
JAKARTA – Presiden Direktur PEPS (Political Economy and Policy Studies), Anthony Budiawan, menyuarakan skeptisisme mendalam terhadap data pertumbuhan ekonomi Indonesia yang dirilis pemerintah.
Ia menilai angka pertumbuhan kuartal kedua sebesar 5,12 persen sebagai “mencurigakan” dan kemungkinan merupakan hasil fabrikasi data.
“Keraguan ini didasari oleh sejumlah indikator ekonomi riil yang justru menunjukkan tren pelemahan signifikan,” ujar Anthony Unpacking Indonesia – Zulfan Lindan.
Para analis, kata Anthony, memaparkan data-data yang berkontradiksi dengan klaim pertumbuhan positif. Diantaranya adalah penurunan investasi di sektor otomotif dan properti, survei konsumen Bank Indonesia yang tidak menggembirakan, serta Indeks Manufaktur (PMI) yang berada di zona kontraksi selama empat bulan berturut-turut.
‘Skeptisisme ini bahkan digaungkan oleh lembaga riset internasional seperti Capital Economics yang berbasis di London, yang secara terbuka menyatakan tidak lagi memercayai data ekonomi Indonesia karena tidak sinkron dengan data aktivitas internal mereka,” paparnya.
Di tengah kondisi ekonomi yang dinilai sulit, pemerintah dianggap gagal memberikan stimulus yang tepat. Alih-alih memberikan stimulus fiskal untuk mendorong pertumbuhan, negara justru disebut telah memasuki krisis fiskal akibat beban utang yang membengkak.
“Beban bunga utang kini memakan 25% dari penerimaan pajak. Kondisi ini memaksa pemerintah pusat memotong dana transfer dan mendorong daerah untuk kreatif mencari pendapatan sendiri, yang berujung pada kenaikan drastis Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di lebih dari 100 daerah,” Anthony.*
