
JAKARTA – Pariwisata berkelanjutan yang inklusif telah menjadi visi global untuk menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi, pelestarian lingkungan, dan pemberdayaan masyarakat lokal. Di Indonesia, salah satu pendekatan strategis untuk mewujudkan visi ini adalah melalui penerapan kebijakan Total Komponen Produk Lokal (TKPL) dalam rantai pasok industri pariwisata.
TKPL mengacu pada persentase produk dan jasa lokal—seperti bahan baku, tenaga kerja, dan layanan—yang digunakan dalam operasional pariwisata. Dengan menjadikan TKPL sebagai alat ukur dan monitoring, destinasi pariwisata dapat memastikan bahwa manfaat ekonomi tetap berada di wilayah lokal, lingkungan terjaga, dan masyarakat terlibat secara aktif. Tulisan ini akan menguraikan pentingnya TKPL, mekanisme penerapannya, tantangan yang dihadapi, serta urgensi penguatan regulasi daerah untuk mendukung keberhasilannya.
TKPL berfungsi sebagai indikator kinerja yang mengukur sejauh mana rantai pasok pariwisata mengandalkan sumber daya lokal. Misalnya, restoran di destinasi wisata dapat memprioritaskan penggunaan produk pertanian organik dari petani lokal, sementara homestay dapat memanfaatkan bahan bangunan seperti bambu atau kayu daur ulang yang diproduksi di daerah tersebut.
Selain itu, atraksi wisata seperti tur budaya atau pertunjukan seni dapat melibatkan seniman dan pemandu lokal, memperkuat identitas budaya sekaligus memberikan peluang ekonomi. Dengan memaksimalkan komponen lokal, TKPL tidak hanya mengurangi ketergantungan pada produk impor—yang sering kali meningkatkan jejak karbon akibat transportasi jarak jauh—tetapi juga memastikan bahwa pendapatan dari pariwisata mengalir ke komunitas lokal, termasuk kelompok marginal seperti perempuan dan pemuda.
Manfaat TKPL bagi pariwisata berkelanjutan sangatlah signifikan. Secara ekonomi, TKPL dapat mengurangi kebocoran ekonomi hingga 30-50% dengan memperkuat peran usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) sebagai pemasok barang dan jasa. Dari perspektif lingkungan, penggunaan produk lokal meminimalkan emisi karbon dan mendorong praktik ramah lingkungan, seperti penggunaan bahan baku biodegradable.
Secara sosial, TKPL menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan keterampilan masyarakat lokal melalui pelatihan, sehingga mendukung inklusivitas. Selain itu, promosi produk dan atraksi berbasis kearifan lokal memperkuat pelestarian budaya, menjadikan pariwisata sebagai alat untuk menjaga identitas daerah. Sebagai alat monitoring, TKPL memberikan transparansi melalui metrik terukur, memungkinkan pemangku kepentingan untuk mengevaluasi efektivitas program pariwisata berkelanjutan.
Penerapan TKPL memerlukan pendekatan terstruktur yang melibatkan regulasi, peningkatan kapasitas, dan teknologi. Pada tahun 2021, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif melalui Deputi Bidang Industri dan Investasi pada saat itu melaksanakan Pilot Project TKPL di Mandalika, Lombok, bekerja sama dengan Pullman Hotel. Proyek ini menunjukkan bagaimana hotel dapat mengintegrasikan produk lokal, seperti tenun khas Lombok untuk suvenir dan bahan makanan dari petani setempat, dalam operasional mereka.
Keberhasilan proyek ini menjadi bukti bahwa TKPL dapat diterapkan secara praktis, namun memerlukan dukungan regulasi yang kuat. Mengingat bahwa kebijakan pariwisata di daerah merupakan kewenangan pemerintah daerah setempat, payung regulasi yang lebih tepat untuk menaungi implementasi TKPL adalah Peraturan Daerah (Perda), Peraturan Gubernur (Pergub), atau Peraturan Bupati (Perbup). Regulasi ini dapat mewajibkan pelaku usaha pariwisata mencapai persentase TKPL minimum tertentu yang ditetapkan, serta menyediakan insentif seperti keringanan pajak bagi yang memenuhi standar.
