-luasnya, kepada siapapun, dengan tanpa syarat apapun.

Idul Fitri merupakan sebuah inaugurasi atas kesucian diri, setelah penempaan mental spiritual kita secara pribadi, menjadi pribadi dengan keimanan kuat, keyakinan kokoh, dan hati yang bersih. Instrumen ibadah Ramadhan dan Idul Fitri itu harus menjelma dalam integritas diri; dalam ucapan dan tindakan, yang senantiasa melahirkan kebaikan bagi sesama. Bukan hanya kepada sesama manusia, tetapi kepada sesama makhluk ciptaan-Nya.

Integritas diri yang dihasilkan dari Ibadah Ramadhan setidak meliputi tiga hal; (i) komitmen menjaga lisan; (ii)  komitmen kejujuran dan kedisiplinan; serta (iii) menjaga diri dari yang syubhat dan melanggar etika.

Yang pertama, integritas diri dimulai dengan komitmen menjaga lisan kita agar selalu berkata benar, adil, dan tidak menipu. Hubungan kita dengan Allah dan hubungan kita dengan sesama harus seimbang, tidak boleh timpang. Dengan Allah SWT baik, rajin shalat dan seluruh ibadah mahdlah terlaksananya secara baik, tapi dengan kerabat, tetangga, ataupun sahabat kurang baik, ini tidak dibenarkan.

Puasa kita akan sia-sia sungguhpun kita tunaikan secara baik, seluruh syarat rukunnya kita jaga, jika ternyata kita tidak menjaga lisan dan tindakan kita menyakiti sesama. Peringatan Nabi SAW,

“Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan kotor, maka Allah SWT tidak butuh dia meninggalkan makan dan minum.

Dalam praktek kehidupan keseharian kita, seringkali kehormatan dan keselamatan diri terletak pada kemampuannya dalam mengendalikan lisan. Dalam maqolah arab disebutkan: “Keselamatan manusia itu terdapat pada ia menjaga lisannya.”

Ini menunjukkan kepada kita bahawa ketika seseorang mampu menjaga lisannya  dari perkataan yang tidak baik maka ia akan selamat, baik hidup di dunia maupun di akhirat, dan sebaliknya ketika seseorang tidak mampu menjaga lisannya dari perkataan yang tidak baik, maka hidupnya tidak akan selamat, baik hidup di dunia maupun hidup di akhirat.

Selain itu, Nabi Muhammad SAW bersabda, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaknya katakanlah perkataan yang baik, atau lebih baik diam.”