96 views 15 mins 0 comments

Penataan ODOL Harus Bertahap 

In Kolom
July 19, 2025

JAKARTA – Penertiban truk over dimension dan overload (ODOL) tidak bisa dilakukan secara sekaligus. Perlu pendekatan bertahap yang mempertimbangkan karakteristik setiap komoditas, struktur biaya logistik, serta dampaknya terhadap stabilitas harga barang dan tingkat inflasi. Tanpa strategi berbasis data komoditas yang matang, upaya penegakan hukum justru berisiko menimbulkan gejolak ekonomi dan memperlebar ketimpangan di sektor transportasi barang.

Ketika Pelanggaran Lebih Menguntungkan daripada Kepatuhan

Setiap pagi, di ruang tunggu yang sederhana di tepi gudang, Pak Budi—sopir truk pengangkut semen—selalu dihadapkan pada pilihan sulit: memuat sesuai aturan namun merugi, atau menambah muatan demi menyambung hidup, meski tahu risikonya besar. Pilihannya kerap jatuh pada yang kedua. “Kalau patuh aturan, uangnya cuma cukup buat solar. Lha, anak istri saya makan apa?” keluhnya sambil mengusap keringat. 

Cerita Pak Budi bukan sekadar soal pelanggaran individu. Ia mencerminkan betapa belum adilnya sistem logistik kita: ketika kepatuhan sering kali berarti kerugian, sementara pelanggaran malah menjadi jalan bertahan hidup.

Masalah truk ODOL seperti yang dialami Pak Budi bukanlah hal baru. Lebih dari satu dekade, isu ini terus menghantui sistem transportasi dan logistik nasional. Hampir setiap tahun, wacana penertiban ODOL kembali mengemuka—melalui kebijakan baru, sorotan media, atau keluhan publik. 

Namun kenyataannya, truk-truk bermuatan dan berdimensi berlebih tetap saja hilir mudik di jalan raya. Ironisnya, semua pihak tahu ini masalah, tapi seakan menerima sebagai “kenormalan” dalam sistem distribusi barang kita.

Padahal, dampaknya pun tidak ringan. Jalan-jalan yang seharusnya awet puluhan tahun rusak sebelum waktunya. Angka kecelakaan lalu lintas meningkat karena kendaraan melebihi daya angkutnya. Negara pun harus merogoh anggaran besar hanya untuk menambal kerusakan yang sebenarnya belum perlu dilakukan. Lebih ironis lagi, pelaku usaha yang memilih taat aturan justru kalah bersaing dengan mereka yang nekat melanggar demi menekan ongkos. 

Di tengah sistem yang timpang ini, operator kecil seperti Pak Budi nyaris tidak punya pilihan selain ikut melanggar demi bertahan hidup. Ujung-ujungnya, masyarakat juga yang menanggung bebannya— mulai dari risiko keselamatan di jalan sampai harga barang yang tak stabil akibat biaya logistik yang tidak efisien dan tidak transparan.

ODOL Jadi Jalan Pintas di Tengah Pasar yang Terlalu Bebas

Mari kita berani melihat lebih dalam akar masalah ODOL. Masalah ini bukan sekadar soal sopir yang melanggar aturan, atau lemahnya pengawasan di jalan raya. Masalah sesungguhnya berakar dari sistem persaingan usaha di sektor logistik yang terlalu liberal, persaingan bebas, dan dibiarkan berjalan tanpa kendali. Dalam kondisi seperti ini, tarif angkutan barang bergerak bebas tanpa batas bawah dan tanpa regulasi yang mampu menjaga iklim persaingan tetap sehat.

Di tengah situasi pasar yang begitu kompetitif dan tanpa batas tarif yang wajar, praktik banting harga menjadi hal yang lumrah. Pemilik barang tentu akan memilih penyedia jasa angkutan paling murah, dan operator angkutan pun terpaksa menerima tarif murah demi tetap mendapat muatan. Karena biaya operasional sulit ditekan lagi dan tekanan margin keuntungan yang sangat tipis, satu-satunya cara bertahan yang dianggap realistis adalah menambah muatan melebihi kapasitas kendaraan. 

Pelanggaran ini bukan lahir dari niat melawan hukum, melainkan dari tekanan sistemik yang memaksa pelaku usaha mencari celah untuk bertahan. Ketika tidak ada perlindungan harga dan tidak ada insentif untuk taat aturan, ODOL pun berubah menjadi solusi diam-diam yang diterima sebagai kelaziman —meski jelas menyalahi hukum.

Sayangnya, penanganan ODOL selama ini hanya menonjolkan pendekatan penegakan hukum di lapangan, tanpa benar-benar menyentuh akar persoalan ekonominya. Razia dilakukan, sanksi dijatuhkan, tetapi yang disasar umumnya hanya sopir atau operator kecil. Sementara itu, pemilik barang, pemilik armada, atau sistem tarif yang mendorong terjadinya pelanggaran justru luput dari pengawasan. 

Akibatnya, penindakan terlihat tegas, tapi dampaknya tidak menyentuh jantung masalah. Kita sibuk menegakkan hukum di hilir, tapi abai membenahi regulasi di hulu, ibarat kata, sibuk menebang ranting-ranting masalah di hilir, tapi lupa mencabut akar persoalan di hulu.