
JAKARTA – CORE Indonesia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi 2025 hanya di kisaran 4,6%-4,8%, sejalan dengan prediksi Bank Dunia sebesar 4,7%. Kondisi ini tercermin dari Indeks rilis Penjualan Riil pada bulan Mei yang diprediksikan menurun -0,6% secara bulanan, sementara industri manufaktur yang menyumbang 21% terhadap ekonomi terus melemah dengan PMI masih berada di zona kontraksi.
Salah satu program stimulus pemerintah, Bantuan Subsidi Upah (BSU) hanya menjangkau 17,3 juta pekerja atau sekitar 18% dari total 95 juta pekerja bergaji di bawah Rp 3,5 juta yang seharusnya menjadi target. Pekerja informal seperti pedagang kaki lima dan pengemudi ojek online sama sekali tidak tercakup karena persyaratan harus terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan.
Relaksasi iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) bagi dunia usaha relatif kecil dampaknya, untuk perusahaan menengah dengan 100 karyawan, penghematan JKK hanya Rp 19,44 juta/tahun, jauh lebih kecil dibanding biaya listrik yang bisa mencapai Rp 55,7-222,9 juta per bulan. Diskon transportasi saat lebaran juga terbukti tidak efektif dengan penurunan 4,69% jumlah perjalanan dibanding tahun sebelumnya.
Total stimulus sebesar Rp 24,4 triliun hanya setara 0,8% dari PDB konsumsi Indonesia pada triwulan I 2025 dengan masa berlaku yang sangat singkat (hanya 2 bulan). Kondisi ini diperparah dengan dibatalkannya stimulus diskon tarif listrik, padahal biaya listrik menyerap rata-rata 10% total pengeluaran rumah tangga Indonesia.
Ekonomi Seret Butuh Stimulus
Tak bisa dimungkiri, kondisi ekonomi Indonesia saat ini sedang tidak menggembirakan. Masyarakat masih menahan pengeluaran dan belum kembali aktif berbelanja. Hal ini tercermin dari Indeks rilis Penjualan Riil pada bulan Mei yang diprediksikan mengalami penurunan -0,6% secara bulanan.
Artinya, penjualan ritel pada periode ini lebih rendah dibandingkan bulan lalu. Pelemahan konsumsi juga terlihat pada kuartal pertama 2025, di mana pertumbuhan konsumsi rumah tangga dalam PDB melambat dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Ini menandakan bahwa aktivitas konsumsi masih belum pulih sepenuhnya.
Industri manufaktur, yang menyumbang 21% terhadap ekonomi Indonesia, terus melemah menjelang pertengahan triwulan kedua 2025. Output dan permintaan baru turun tajam, dengan penurunan permintaan pada Mei menjadi yang terdalam sejak Agustus 2021. Indeks PMI masih berada di zona kontraksi, mencerminkan pesimisme pelaku usaha.

Permintaan yang lesu membuat perusahaan menahan pembelian dan mengurangi stok. Laporan PMI S&P global menyebutkan bahwa sejumlah pelaku usaha terpaksa menawarkan diskon, sehingga harga jual hanya naik tipis meskipun biaya produksi melonjak. Kondisi ini semakin menekan margin keuntungan sektor tersebut.
Lebih jauh, ekspektasi masyarakat terhadap kondisi ekonomi enam bulan ke depan mulai menunjukkan tanda-tanda pesimis. Hal ini terlihat dari turunnya Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) pada April 2025 yang tercatat di angka 129,8, lebih rendah dibanding bulan sebelumnya yang mencapai 131,7.
Meski masih berada di zona optimis, penurunan ini menjadi sinyal bahwa kepercayaan masyarakat terhadap arah ekonomi mulai goyah. Yang mengkhawatirkan, harapan terhadap ketersediaan lapangan kerja dan kegiatan usaha ke depan ikut menurun. Indeks Ekspektasi Ketersediaan Lapangan Kerja (IEKLK) melemah ke 123,5 dari sebelumnya 125,9, sementara Indeks Ekspektasi Kegiatan Usaha (IEKU) turun ke 128,5 dari 132,2.
Melihat kondisi ekonomi yang lesu, tak mengherankan jika lembaga internasional seperti Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 hanya 4,7%. Prediksi ini sejalan dengan perkiraan CORE Indonesia pada April lalu, yang menempatkan proyeksi pertumbuhan di kisaran 4,6%–4,8%. Tentu saja, angka ini masih bisa berubah, tergantung bagaimana kebijakan pemerintah mampu mendorong pemulihan di sisa tahun.
Menurut CORE, stimulus jangka pendek memang diperlukan untuk menggairahkan aktivitas ekonomi. Namun, keberhasilan upaya tersebut sangat ditentukan oleh desain kebijakan itu sendiri, apakah cukup tepat sasaran dan efektif untuk mendongkrak pertumbuhan yang makin tertekan.
Ekonomi Dalam Tekanan, Sebagian Tak Kebagian Bantuan
Cakupan penerima bantuan stimulus pemerintah masih terbatas. Pada program Bantuan Subsidi Upah (BSU) misalnya, pemerintah berencana menyalurkan bantuan kepada 17,3 juta pekerja dengan gaji di bawah Rp 3,5 juta per bulan. Padahal, menurut data BPS, jumlah pekerja dengan gaji di bawah Rp 3,5 juta mencapai sekitar 95 juta orang, atau sekitar 75% dari total tenaga kerja Indonesia (Grafik 1). Artinya, BSU yang disalurkan pemerintah hanya menjangkau sekitar 18% dari kelompok pekerja yang seharusnya menjadi target bantuan.

Selain jumlah penerima yang masih terbatas, skema penyaluran Bantuan Subsidi Upah (BSU) juga belum menyasar pekerja di sektor informal. Salah satu syarat utama untuk menerima bantuan ini adalah penerima harus terdaftar sebagai peserta aktif di BPJS Ketenagakerjaan. Persyaratan ini secara otomatis mengecualikan jutaan pekerja informal, seperti pedagang kaki lima, pengemudi ojek daring, buruh harian, tukang bangunan, dan pekerja lepas lainnya.
Padahal, kelompok pekerja informal ini juga terdampak tekanan ekonomi, terutama dalam situasi harga kebutuhan pokok yang terus naik dan daya beli yang melemah. Mereka bekerja tanpa kepastian pendapatan tetap, tanpa jaminan sosial, dan sangat rentan terhadap guncangan ekonomi.
Memang Penebalan bantuan sosial (bansos) diperlukan untuk menjaga daya beli kelompok berpendapatan rendah.Pemerintah mengalokasikan tambahan anggaran Rp 11,93 triliun dari APBN untuk program ini. Tambahan bansos ini akan disalurkan melalui Kartu Sembako sebesar Rp 200 ribu per bulan selama Juni–Juli 2025 kepada 18,3 juta penerima.
Selain itu, setiap Keluarga Penerima Manfaat (KPM) juga akan mendapat 10 kg beras per bulan, atau total 20 kg selama dua bulan. Langkah ini diharapkan bisa membantu menahan tekanan ekonomi dan menjaga konsumsi rumah tangga. Hanya saja, jika target stimulus juga untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, bantuan untuk kelompok kelas menengah juga tidak boleh terlewatkan.
