
Rangkuman Utama:
- Ancaman penutupan Selat Hormuz, yang merupakan jalur utama bagi 25 persen perdagangan minyak mentah dunia dan 20 persen gas alam global, berpotensi mengerek harga minyak dunia. Harga minyak Brent diprediksi naik ke kisaran USD 100–150 per barel. Jika hal ini terjadi, pasar energi global akan mengalami guncangan pasokan (supply shock).
- Sebagai negara net importir minyak, pemerintah Indonesia harus bersiap dengan potensi melebarnya defisit fiskal. Berdasarkan sensitivitas APBN 2025, setiap kenaikan US$1 per barel harga minyak ICP, pemerintah harus menambah belanja Rp 10,1 triliun, sementara penerimaan hanya naik Rp 3,2 triliun, sehingga secara bersih mengalami defisit Rp 6,9 triliun.
- Tekanan inflasi diperkirakan akan berdampak langsung pada konsumsi rumah tangga. Berdasarkan data historis 2014–2023, lonjakan inflasi cenderung menyebabkan penurunan tajam konsumsi rumah tangga dalam tiga bulan pertama, dan baru kembali ke level normal setelah sekitar 20 bulan.
- Volatilitas pasar keuangan global meningkat tajam. Pada hari pertama serangan (13 Juni), harga emas naik 1,38%, sementara indeks Dow Jones dan S&P 500 masing- masing turun 1,79% dan 1,13%. Pasca gencatan senjata (24 Juni), pasar sempat pulih: Dow Jones naik 2,1% dan S&P 500 terkerek 1,9%. Namun, volatilitas tetap tinggi akibat ketidakpastian lanjutan dari konflik.
- Gencatan senjata pada 24 Juni tampak sebagai pernyataan politik sepihak tanpa dukungan proses diplomatik formal. Kondisi ini menciptakan risiko tinggi terjadinya eskalasi ulang, tetap tingginya potensi volatilitas harga energi global, dan naiknya risiko beban fiskal Indonesia.
Perjalanan Konflik: Dari Eskalasi ke Gencatan Senjata
Konflik Israel-Iran memuncak pada Juni 2025 ketika Israel melancarkan serangan langsung terhadap fasilitas nuklir Iran pada 13 Juni. Serangan ini menyasar ilmuwan nuklir dan pejabat militer senior Iran sebagai langkah pencegahan terhadap potensi pengembangan senjata nuklir.
Namun di sinilah ironinya dimulai. International Atomic Energy Agency (IAEA) belum menemukan bukti konkret bahwa Iran membangun senjata nuklir. Meski Iran memperkaya uranium hingga 60 persen, IAEA belum menyatakan Iran melanggar batas pengembangan senjata nuklir. Alih-alih menghentikan ambisi nuklir Iran, serangan Israel justru berisiko mempercepatnya.
Situasi semakin rumit ketika AS ikut campur dengan meluncurkan serangan udara ke tiga fasilitas nuklir Iran di Fordo, Natanz, dan Isfahan pada 22 Juni 2025. Yang mencengangkan, tiga bulan sebelumnya Direktur Intelijen Nasional AS justru menyatakan Iran belum menunjukkan niat mengaktifkan kembali program senjata nuklir sejak 2003. Keterlibatan AS memperluas konflik dan menciptakan ketegangan baru di kawasan.

Iran tidak tinggal diam. Mereka membalas dengan menyerang basis militer AS di Qatar. Konflik yang semula terbatas kini meluas ke kawasan sipil dan menimbulkan korban jiwa. Elite politik Israel dan AS bahkan mulai menyinggung kemungkinan perubahan rezim Iran, menambah dimensi ideologis yang memperkeruh situasi.
Setelah hampir dua pekan saling serang, Trump mengumumkan gencatan senjata sementara antara Israel dan Iran pada 24 Juni 2025. Namun kesepakatan ini tampak lebih seperti pernyataan politik sepihak tanpa proses diplomatik formal atau pengawasan internasional yang jelas.
Badai Tekanan dari Selat Hormuz
Sebagai jalur vital yang menyalurkan seperempat perdagangan minyak dunia dan seperlima pasokan gas alam cair (LPG) global, ancaman terhadap Selat Hormuz bukan sekadar isu regional melainkan potensi krisis ekonomi dunia. Konflik ini merambat ke ekonomi global melalui tiga jalur utama: lonjakan harga energi yang memicu inflasi, kenaikan harga pangan dalam negeri, serta kepanikan pasar yang mengguncang sektor keuangan. Meski secara geografis jauh dari pusaran konflik, Indonesia tidak luput dari dampak eskalasi ini karena ketergantungan pada perdagangan global dan sensitivitas terhadap guncangan eksternal.
A. Dampak terhadap Harga Energi
Eskalasi konflik Israel-Iran yang memuncak pada pertengahan Juni 2025 tak hanya menggetarkan Timur Tengah, tetapi juga mengguncang ekonomi global. Ancaman penutupan Selat Hormuz, yang mencapai titik krusial pada 23 Juni sebelum gencatan senjata diumumkan keesokan harinya, menjadi sumber kekhawatiran utama. Iran mengancam akan menutup Selat Hormuz sebagai bentuk balasan jika AS ikut campur langsung (menyerang Iran) dalam konflik Israel-Iran, alih-alih menekan Israel untuk berhenti menyerang Iran.
Selat Hormuz merupakan jalur vital bagi 25 persen perdagangan minyak dunia atau sekitar 20 juta barel per hari, termasuk suplai LNG dari Qatar yang menyumbang 20 persen pasokan LNG global.
Data Energy Information Administration (EIA) 2025 menunjukkan, volume perdagangan energi melalui Selat Hormuz konsisten di kisaran 20-21 juta barel per hari, atau 26-28 persen dari total perdagangan minyak maritim dunia. Di tengah konsumsi petroleum global yang tumbuh dari 91 juta barel (2020) menjadi 102,1 juta barel per hari (Q1 2025), lokasi strategis Selat Hormuz tidak tergantikan.
Ketiadaan alternatif memadai membuat selat ini menjadi titik sumbatan ekonomi global yang sangat rentan. Perdagangan LNG melalui jalur ini juga terus meningkat dari 10,7 miliar kaki kubik per hari menjadi 11,5 miliar kaki kubik per hari pada Q1 2025, memperkuat posisinya di tengah transisi energi global.
