124 views 11 mins 0 comments

Mau Serius Bereskan ODOL: Saatnya Menyasar Pemilik Barang dan Armada

In Kolom
July 01, 2025

JAKARTA – Sampai kapan kita akan terus menyalahkan sopir, sementara yang memberi perintah tetap tak tersentuh? Selama penindakan hanya menyasar mereka yang di lapangan, ODOL akan terus jadi drama tahunan—ramai sejenak, lalu hilang tanpa perubahan nyata. Kalau sungguh ingin menuntaskannya, bukankah seharusnya kita mulai dari mereka pengambil keputusan, bukan hanya dari sopir yang menjalankan perintah?

Demo sopir bukan sekadar penolakan

Demo sopir truk yang marak terjadi di beberapa daerah belakangan ini seharusnya tidak dianggap sekadar bentuk penolakan terhadap penegakan hukum semata. Aksi mereka mencerminkan puncak gunung es dari sistem logistik yang tidak baik hingga penegakan hukum yang sering tebang pilih. Persoalan ODOL (Over Dimensi Overload) bukan hal baru, ia sudah berlangsung bertahun-tahun. 

Truk-truk gendut dengan muatan melampaui batas dan berdimensi berlebih dibiarkan berlalu lalang di jalan raya, seolah-olah pelanggaran ini adalah sesuatu yang normal dan bisa dimaklumi. Akibatnya nyata, kerusakan jalan terus berulang, angka kecelakaan meningkat, dan biaya logistik membengkak. Namun sayangnya, langkah penyelesaiannya selalu setengah hati.

Lalu ketika pemerintah akhirnya mulai mengambil langkah, pendekatan pertama justru berupa sosialisasi langsung di jalan oleh polisi lalu lintas kepada para sopir truk. Sayangnya, pendekatan ini dinilai kurang tepat, bahkan juga rawan salah paham. Sudah jadi rahasia umum – setiap kali polisi mendekati truk di jalan, sopir langsung cemas, mengira ini awal mula razia atau penindakan. 

Alhasil, kesan yang muncul cuma satu: bahwa penegakan hukum hanya menargetkan sopir di lapangan. Maka tidak heran jika demo sopir kembali muncul. Bbukan karena menolak aturan, melainkan karena mereka merasa diposisikan sebagai pihak yang paling bersalah.

Padahal, sopir bukanlah pihak yang menentukan ukuran bak truk, apalagi jumlah muatan yang harus dibawa. Sering kali, mereka bahkan tak punya pilihan untuk menolak ketika diminta membawa beban berlebih. Menolak berarti kehilangan pekerjaan. Maka ketika mereka turun ke jalan, itu bukan bentuk pembangkangan, melainkan seruan keadilan: jangan hanya menghukum yang menjalankan, sementara yang memerintah justru dibiarkan lepas tangan.

Kenapa sopir yang diincar?

Selama ini, penanganan ODOL cenderung menggunakan pendekatan “quick fix”: razia di jalan yang menyasar sopir, tanpa menyentuh akar masalah. Yang terjadi? Sopir ditilang, truk ditahan, sementara pihak yang seharusnya paling bertanggung jawab, yaitu pemilik barang, pemilik truk, hingga karoseri, nyaris tak tersentuh. 

Padahal, pelanggaran muatan tidak terjadi secara tiba-tiba. Itu adalah hasil dari keputusan bisnis yang keliru dan sistematis: satu truk dipaksa mengangkut dua kali kapasitas demi menekan ongkos logistik.

Truk-truk dengan dimensi tak wajar seenaknya masih leluasa di jalan nasional tanpa hambatan berarti. Banyak di antaranya telah dimodifikasi agar lebih panjang atau lebih tinggi oleh karoseri, bahkan hingga melampaui batas yang seharusnya tak mungkin lolos uji KIR. 

Namun kenyataannya, kendaraan-kendaraan ini tetap bisa beroperasi di jalan umum. Sistem pengawasan yang seharusnya menjadi pengendali justru mudah dilewati: data bisa dimanipulasi, surat-surat bisa “diurus”, dan pengawasan bisa diakali. 

Uji KIR yang seharusnya jadi alat kontrol bisa disiasati. Akibatnya, jalanan rusak terus-menerus karena sistem pengawasan yang dibiarkan lemah. Maka pertanyaannya bukan lagi siapa yang bersalah, tapi mengapa kita membiarkan pelanggaran ini menjadi kebiasaan. Apakah semua ini semata-mata kesalahan sopir? Jelas bukan mereka satu-satunya pelaku.

Kunci penertiban ODOL ada di hulu

Mau tuntas soal ODOL? Pemerintah harus berani ubah pendekatannya secara mendasar. Penegakan hukum tidak cukup berhenti di hilir, pada sopir di jalan atau petugas lapangan. Fokus utama seharusnya menyasar para pengambil keputusan: pemilik barang yang memuat barang berlebihan, pemilik armada yang memberi izin operasional, hingga karoseri yang memodifikasi truk di luar batas wajar.

Di titik-titik inilah semua keputusan pelanggaran bermula, namun selama ini justru titik-titik krusial tersebut sering luput dari pengawasan. Imbauan atau sanksi administratif saja tidak cukup. Sudah saatnya Pemerintah mengambil langkah yang lebih menyeluruh dan berani dalam menelusuri struktur pelanggaran ini, agar tidak terus tumbuh anggapan bahwa penegakan hukum hanya tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas. 

Tanpa keberanian menyentuh aktor-aktor utama di balik rantai pelanggaran ODOL ini, seluruh upaya penertiban hanya akan menjadi drama tahunan, seremonial belaka, ramai di permukaan, tapi tidak pernah menyentuh akar persoalan.

Sangat disayangkan jika penegakan hukum terhadap ODOL hanya berhenti pada sopir-sopir yang berada di posisi terlemah, sementara para pemilik usaha dan pihak yang sebetulnya mengambil keputusan justru tidak tersentuh oleh penegakan hukum. Padahal, dampak kendaraan ODOL pada kerusakan jalan sangat nyata dan bukan kerugian recehan. 

Kementerian Pekerjaan Uumum mencatat, bahwa setiap tahun, anggaran negara hingga Rp 40 triliun harus digelontorkan hanya untuk memperbaiki jalan rusak akibat kendaraan ODOL. Bayangkan, uang sebesar itu seharusnya bisa digunakan untuk membiayai pendidikan, layanan kesehatan, atau memperkuat ketahanan pangan, bukan menambal kerusakan akibat kelalaian penegakan hukum yang dibiarkan terus berulang.