105 views 7 mins 0 comments

Koalisi Sipil Desak Pembahasan Revisi UU Pemilu

In Uncategorized
April 28, 2025

JAKARTA – Meski masuk Prolegnas 2025, hingga kini RUU Pemilu belum juga dibahas, sementara banyak undang-undang lain yang justru disahkan terlebih dulu. Hal ini mengundang kegelisahan masyarakat koalisi sipil.

Koalisi menilai keterlambatan pembahasan akan berdampak pada rekrutmen penyelenggara, efektivitas kerja, hingga terbatasnya ruang partisipasi bermakna. Selain itu, tanpa revisi yang tepat, pemborosan anggaran dan ketidakefektifan pemilu sulit dihindari.

Koalisi sipil yang terdiri dari Perludem, Netgrit, ICW, Themis, Pusako, Poskapul UI, dan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) ini menggelar diskusi dengan awak media. Diskusi bertajuk “Urgensi Menyegerakan Pembahasan Revisi UU Pemilu” ini digelar di Ruang Belajar ICW di Kalibata, Jakarta, Senin (28/4/2025).

“Kita ingin mendorong pembahasan undang-undang paket politik atau lebih positif lagi undang-undang pemilu itu mesti disegerakan oleh pembentuk undang-undang, yaitu Presiden dan DPR,” kata Peneliti Perludem, Fadli Ramadhanil.

Berkaca pada pengalaman pemilu 2024 dan pemilu 2019, lanjut Fadli, tahapan pemilu itu sudah dimulai 20 bulan sebelum hari pengumuman suara. Jika pemilu misalnya dilaksanakan di trimester pertama 2029, maka di 2027 itu tahapan pemilu sudah mulai.

“Untuk bisa memulai tahapan pemilu itu secara baik, profesional, jujur, dan adil, salah satu hal yang paling penting mesti dituntaskan adalah soal kerangka hukum pemilu,” katanya.

“Kerangka hukum pemilu dalam konteks ini tentu saja undang-undang pemilu dan undang-undang pemerintah,” sambung Fadli.

Ragam persoalan

Menurut dia, ada banyak persoalan yang terjadi di penyelenggaraan pemilu pada 2019.  Mulai dari persoalan manajemen tahapannya, penyelenggaraan, termasuk juga soal sistem pemilu dan masalah pendekatan hukum.

“Ada banyak sekali problem dalam penyelenggaraan pemilu yang menjadikannya tidak jujur dan tidak adil. Bahkan persoalan itu kembali terulang di penyelenggaraan pemilu 2024, bahkan cenderung lebih parah,” beber Fadli.

Fadli mencontohkan soal verifikasi parpol di pemilu 2024 yang tidak ada penyelesaiannya. Selain itu, kata dia, ada banyak sekali praktik kecurangan yang terjadi dalam proses kampanye.

“Mestinya belajar dari dua kali pemilu serentak ini, penting untuk melakukan konsolidasi kerangka hukum pemilu untuk dibuat dari awal, sehingga ada waktu untuk bisa membahasnya.”

Menurut Fadli, pembahasan ini hendaknya melibatkan sebanyak mungkin stakeholder yang terkait dengan penyelenggaraan pemilu. Mulai dari partai politik, kelompok civil society, mahasiswa, kampus, dan kelompok lainnya.

Disegerakannya pembahasan revisi UU Pemilu ini, kata dia, penting dibahas jauh-jauh hari. Sebab jika pembahasannya sudah mendekati tahapan pemilu 2029, maka yang terjadi adalah pertarungan kepentingan. Kepentingan siapa yang akan diakomodasi di dalam undang-undang pemilu.

Waktu yang mepet

Pendiri Netgrit, Hadar Nafis Gumay, menilai jika penyelenggara pemilu hanya memiliki sedikit waktu atau mepet, akhirnya berdampak pada banyaknya masalah yang mereka hadapi.

“Ini dialami di pemilu yang baru kita lewati, yaitu di tahun lalu. Bahkan hari-hari ini masih ada sisa atau bagian yang masih belum sempat dibahas, yaitu pemungutan suara ulang yang masih berlangsung,” ungkap Hadar.

Hadar mengatakan penyelenggara pemilu sangat membutuhkan undang-undang itu selesai dalam cukup waktu agarmereka bisa bekerja dengan baik. Kenapa demikian?

