
ALMERE – Merayakan Hari Buruh se-Dunia, pada tanggal 03 Mei 2025, di suatu tempat bernama Levend Waterkerk di Kota Almere yang cerah, sebuah peristiwa bersejarah digelar oleh pelbagai komunitas orang Indonesia yang bermukim di Belanda.
Kegiatan itu berfokus pada tema utama bagaimana sesama warga Indonesia di Belanda dapat membangun relasi bekerja yang bermartabat dan welas asih melampaui nalar legal dan illegal.
Peristiwa itu berwujud sarasehan yang bertujuan mempertemukan parapihak dari pelbagai profesi kelas pekerja untuk saling mendengar, membangun kesepahaman dan pada gilirannya membangun solidaritas dan merumuskan tindak lanjut sarasehan. Acara sarasehan itu sendiri dimulai sejak pukul sembilan pagi dan bertahan hingga pukul 4 sore melibatkan 80-an peserta yang hadir dari pelbagai komunitas.
Komunitas yang terlibat meliputi Indonesian Migrant Workers Union (IMWU) di Belanda, Tombo Ati dan Pawon. Ketiga komunitas ini menaungi terutama kepentingan pekerja migran Indonesia yang tidak berdokumen di Belanda.
Selain itu ada unsur perwakilan dari Au Pair, asosiasi perawat, asosiasi pekerja seni dan budaya, asosiasi pengusaha Indonesia di Belanda bernama ASPINA terutama dari sektor jasa resto dan warung makan.
Ada pula Lingkar Interaksi Indonesia Belanda (LIIB), sebuah paguyuban yang sering mempertemukan diaspora Indonesia dan pelajar di dalam kegiatan kebudayaan bersifat bulanan. Dari LSM Belanda yang berfokus menyediakan layanan migran turut hadir Fairwork, VluchtelingenWerk, dan Wereldhuis.
Unsur KBRI Den Haag diwakili Protokol Konsuler yang terlibat di dalam diskusi sampai akhir acara untuk mendengar, mencatat dan merespons masukan dan keluhan dan ada pula unsur pelajar terdiri dari pribadi-pribadi yang berafiliasi dengan PPI Belanda, PCINU Belanda diwakili unsur pribadi dari Lesbumi dan pribadi dari PCIM Muhammadiyah Belanda. Para pelajar ini terlihat berperan sebagai panitia dan fasilitator acara.
Format acara dibuat menyerupai huruf U terdiri dari kursi-kursi dimana para perwakilan komunitas secara bergantian diberi kesempatan untuk menjelaskan siapa mereka dan apa tantangan yang mereka hadapi. Acara sarasehan itu pula diramaikan oleh seniman Indonesia yang ada di Belanda melalui pementasan tari, puisi dan nyanyian.
Sarasehan itu secara keseluruhan menghasilan banyak catatan yang disampaikan oleh pelbagai unsur komunitas. Tantangan sekaligus aspirasi penting contohnya dari pekerja migran tak berdokumen Indonesia di Belanda yang umumnya bekerja di sektor jasa kebersihan kantor dan rumah. Mereka menyuarakan betapa hidup mereka terhimpit semakin keras oleh kebijakan pemerintah melalui PermenKumham No 19 Tahun 2024.
Regulasi itu salah satunya mengatur untuk tidak lagi memberikan perpanjangan paspor bagi warga Indonesia di luar negeri yang tidak memiliki izin tinggal di negara tempat bermukim. Mereka hanya akan disediakan surat keterangan (SPLP) dengan tujuan surat itu dikeluarkan sebagai keterangan agar mereka yang tidak memiliki izin tinggal dapat segera pulang ke Indonesia.
Setelah September 2024, menurut Nana Supriatna, Koordinator Tombo Ati dan Muhammad Taufik Hidayat, Ketua Pawon, hidup mereka, para pekerja migran tak berdokumen berubah drastis. Mereka tidak dapat lagi memperpanjang paspor. Paspor menurut ungkapan mereka adalah nyawa mereka. Tanpa paspor mereka mendapat kendala nyata untuk mengakses layanan kesehatan seperti huisarts (Puskesmas) dan rumah sakit di Belanda.
Sebagaimana umumnya mereka yang tinggal di Belanda wajib memiliki huisarts rujukan sebelum mereka dirujuk ke rumah sakit. Menurut keterangan Nana, jika sebelumnya mereka yang tidak berdokumen masih dapat mengakses huisarts dan rumah sakit (jika perlu perawatan lebih serius) hanya dengan memperlihatkan paspor, kini mereka menemukan banyak huisarts dan rumah sakit terutama sejumlah kasus di Kota Den Haag yang menolak mereka karena mereka tidak dapat menyediakan paspor atau karena hanya menyediakan parpor kadaluarsa.
Mereka yang tadinya bisa mendapatkan perawatan lanjutan untuk penyakit berat terpaksa harus pulang ke Indonesia padahal sebelumnya dengan berbekal paspor saja mereka dapat menikmati perawatan lanjutan relatif murah bahkan gratis karena pemerintah Belanda menyediakan anggaran untuk tipe penduduk seperti mereka.
Selain kenyataan bahwa hak kesehatan secara prinsip tidak dapat dikurangi apalagi ditiadakan (non-derogable right) kepada siapapun yang membutuhkan akses kesehatan. Namun kebijakan penghentian perpanjangan paspor menurut mereka telah merenggut hak dasar itu dari mereka.
Mereka mengaku juga kesulitan membuka rekening di bank Indonesia yang ada di Belanda seperti Bank BNI tanpa paspor padahal mereka bertahan sebagai pekerja migran tak berdokumen di Belanda untuk dapat terus mengirim uang secara rutin kepada keluarga mereka di Indonesia dan bahwa merekalah penyumbang uang (remittance) dan devisa terbesar kedua di Indonesia.
Akhirnya dengan terpaksa mereka harus menggunakan jasa agen perorangan dengan biaya dan kurs yang lebih berat dan merugikan mereka.
Melalui forum sarasehan itu, mereka mengusulkan untuk mempersoalkan kebijakan dan regulasi PermenKumham No 19 Tahun 2024 itu dan hendak menggalang dukungan dari pekerja migran Indonesia tak berdokumen dari sejumlah negara lain.
Mereka berencana akan membuat petisi, melayangkan surat protes berisi konsiderans dan dampak nyata yang mereka alami dari kebijakan paspor itu kepada sejumlah Kementerian dan lembaga terkait seperi Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Kemenkumham, Kemenlu, DPR, Komnas Ham dan Ombudsman serta bekerjasama dengan LSM yang relevan seperti Migrant Care dan YLBHI.
