
JAKARTA – Setiap 30 Juli, dunia memperingati Hari Anti Perdagangan Orang Sedunia. Namun bagi Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), momen ini bukanlah seremoni simbolik, melainkan pengingat keras atas kegagalan negara dalam menghentikan praktik eksploitasi sistemik terhadap buruh migran Indonesia.
Di tengah janji-janji pelindungan, sistem peradilan pidana justru menjadi ruang di mana korban kembali dilukai. Fakta yang dihadirkan dalam laporan SBMI bertajuk “Suara Korban dan Pendamping dalam Kasus TPPO: Membongkar Realitas Lemahnya Sistem Peradilan Pidana dan Abainya Aparat Penegak Hukum” menunjukkan dengan jelas: sistem hukum kita belum berpihak pada korban, bahkan secara aktif melanggengkan kekerasan melalui proses hukum yang tidak sensitif, meminggirkan korban dari hak dasarnya, dan melemahkan pendamping yang berjuang mendampingi mereka.
Pada Catatan Tahunan SBMI 2024, terdapat 251 Pekerja Migran Indonesia yang terindikasi menjadi korban perdagangan orang dari berbagai sektor.
SBMI mencatat sedikitnya 22 kasus perdagangan orang terhadap buruh migran yang dilaporkan sejak tahun 2014 hingga 2025 ke berbagai instansi kepolisian, namun belum menunjukkan progres berarti. Beberapa kasus telah berusia lebih dari satu dekade dan terancam kadaluarsa.
Di saat yang sama, hak restitusi yang telah diputus oleh pelbagai pengadilan senilai lebih dari Rp 5,6 miliar tak kunjung dieksekusi oleh kejaksaan. Di ruang sidang, korban bukan hanya diabaikan, tetapi juga dipermalukan secara terbuka oleh majelis hakim.
Hakim mempertanyakan alasan pelaporan korban, menyudutkan perempuan atas pengalaman kekerasannya, dan dalam beberapa kasus bahkan korban dijerat dengan pertanyaan-pertanyaan tak mendasar yang bertentangan dengan prinsip peradilan berbasis korban.
Pendamping korban menghadapi intimidasi, dikucilkan dari proses hukum, bahkan dicurigai, padahal kehadiran pendamping korban sangat vital dalam mendampingi korban yang mengalami trauma atas eksploitasi yang terjadi.
Laporan ini membongkar temuan penting dari lima wilayah pengadilan: Serang Banten, Pemalang Jawa Tengah, Malang Jawa Timur, Indramayu Jawa Barat, dan Sukadana Lampung. Di Serang, polisi sempat menolak laporan karena korban masih berada di luar negeri, mengabaikan fakta bahwa pelaku berada di Indonesia.
Di Indramayu, korban yang sedang hamil diperiksa selama delapan jam dalam satu hari tanpa ruang ramah perempuan. Di Pemalang, para calon awak kapal perikanan ditampung secara berbulan-bulan tanpa kejelasan pemberangkatan, dan ketika kasus terungkap, para korban justru ditempatkan di panti sosial tanpa fasilitas layak dan tanpa pelindungan. Beberapa dari korban ini bahkan kembali menjadi korban perdagangan orang ke Kamboja/Myanmar setelah dilepas tanpa reintegrasi.
Di Malang, perempuan korban malah diintimidasi oleh hakim di ruang sidang, dan diposisikan sebagai penyebab kegagalan teman-temannya berangkat kerja karena pelaporan yang dilakukannya.
Di Lampung Timur, aparat justru menyarankan korban berdamai dengan pelaku, disertai tekanan agar menerima uang damai, dan sejak awal kasus hanya diterima sebagai aduan masyarakat, bukan laporan resmi.
Kekerasan terhadap buruh migran tak hanya terjadi saat perekrutan atau penempatan, tetapi juga di tengah sistem hukum yang semestinya menjadi ruang pemulihan. Ketika proses hukum lebih berpihak pada kecepatan penyelesaian administratif daripada substansi pemulihan korban, maka keadilan berubah menjadi formalitas kosong.
Ketika hakim, jaksa, dan polisi masih memandang korban dengan kecurigaan, bukan empati; ketika koordinasi antar lembaga minim, dan restitusi yang telah diputus pengadilan tak pernah terwujud, maka negara telah gagal mewujudkan sistem peradilan pidana yang adil. Negara Gagal melindungi, gagal memulihkan, gagal bertanggung jawab.