Mekanisme pengukuran dan monitoring TKPL harus dirancang dengan cermat untuk memastikan efektivitasnya. Indikator utama meliputi persentase nilai ekonomi produk lokal dalam rantai pasok, jumlah tenaga kerja lokal yang dipekerjakan, dan kontribusi UMKM sebagai pemasok. Audit rantai pasok secara berkala, pelaporan berbasis platform digital, dan survei komunitas dapat digunakan untuk mengumpulkan data.
Teknologi seperti blockchain dapat meningkatkan transparansi dengan melacak asal-usul produk, sementara Internet of Things (IoT) dapat memantau efisiensi penggunaan sumber daya. Dashboard keberlanjutan yang menampilkan capaian TKPL secara real-time akan memudahkan pemantauan oleh pemerintah daerah, pelaku usaha, dan masyarakat. Forum rutin dengan komunitas juga penting untuk mengidentifikasi kendala dan peluang perbaikan, memastikan bahwa kebijakan TKPL responsif terhadap kebutuhan lokal.
Meskipun menjanjikan, implementasi TKPL menghadapi sejumlah tantangan. Kualitas produk lokal sering kali belum memenuhi standar industri pariwisata, sementara kapasitas pemasok lokal terbatas untuk memenuhi permintaan skala besar. Selain itu, pelaku usaha besar mungkin enggan beralih dari pemasok non-lokal yang sudah mapan. Untuk mengatasi ini, pemerintah daerah dapat menyediakan pelatihan dan sertifikasi bagi UMKM, membentuk koperasi untuk meningkatkan skala produksi, dan menawarkan insentif pajak atau promosi bagi bisnis yang mengadopsi TKPL.
Kurangnya data untuk monitoring dapat diatasi dengan melibatkan akademisi dan mengembangkan sistem pelaporan berbasis teknologi. Contoh keberhasilan, seperti Desa Wisata Nglanggeran di Yogyakarta yang memanfaatkan produk lokal untuk kuliner dan suvenir, menunjukkan bahwa tantangan ini dapat diatasi dengan komitmen dan kolaborasi lintas sektor.
Penerapan TKPL tidak hanya memperkuat pariwisata berkelanjutan, tetapi juga mendukung pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya SDG 8 (Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi) dan SDG 12 (Konsumsi dan Produksi Berkelanjutan). Dengan regulasi daerah yang jelas, seperti Perda atau Pergub, serta dukungan dari pemerintah, pelaku usaha, dan komunitas, TKPL dapat menjadi katalis untuk menciptakan destinasi pariwisata yang inklusif, ramah lingkungan, dan berdaya saing.
Pilot Project TKPL di Mandalika telah membuktikan potensi pendekatan ini, dan kini saatnya memperluas implementasinya ke destinasi lain di Indonesia. Dengan mengedepankan sumber daya lokal, kita tidak hanya membangun pariwisata yang berkelanjutan, tetapi juga memperkuat fondasi ekonomi dan budaya daerah untuk generasi mendatang.
Kebijakan TKPL adalah alat strategis untuk mewujudkan pariwisata berkelanjutan yang inklusif. Dengan payung regulasi daerah yang kuat, mekanisme pengukuran yang terstruktur, dan kolaborasi lintas pemangku kepentingan, TKPL dapat memastikan bahwa pariwisata memberikan manfaat maksimal bagi masyarakat lokal, lingkungan, dan budaya.
Mari bersama-sama berkolaborasi dalam pengembangan destinasi pariwisata Indonesia yang adil, hijau, dan berdaya tahan.*
Fadjar Hutomo, ST, MMT, CFP, Deputi Akses Permodalan – Badan Ekonomi Kreatif (BEKRAF) RI periode 2015-2019/Staf Ahli Menteri Pariwisata & Ekonomi Kreatif bidang Manajemen Krisis.
