120 views 15 mins 0 comments

Nur: Benteng Rapuh Pekerja Migran yang Terjepit

In Global, Internasional
August 14, 2025

Laporan: Hertasning Ichlas & Ratna Saptari.

LEIDEN – Kami terdorong menulis esai ini sebagai cara kami merayakan dan mendefinisikan pahlawan sehari-hari di tengah denyut komunitas Indonesia di Belanda, sekaligus di hadapan kesakralan Hari Kemerdekaan setiap 17 Agustus. 

Di dunia yang penuh dengan mereka yang memiliki kelimpahan—harta, pengetahuan, atau kuasa—namun memberi begitu sedikit, termasuk pemerintah yang kita amanatkan mengurus urusan publik demi hidup yang lebih mudah dan adil, namun kerap justru mempersulit, kisah ini hadir sebagai penegas bahwa kesediaan memberi dan berkorban tak selalu lahir dari mereka yang berpunya dan berkuasa.

Kisah ini tentang seorang perempuan yang hidup di Belanda tanpa memiliki apa pun—bahkan izin tinggal—namun memberi begitu banyak bagi tumbuhnya “pabrik sosial” kehidupan orang Indonesia di perantauan. Bisa dibilang, ia telah memberikan begitu banyak bagi kemanusiaan di sekelilingnya. 

Kami memilih tidak menyebut nama aslinya. Panggil saja ia Nur. Ia perempuan, istri, dan ibu dari tiga anak, berasal dari Jawa Timur. Sejak tahun 1999 hingga kini, ia hidup di Belanda tanpa dokumen. Saat meninggalkan Indonesia, anak sulungnya baru berusia 11 tahun, sedangkan si kembar masing-masing berusia 9 tahun.

Nur dan suaminya pernah punya hidup yang wajar di Surabaya. Ia akuntan di sebuah butik, suaminya programmer di perusahaan Jepang. Tidak kaya, tapi cukup. Namun di Indonesia, hidup kelas menengah tanpa jaring pengaman sosial yang kuat ibarat berdiri di tepi jurang—satu langkah naas bisa menjatuhkan segalanya.

Langkah itu datang pada pagi tahun 1998. Suaminya, mengantar anak ke sekolah dengan motor, lalu tertubruk truk. Pinggangnya patah total. Perusahaan menolak menanggung biaya operasi dengan alasan kecelakaan terjadi di luar pekerjaan. Dalam sekejap, rumah tangga mereka terguncang. Nur harus memikul dua beban yang sama berat: mencari nafkah untuk keluarga, sekaligus menanggung biaya pengobatan suami.

Enam bulan kemudian, di tengah kelelahan dan tekanan ekonomi yang nyaris membenamkannya, matanya tertumbuk pada sebuah iklan di surat kabar: lowongan kerja di Heineken, Rotterdam, gaji seribu gulden per bulan. Tawaran itu terdengar seperti jalan keluar. Ia melamar tanpa banyak pikir. Tapi sejak awal, pintu itu tak dibuka dengan kunci—melainkan dengan uang. Ia harus membayar dua juta rupiah hanya untuk mengikuti proses wawancara. Setelah lolos, ia diminta lagi membayar 14 juta.

Nur menjual sepeda motor satu-satunya demi menutup biaya itu. Nur tidak tahu apa pun soal prosedur resmi bekerja di luar negeri. Visa kerja hanyalah kata asing baginya. Yang ia dapat justru visa turis—itu pun setelah wawancara panjang di konsuler Belanda di Surabaya.

Baca juga:
Revisi UU PMI Tingkatkan Kesejahteraan Dan Keamanan Pekerja Migran

Maret 1999, Nur tiba di Bandara Schiphol. Seorang lelaki dari agensi menjemputnya—dan di sanalah “kehidupan baru” yang dijanjikan segera berubah menjadi lingkaran penderitaan yang menyelimuti hidupnya di negeri rantau.

Begitu tiba di Rotterdam, ia langsung ditagih 550 gulden untuk ongkos penjemputan dan sewa kamar. Tanpa persetujuannya, ia ditempatkan di kamar lelaki yang menjemputnya. Instingnya langsung berbunyi: bahaya. Nur berteriak dan mengancam akan memanggil polisi, memaksa lelaki itu berhenti melecehkannya.

Pekerjaan yang dijanjikan di lamaran ternyata omong kosong belaka. Untuk bertahan hidup, ia menerima pekerjaan apa saja: di restoran, mengantar koran, menjaga anak. Upahnya kecil, jam kerjanya panjang—dari pukul 11 siang hingga tengah malam. Di sela mencari nafkah, ia berkali-kali menjadi korban pelecehan seksual, memaksanya berulang kali kabur dari tempat kerja.

Hingga suatu subuh tahun 2011, sekitar pukul lima pagi, Nur berjalan gontai ke Stasiun Rotterdam, air mata membasahi wajahnya. Ia baru saja melarikan diri dari majikan laki-laki yang kembali melecehkannya. Di tengah jalan, seorang pria Belanda menghentikan mobilnya, menawarkan bantuan. Pertemuan itu menjadi titik balik: dari situlah ia mengenal Mister D dan Mister K, yang kemudian memberinya pekerjaan tetap hingga kini.

Awalnya, ia mengasuh dua anak kecil Mister D. Seiring waktu, ketika anak-anak itu tumbuh dewasa, tugasnya beralih merawat Oma. ibu Mister D yang sudah lanjut usia dan sakit-sakitan, membutuhkan perawatan penuh.

Nur kini tinggal bersama Oma. Merawat perempuan tua itu bukan tugas ringan. Oma berkepribadian keras, mudah marah, dan sering membangunkannya di tengah malam. Nur jarang menikmati tidur utuh, dan sulit menolak permintaan Oma yang kadang berlebihan, karena tempat tinggalnya bergantung pada Oma dan Mister D.

Ia bertahan di Belanda demi mencari penghidupan yang lebih baik untuk meringankan beban keluarganya di tanah air. Ia tidak akan terpikir untuk mengadu nasib ke negeri jauh jika akses pekerjaan dan jaminan sosial di Indonesia melindungi diri dan keluarganya seutuhnya sebagai manusia. 

Barangkali inilah alasan banyak orang Indonesia memilih menjadi tenaga migran tanpa dokumen dengan segala risikonya di negeri rantau—meski alasan dan akar masalah sosial ekonomi yang bersifat struktural itu kerap tak terucapkan. 

Sementara itu atribusi yang lebih sering diberikan oleh pihak lain terutama pemerintah kepada orang seperti Nur cenderung sangat hitam-putih dan pekat dengan logika biner: legal dan ilegal. Bahwa Nur adalah orang-orang “gelap” yang salah dan tidak sesuai aturan. 

Padahal menurut data Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) remitansi (pengiriman uang) tahunan dari pekerja migran termasuk pekerja tak berdokumen pada 2024 diperkirakan mencapai sekitar Rp 253,77 triliun. Angkanya terus meningkat dari tahun ke tahun. Menjadikan mereka penyumbang devisa terbesar kedua bagi Indonesia setelah sektor migas.