51 views 10 mins 0 comments

‘Paradoks Hilirisasi: Dilema di Balik Janji Energi Bersih’

In Kajian, Politika
July 18, 2025

JAKARTA – Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia menggelar CORE Media Discussion pada Rabu, 16 Juli 2025, dengan topik “Paradoks Hilirisasi: Dilema di Balik Janji Energi Bersih”. 

Diskusi ini menghadirkan para pemangku kepentingan dari lintas sektor, yakni Tim Sekretariat Satuan Tugas Percepatan Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional Dani Setiawan, Kepala Strategis Business Unit (SBU) Mineral PT Sucofindo Deddy Budiawan Sugianto, dan Direktur Riset CORE Indonesia Akhmad Akbar Susamto. 

Sebagai negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia, Indonesia memiliki peluang strategis untuk menjadikan hilirisasi sebagai penggerak transformasi ekonomi nasional. 

Akhmad Akbar menilai bahwa hilirisasi yang dikelola dengan baik dapat mendongkrak investasi, memperluas kesempatan kerja, dan memperkuat daya saing industri dalam negeri. Ia menyebutkan bahwa jumlah tenaga kerja pada industri logam dasar di Sulawesi Tengah meningkat, dari sekitar 10 ribu orang pada 2017 menjadi 39 ribu orang pada 2020. 

Kendati demikian, Akbar menekankan bahwa hilirisasi tidak boleh berjalan sendiri, melainkan harus selaras dengan prinsip tata kelola yang baik serta keberlanjutan lingkungan dan sosial. “Hilirisasi adalah peluang strategis bagi bangsa Indonesia, tetapi penerapan di sektor ini harus dibarengi dengan tanggung jawab terhadap tata kelola baik, lingkungan, dan masyarakat sekitar,” ujarnya. 

Sebagai bentuk pengawalan atas prinsip-prinsip tersebut, PT Sucofindo memainkan peran krusial melalui Jasa Pemastian. Dalam paparannya, Deddy Budiawan menjelaskan bahwa Sucofindo bersama PT Surveyor Indonesia melakukan verifikasi teknis terhadap perdagangan domestik dan ekspor produk mineral. 

Baca juga:
COREInsight: Meredam Guncangan Ekonomi Dari Gejolak Timur Tengah

Ia menyampaikan bahwa ini adalah bentuk nyata dukungan pemerintah melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terhadap hilirisasi yang akuntabel dan berkelanjutan.

“Surveyor melakukan verifikasi dan pemeriksaan dokumen, pelaksanaan, pengujian, dan pengawasan, serta penerbitan CoA (Certificate of Analysis) dan CoW (Certificate of Weight). Berikutnya, (CoA dan CoW) akan diberikan pelaku usaha. Output-nya adalah LHP (Laporan Hasil Pemeriksaan) untuk domestik,” jelas Deddy. 

Peran ini tidak hanya menjamin transparansi dan kepatuhan teknis, tetapi juga menjadi jembatan penting dalam memastikan bahwa kegiatan hilirisasi sejalan dengan target energi bersih dan standar internasional. 

Sementara itu, Dani Setiawan menegaskan bahwa hilirisasi sejatinya merupakan upaya untuk mentransformasikan struktur ekonomi Indonesia dari berbasis bahan mentah menuju industri bernilai tambah tinggi. “Transformasi yang diperlukan adalah struktural agar ekspor kita tidak melulu bahan mentah, tetapi produk jadi,” ujarnya. 

Ia menambahkan bahwa integrasi aspek keberlanjutan menjadi perhatian utama pemerintah dalam mengimplementasikan agenda hilirisasi. Pemerintah juga mendorong keterlibatan masyarakat luas agar komitmen Indonesia terhadap target penurunan emisi dapat terwujud secara konkret di lapangan. 

“Indonesia sedang berupaya mencapai 2nd NDC (Nationally Determined Contribution). Semua pembangunan harus dilengkapi dengan kerangka mencapai target penurunan emisi, terutama di industri. Ini perlu partisipasi publik yang luas supaya target ini tidak hanya di atas kertas, tetapi juga pada implementasinya,” pungkas Dani. 

Baca juga:
COREinsight: Setengah Daya Pacu Ekonomi

Diskusi ini mempertegas bahwa keberhasilan hilirisasi tidak hanya diukur dari nilai tambah ekonomi, tetapi juga dari kemampuannya menyeimbangkan pertumbuhan dengan keberlanjutan. Melalui sinergi antara kebijakan, pengawasan teknis, dan partisipasi publik, hilirisasi dapat menjadi motor pembangunan yang inklusif dan ramah lingkungan. 

1. Rencana dan Capaian Kebijakan Hilirisasi di Indonesia 
Agenda hilirisasi secara eksplisit menjadi fokus pemerintahan saat ini, sebagaimana tercantum dalam Asta Cita kelimabahwa pemerintah akan melanjutkan hilirisasi dan industrialisasi untuk meningkatkan nilai tambah di dalam negeri. 

Dari segi regulasi, agenda ini dilandasi oleh Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2025 yang merevisi UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba). Peraturan ini menyebutkan bahwa hilirisasi merupakan langkah awal perubahan Indonesia dari negara berkembang menjadi negara industri maju. 

Secara praktis, hilirisasi ditujukan untuk mengolah nikel dan sejumlah bahan tambang lain menjadi produk jadi di dalam negeri, bukan hanya mengeskpornya dalam bentuk bahan mentah. Meskipun terbilang sullit untuk mengestimasi dampak nyata kebijakan hilirisasi terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia, pemerintahan periode sebelumnya menyampaikan bahwa nilai ekspor hasil hilirisasi nikel mencampai hingga Rp500 triliun.