191 views 17 mins 0 comments

Membongkar Kesesatan Berpikir Felix Siauw Soal Iran dan Palestina

In Kolom
June 23, 2025

JAKARTA – Ada yang lebih menyakitkan dari kebohongan musuh: kekeliruan sahabat. Dan jika kekeliruan itu diulang-ulang, dibingkai dengan dalil, disebarkan dengan percaya diri oleh seorang ustaz, maka ia tak lagi jadi kekeliruan. Ia menjelma jadi ideologi.

Felix Siauw, seorang daai yang dulu menggemakan anti-imperialisme, kini justru meminjam narasi Zionis. Tentang Iran, tentang sejarah Persia, tentang Palestina. Semuanya dibungkus dalam satu kesimpulan: Iran bukan Islam. Dan karenanya, ia bukan bagian dari barisan umat.

Ini bukan sekadar kesalahan, tapi keruntuhan nalar. Ia membaca sejarah dengan mata sebelah. Yang tampak hanyalah mazhab, bukan sikap. Yang terdengar hanyalah perbedaan, bukan perlawanan.

Pertama, mari kita buka lembar sejarah. Iran hari ini adalah Republik Islam yang lahir dari Revolusi 1979. Sebuah revolusi anti-Syah Pahlevi, anti-Amerika, dan anti-Israel. Ia bukan penerus kerajaan api, bukan kelanjutan dari Persia kuno. Ia adalah patahan.

Ayatollah Khomeini memimpin revolusi itu dengan satu semangat: bahwa Islam tidak tunduk pada imperialis. Dan sejak itu, Iran memutus hubungan dengan Israel dan Amerika Serikat. Kedutaan besar Israel di Teheran diubah menjadi kantor perwakilan Palestina. Sebuah simbol.

Pada tahun 1982, Iran mendukung pendirian Hizbullah di Lebanon Selatan sebagai respons atas invasi Israel ke Beirut. Kelompok ini menjadi kekuatan utama perlawanan di kawasan itu, dan hingga kini menjadi sekutu utama Iran di garis depan konfrontasi dengan Israel.

Iran tidak hanya mengutuk, ia membentuk front. Ia tidak hanya berdiri di mimbar, ia hadir di medan perang. Tapi Felix menghapus semua itu hanya dengan satu frase: “Iran menyerang karena diserang.”

Lalu mengapa Felix menyeret nama Cyrus Agung ke dalam kritiknya terhadap Iran? Dengan enteng ia berkata: “Cyrus adalah penyembah api, dan ia membangunkan kuil untuk Yahudi.” Seolah Iran hari ini adalah reinkarnasi Cyrus. Seolah sejarah berjalan linear, tanpa pertobatan politik.

Apakah benar Cyrus membangun kuil? Tidak. Yang ia lakukan hanyalah memberi izin kepada bangsa Yahudi yang diasingkan di Babilonia untuk kembali ke Yerusalem dan membangun sendiri Bait Suci mereka. Ia tidak ikut membangun. Ia tidak menyembah Tuhan Israel.

Kebijakan Cyrus adalah taktik kekaisaran: memperbolehkan rakyat taklukannya menjalankan agama agar stabilitas terjaga. Itu bukan solidaritas. Itu manajemen kolonial. Dan itu terjadi ratusan tahun sebelum Islam turun.

Menggunakannya untuk menuduh Iran hari ini sebagai pewarisnya adalah lompatan logika yang menyesatkan. Lebih fatal lagi, itu berarti mengadopsi cara pikir para pemimpin Israel: bahwa Iran harus dikembalikan ke era Syah.

Netanyahu dalam berbagai pidatonya selalu mengajak rakyat Iran untuk menumbangkan pemimpin mereka sendiri. Ia mengenang masa lalu saat Israel punya hubungan diplomatik dan dagang dengan Iran. Dan Felix, entah sadar atau tidak, mengulang narasi yang sama.

Padahal, masa Syah adalah masa ketika Mossad bercokol di Teheran. Ketika rakyat Iran dibungkam dan Zionis bersorak. Ketika para ulama dibuang, dan rezim bersulang anggur bersama diplomat Israel.

Iran pasca 1979 adalah kebalikannya. Menolak Israel, menolak Amerika. Memilih blok perlawanan. Memilih jalan sunyi yang disesaki sanksi dan sabotase. Tapi juga jalan yang membawa suara Palestina ke panggung dunia.

Felix menyebut Iran tidak membantu Palestina. Tapi fakta berkata lain. Setiap kali Gaza dibombardir, Iran adalah negara pertama yang menawarkan bantuan medis, keuangan, dan logistik. Bahkan saat dihina oleh sebagian faksi Arab, Iran tetap memberi.

Dalam sebuah wawancara pada 2022, Ismail Haniyeh menyebut Iran sebagai satu-satunya negara yang konsisten mendukung Palestina sejak 1979. Tak ada jeda. Tak ada syarat. Dan saat rudal Fajr-5 menghantam Tel Aviv, itu bukan datang dari doa-doa Arab Saudi. Tapi dari teknologi militer Iran. Dari pabrik kecil yang dibangun diam-diam di terowongan Gaza. Dari keberanian sebuah republik yang terus dijatuhkan oleh embargo.

Jika Iran hanya reaktif, seperti kata Felix, lalu mengapa bantuan itu mengalir bahkan saat Israel belum menyerang? Mengapa pelatihan dilakukan jauh sebelum rudal ditembakkan? Mengapa solidaritas dibangun bahkan saat Palestina sedang “sepi” di media?

Logika Felix runtuh di hadapan fakta. Tapi ia tetap bersandar pada asumsi. Ia berkata, Iran menyerang Israel hanya karena diserang. Bukan karena Palestina. Tapi ia lupa: sejak 1979, Iran menyebut pembebasan Palestina sebagai prinsip negara.

Setiap tahun, di hari Jumat terakhir Ramadhan, Iran memperingati Hari Al-Quds. Bendera Zionis dibakar. Jalan-jalan penuh poster. Bukan sekadar retorika. Tapi pesan: bahwa Palestina bukan isu Arab semata. Ia adalah luka Islam.

Felix bisa saja membenci Syiah. Tapi menyamakan seluruh gerak Iran hari ini dengan masa lalu kerajaan Persia adalah penyederhanaan sejarah yang brutal. Ia menghapus revolusi, menertawakan pengorbanan, dan menyamakan mimbar dengan monarki.

Kita bisa berbeda mazhab. Tapi kita tidak bisa berbeda soal penjajahan. Israel menjajah Palestina. Iran melawan Israel. Maka posisi Iran, suka atau tidak, berada di sisi yang benar.

Felix tak pernah mempertanyakan diamnya negara-negara Sunni. Padahal Saudi, UEA, Bahrain, bahkan Sudan telah menormalisasi hubungan dengan Tel Aviv. Mengapa yang diserang justru negara yang berani menentang? Dan disinilah sangat terlihat wajah sektarianisme Felix: lebih cepat menuduh Syiah daripada menyalahkan kolaborator Zionis. Lebih curiga kepada yang menentang Israel, daripada kepada yang diam dan berdagang.

Iran tidak sempurna. Tapi ia hadir. Ia tidak netral. Ia memihak. Dan di dunia yang bingung oleh kompromi, keberpihakan adalah bentuk tertinggi dari keberanian.