99 views 9 mins 0 comments

Urgensi Revisi UU Intelijen Negara

In Kolom
May 02, 2025

JAKARTA – Dari sudut pandang sistem pertahanan negara yang bersifat semesta, keberadaan dan fungsionalitas TNI, Polri, dan Intelijen Negara merupakan satu paket dan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.

Namun dalam dinamika legislasi nasional, keberadaan UU Intelijen Negara baik dalam konteks formulasinya maupun dalam konteks penyesuaiannya terhadap perkembangan masyarakat, tidak sedinamis UU TNI dan UU Polri.

Publik baru saja menyaksikan revisi UU TNI yang memperluas kewenangan komponen utama sistem pertahanan negara ini di ranah sipil, serta memperpanjang masa dinas prajuritnya. Revisi UU Polri juga di depan mata untuk dibahas di parlemen dalam rangka menciptakan keselarasan dengan revisi UU TNI. Lantas, bagaimana quo vadis UU Intelijen Negara?

Jika menilik ke masa lalu, keberadaan UU No. 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara, dipandang telat kehadirannya jika dibandingkan dengan regulasi yang mengatur tentang TNI dan Polri yang hadir sepanjang 2002 hingga 2004, tidak lama setelah reformasi bergulir pada 1998.

Lamanya diskursus yang mewarnai pembentukan UU Intelijen Negara menunjukkan banyak hal, yakni belum dipandangnya komunitas intelijen negara sebagai bagian yang integral dalam sistem pertahanan negara, serta tarik menarik kepentingan yang kuat untuk menciptakan kompatibilitas kewenangan komunitas intelijen negara dengan tuntutan dan amanat reformasi. Kehadiran UU Intelijen Negara pasca 13 tahun reformasi juga sangat disayangkan publik karena agenda reformasi sektor keamanan tidak hanya dibebankan kepada TNI dan Polri saja, tapi juga komunitas intelijen negara.

UU Intelijen Negara menggariskan banyak hal sebagai rambu-rambu komunitas intelijen negara dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya. Dalam regulasi tersebut, dijelaskan bahwa komunitas intelijen negara berperan dalam menyelenggarakan deteksi dan peringatan dini dalam rangka pencegahan, penangkalan, dan penanggulangan terhadap setiap hakikat ancaman yang mungkin timbul dan mengancam kepentingan dan keamanan nasional.

Regulasi tersebut juga mengatur tugas komunitas intelijen negara untuk menyelenggarakan fungsi penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan. Lebih lanjut, regulasi mengatur pihak-pihak mana saja yang dapat menyelenggarakan fungsi intelijen seperti BIN yang menjalankan fungsi intelijen dalam dan luar negeri, intelijen pertahanan dan/atau militer yang diselenggarakan oleh TNI, intelijen kepolisian yang dijalankan oleh Polri, intelijen penegakan hukum yang diampu oleh Kejaksaan Agung RI, serta fungsi-fungsi intelijen lainnya yang dijalankan oleh K/L terkait semisal PPATK sebagai Financial Intelligent Unit.

Substansi-substansi yang terkandung dalam UU No. 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara merupakan respons legislatif terhadap tuntutan dan amanat reformasi yang menghendaki komunitas intelijen negara bersikap profesional, demokratis, serta humanis. Tuntutan ini cukup logis dan rasional mengingat intelijen negara banyak disalahgunakan di masa lalu untuk kepentingan penguasa atau rezim yang berkuasa, bukan kepentingan negara yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat.

Pada masa lalu, tidak dimungkiri, intelijen negara beroperasi di ruang-ruang gelap dan senyap, minim pengawasan, “menghalalkan” instrumen dan perkakas apapun untuk mencapai tujuan, dan banyak digunakan sebagai senjata untuk menumpas lawan-lawan politik penguasa.

Di sisi lain, jika kita cermati substansi UU Intelijen Negara, akan kita temukan sebuah norma bahwa penyelenggara intelijen negara bukanlah sebuah komunitas yang tunggal dan eksklusif seperti masa lalu, melainkan sistem birokrasi yang interseksional, berdasarkan fungsi masing-masing, namun dikoordinasioleh sebuah lembaga bernama BIN.

Interseksionalitas dalam penyelenggaraan fungsi intelijen negara tersebut di satu sisi menghasilkan checks and balances antarlembaga, namun di sisi lain berpotensi menghasilkan inefektivitas dan inefisiensi jika masing-masing lembaga mengedepankan ego masing-masing.

Catatan kinerja

Lantas, apa yang perlu diperbaiki dalam regulasi intelijen negara? Apa urgensi yang bisa dikedepankan untuk mendukung terciptanya kinerja intelijen negara yang lebih optimal? Jawabannya adalah rekam jejak dan kinerja empirik komunitas intelijen negara sepanjang satu setengah dekade terakhir.

Dalam pencermatan penulis, sedikitnya ada empat hal yang bisa disoroti dari kinerja komunitas intelijen negara. Pertama, belum adanya sinergitas yang solid di antara K/L yang menjalankan fungsi-fungsi intelijen negara. Masih ada ego sektoral antarlembaga yang membuat komunitas intelijen negara sebagai lini pertama sistem keamanan nasional tidak berjalan optimal.

Hal ini dapat dilihat dari kasus dijabatnya Kepala BIN oleh personel kepolisian, yang membuat koordinasi dari TNI berjalan tidak maksimal. Hal ini berbeda jika Kepala BIN dijabat oleh personel aktif atau pensiunan militer, seakan tidak ada barrier dan komunikasi berjalan lancar. Situasi silo organization ini sangat tidak menguntungkan publik sebagai penerima manfaat.

Banyaknya aksi-aksi terorisme oleh kelompok teroris, pelanggaran hak berdaulat Indonesia di Laut Natuna Utara oleh nelayan-nelayan Tiongkok, aksi-aksi KKB di Papua yang menyasar warga sipil, merupakan cerminan lemahnya koordinasi di antara lembaga-lembaga yang menjalankan fungsi intelijen negara.

Kedua, minimnya fungsi pengawasan terhadap kerja-kerja komunitas intelijen negara, terutama intelijen militer dan kepolisian. Memang benar pengawasan reguler dapat dilakukan oleh parlemen melalui Komisi I DPR RI yang membidangi urusan pertahanan negara. Namun demikian, sejauh ini, fungsi pengawasan yang dilakukan masih terbatas dalam hal pemanfaatan anggaran, belum masif dalam hal perencanaan dan pelaksanaan tupoksi.

Habituasi dan origin intelijen yang beroperasi dalam ruang-ruang senyap masih menjadi hambatan untuk optimalisasi pengawasan oleh parlemen. Selain itu, presiden masih memiliki privilege sebagai single useruntuk laporan-laporan intelijen. Sulit untuk memastikan bahwa laporan-laporan intelijen tersebut masih berjalan sesuai koridor tupoksi atau tidak, kecuali presiden slip of tongue seperti yang dilakukan oleh Jokowi pada masa Pemilu 2024 yang menyebut bahwa ia mengkonsumsi laporan dari banyak pihak terkait pergerakan partai politik pada masa Pemilu.