Sebab, lanjut Hadar, penyelenggara itu punya tugas untuk membuat peraturan pelaksanaan. Pengalaman selama ini, karena undang-undangnya selalu saja diselesaikan secara mepet, mengakibatkan tidak optimalnya pembuatan peraturan pelaksananya.

“Idealnya yang harus kita punyai, semua peraturan KPU yang jumlahnya itu bisa lebih dari 20 itu, semua selesai sebelum tahapan pemilu dimulai,” ujarnya.

Selain itu, lanjut Hadar, yang lebih utama adalah dengan disegerakannya pembahasan UU Pemilu akan lebih memastikan bahwa penyelenggarannya akan sesuai dengan undang-undang. Dan juga bisa lebih menjamin praktek pelaksanaan penyelenggaran pemilu yang luber dan jurdil.

Empat poin

Peneliti Themis, Feri Amsari, mengatakan lembaganya mencatat empat hal penting kenapa pembahasan revisi UU Pemilu harus dilakukan saat ini. Pertama, soal penyelenggaraan pemilu. Kedua, sistem pemilu. Ketiga, peserta pemilu. Dan keempat, mekanisme penyelesaian perselisihan.

“Ini menjadi catatan penting karena sedari awal penyelenggaranya bermasalah,” kata Feri.

Ia menambahkan, catatan teknis menunjukkan setidak-tidaknya ada dua hal yang perlu dibahas segera dalam undang-undang pemilih ini. Yakni soal bagaimana proses seleksi mereka dan memastikan independensi mereka.

“Ada problematika serius di depan mata yang kita ketahui bersama tapi tidak kita ubah,” ujar Feri.

Selanjutnya, kata Feri, bagaimana memberikan tanggung jawab kepada satu orang atau lembaga untuk menyeleksi penyelenggara pemilu. Bagaimana proses seleksi orang-orang ini?

“Penyelenggara pemilu kita itu adalah warisan, kalau tidak ormas tertentu, organisasi partai tertentu. Akhirnya penyelenggara pemilu kita tidak pernah betul-betul independen dan baik,” tegas Feri.

Ia juga mempertanyakan apa basis dasar penentuan sistem pemilu? Apakah sistem pemilu itu adalah konversi suara menjadi kursi? Penentuan, gambar, dapil dan segala macam itu atas daftar apa? Apakah berbasis undang-undang dasar atau jumlah partai mayoritas? Apakah selama ini putusan Mahkamah Konstitusi menjadi dasar bagi pembentuk undang-undang menentukan sistem pemilu atau tidak?

Feri mendorong sebaiknya di dalam kitab undang-undang pemilu ada bab khusus yang membahas peserta pemilu alias partai politik. Jadi tidak dipisah. Selain itu, mekanisme perselisihan. Menurut Feri, perselisihan pemilu saat ini melalui banyak pintu.

“Di DKPP-lah, di Mahkamah Konstitusi. Bahkan setelah di Mahkamah Konstitusi bisa balik lagi ke PTUN, bisa ke Bawaslu, ke DKPP. Jadi bertele-tele prosesnya. Bagaimana orang bisa menempuh rasa keadilan?” ujarnya.

Ia menyarankan soal perselisihan ini diatur dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi, misalnya. Di Mahkamah Konstitusi harus diatur pula bagaimana hukum acaranya agar MK tidak berubah-ubah menjelang perselisihan hasil.

“Jadi begitu perselisihan hasil di Presiden beda, di Pileg beda, di kepala daerah beda, berbeda pula pola pembuktiannya. Itu membingungkan semua orang,” tegas Feri.

Feri menegaskan, untuk membahas empat hal ini membutuhkan waktu yang panjang, tetapi juga harus diburu agar prosesnya berjalan adil. Waktunya kalau bisa selesai di 2025 atau setidak-tidaknya di awal 2026.

“Teman-teman masyarakat sipil sudah punya kitab Undang-Undang Pemilu, nanti teman-teman partai politik mau bernegosiasi dengan itu, ya silakan. Karena meskipun RUU-nya sudah masuk program legislasi nasional, sejauh ini kita belum lihat ada rancangan Undang-Undang Pemilu versi parlemen dan pemerintah,” tandas Feri.*