
NEW DELHIi – Kebijakan perdagangan terbaru yang diumumkan oleh pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, berupa penerapan tarif sebesar 25 persen terhadap seluruh produk impor dari India, berisiko menggeser lanskap geopolitik di kawasan Indo-Pasifik. Para analis menilai bahwa friksi perdagangan antara Washington dan New Delhi ini berpotensi memberikan keuntungan strategis yang tidak terduga bagi Tiongkok.
Pemerintahan Trump memberlakukan tarif tersebut efektif per 1 Agustus 2025, dengan alasan defisit perdagangan yang signifikan dan sebagai respons atas kebijakan perdagangan India yang dianggap proteksionis. Selain itu, Washington secara terbuka mengkritik pembelian minyak dalam jumlah besar oleh India dari Rusia, dan mengancam akan memberlakukan “penalti” tambahan. Langkah ini menandai eskalasi ketegangan yang signifikan dan membalikkan arah kebijakan AS sebelumnya yang berupaya merangkul India sebagai mitra strategis utama untuk mengimbangi pengaruh Tiongkok di Asia.
Baca juga:
Pemerintah Optimistis Kinerja Ekspor Indonesia ke Amerika Serikat Tetap Prospektif
Pemerintah India, melalui Kementerian Luar Negeri, telah menyatakan bahwa kebijakan tarif AS tersebut “tidak dapat dibenarkan dan tidak masuk akal.”, New Delhi menegaskan akan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk melindungi kepentingan nasional dan keamanan ekonominya. India berargumen bahwa strategi perdagangannya, termasuk dalam pengadaan energi, didasarkan pada kebutuhan domestik dan kondisi pasar global.
Di tengah perselisihan ini, Tiongkok berada dalam posisi sebagai pihak yang berpotensi diuntungkan. Analis kebijakan luar negeri berpendapat bahwa tekanan AS terhadap India dapat mendorong New Delhi untuk melakukan kalibrasi ulang terhadap strategi globalnya.
Dengan meningkatnya persepsi mengenai AS sebagai mitra yang tidak dapat diandalkan, India mungkin terdorong untuk mengurangi ketegangan dan mencari modus vivendi yang lebih pragmatis dengan Tiongkok, meskipun kedua negara memiliki rivalitas strategis dan sengketa perbatasan yang belum terselesaikan.
Secara strategis, kebijakan AS ini dapat melemahkan koalisi informal seperti Dialog Keamanan Kuadrilateral (Quad), yang terdiri dari AS, Jepang, Australia, dan India, yang secara luas dipandang sebagai benteng untuk menghadapi Tiongkok yang semakin asertif. Apabila hubungan AS-India merenggang, soliditas dan efektivitas aliansi tersebut dalam membendung pengaruh Tiongkok dapat terkikis.
Lebih lanjut, beberapa lembaga riset menyoroti adanya standar ganda dalam kritik AS. Data menunjukkan bahwa Tiongkok juga merupakan pembeli utama minyak Rusia, namun tidak menghadapi ancaman tarif serupa dari Washington. Hal ini menimbulkan spekulasi bahwa langkah terhadap India lebih bersifat taktis untuk memaksa konsesi dalam perundingan dagang, sebuah pertaruhan yang dapat memiliki konsekuensi geopolitik jangka panjang dengan secara tidak langsung memperkuat posisi Tiongkok di kawasan.
