61 views 13 mins 0 comments

Cerpen: Lintang

In Leisure, Seloka
August 28, 2025

Pagi-pagi ia sudah ada di jalanan. Setiap hari. Kadang-kadang ia keluar dari rumah pukul 04.00. Di kesempatan yang lain, ia muncul di saat yang sama ketika fajar menyingsing. Seperti belomba, mana yang lebih dulu bangun. Tentu saja fajar selalu jadi pemenang di setiap pagi. Fajar tidak pernah kesiangan. Ia punya durasi yang pas. Tanpa ada korupsi waktu sama sekali. Tapi membicarakan Lintang, bocah itu, jauh lebih menarik daripada fajar yang setia membentangkan karpet kuning bagi pagi.

Hari itu Lintang bangun pukul empat lewat lima menit. Ia tahu persis, tadi malam ada acara kenduri kecil-kecilan di halaman mushola kampung. Lintang yakin, ia bisa dapat uang lebih banyak hari ini. Dugaan bocah itu tidak pernah meleset. Belum ada siapapun selain dirinya. Seketika senyum mengambang di wajah kecilnya.

Lintang membawa karung berwarna putih dan pengait terbuat dari besi dengan ujung dibengkokkan. Lintang berjalan perlahan. Menyambar semua yang ada di depannya, yang bisa ia jadikan uang. Tidak lama, karung itu sudah terisi sepenuhnya. Lintang berdecak senang. Sebentar lagi, karung itu penuh. Ia buru-buru mengikatnya. Lintang tergesa-gesa meninggalkan musala.

Sesungguhnya Lintang enggan untuk pergi. Tapi dari kejauhan ia mendengar jejak langkah berat. Ia tahu siapa gerangan yang berjalan dalam gelap. Masih banyak plastik-plastik bekas yang berserakan. Tapi Lintang tidak mau ambil resiko. Berhadapan dengan Si Jangkung sama saja mencari masalah. Ia bisa kencing di celana lagi.

Gamang, Lintang teringat seminggu yang lalu. Si Jangkung menerkamnya dari belakang. Sangat tidak mungkin untuk mengambil langkah seribu dan lari terbirit-birit. Sudah dapat dipastikan bila Lintang nekat melakukannya, ia akan kalah. Lintang punya dua kaki yang tidak sempurna. Tungkai kanannya lebih pendek beberapa senti dari tungkai kiri. Melihat Lintang berjalan, seperti seorang kurcaci dengan kepala turun-naik.

Si Jangkung memegang kerah baju Lintang erat. Hal ini sebenarnya tidak perlu ia lakukan. Lintang tidak akan berpikir untuk lari. Ia ketakutan. Ini bukan pertama kalinya ia berhadapan langsung dengan Si Jangkung. Tiba-tiba ia tidak bisa menahan kencing.

“Kau mau coba lari bocah berkaki sayut? Ha…ha…ha!’’


Lintang begitu tersinggung, penuh kebencian ia menantang mata Si Jangkung dan berkata, “Tentu saja tidak.”

Semerta-merta Si Jangkung melepaskan pegangannya. Ia berjalan beberapa langkah dan mengambil karung berwarna putih milik Lintang yang sudah hampir terisi penuh. Ia tidak berkata apa-apa. Pun Lintang. Ia membiarkan Si Jangkung berlalu. Lintang berbalik, berjalan putus asa. Cuma pengait berujung bengkok saja yang ia bawa.

“Kurang ajar! Pasti si kaki sayut yang telah mengumpulkannya,” cletuk Si Jangkung kecewa menyaksikan halaman musala yang nyaris bersih. Dugaannya tidak salah, Lintang bangun lebih dulu. Ia semakin memusuhi Lintang. Gigi-giginya bergeretuk geram seperti harimau mengaum yang kecewa karena mangsanya lepas begitu saja.

Lintang masih bersembunyi. Ia mendengar semua cercaan Si Jangkung dari samping musala. Sampai punggung Si Jangkung menghilang di ujung jalan, ia belum mau keluar. Lintang khawatir Si Jangkung berubah pikiran dan berbalik.

Bocah itu keluar dan menunggu plastik bekas yang tersisa. Si Jangkung seolah enggan mengumpulkan. Pantang bagiku memakan sisa, begitu akunya tempo hari. Hari masih gelap saat Lintang berjalan pulang. Ia mengambil jalur yang berbeda dengan Si Jangkung. Berharap semua baik-baik saja menjelang ke rumah.

***

Lintang selalu berkawan fajar. Bocah itu tidak bangun cepat pagi ini. Olo, abangnya yang rada-rada ‘kurang’ ini demam. Mereka tinggal berdua di gubuk itu. Sejak tadi malam Lintang tidak bisa tidur. Olo mengerang pelan dengan nafas berat turun-naik. Lintang bingung. Bagaimana caranya ia dapat membeli obat, sementara Olo tidak mungkin ditinggal. Sudah hampir satu jam ia mematung di sudut gubuk. Mendadak Lintang ingat emak.

“Kenapa Abah cepat pergi ya, Mak?” Emak menggangguk. Ia dan Lintang terus berjalan menjelajahi gunung sampah. Sesekali berhenti dan memungut sesuatu yang bisa dijual ke penadah.

“Sejak kapan kaki Lintang seperti ini, Mak?”


Emak memandang Lintang. Menarik nafas panjang-panjang. “Dulu kita punya tetangga yang jahat. Ia sering menertawakan kita. Bahkan Mak sering mendengar ia menggunjingkan Olo. Lalu tertawa terbahak-bahak. Apa yang lucu?” 

Lintang mendengar cerita emak dengan seksama.

“Kau tahu?” lanjut Emak. “Abahmu marah bukan main. Hampir setiap malam ia memikirkan cara membalas. Ia berdoa supaya tetangga kita itu juga dapat anak seperti abangmu. Tapi Tuhan tidak pernah mengabulkan. Perempuan itu tidak kunjung mengandung. Abahmu tidak bisa menahan hati lagi saat perempuan itu terang-terangan menghina Olo. Emak cepat-cepat menahan Abah. Ia berniat membunuh perempuan itu dengan tangannya sendiri,” Emak mendadak diam.

“Lalu?”


“Abah tidak pernah melakukannya. Dua bulan kemudian kita pindah. Waktu itu Emak hamil besar.”


“Mengandung Lintang, Mak?” 

Emak mengangguk. Namun, Lintang belum mendapat jawaban apa-apa tentang kakinya yang panjang sebelah. Ia masih memandang Emak. 

Emak mengerti. Lalu melanjutkan ceritanya. “Pagi-pagi, sebelum kita berangkat, Abah pergi ke kandang ayam perempuan itu,” kata Emak.


“Dan mematahkan kaki ayamnya?” sahut Lintang.


Emak spontan mengangguk. “Ya. Abah mematahkan kaki kanan ayamnya.” 

Lintang manggut-manggut. Persis. Kaki kanan bocah itu lebih pendek dari kaki kiri. Keadaannya yang seperti inilah membuat ia takut bukan main pada Si Jangkung. Tapi…


“Kau tahu kenapa kakimu panjang sebelah, Lintang?” tanya Abah pada suatu hari.


“Kata Emak karena Abah memetahkan kaki ayam tetangga kita yang selalu menertawakan Olo,” jawab Lintang.


“Kamu salah.”


Dahi Lintang berkerut, “Lalu?”


“Emak kau mencibir melihat anak tetangga kita yang baru. Ia persis seperti kau ini.”


Kali ini Lintang merasa keduanyalah yang menjadi penyebab. Dan sejak hari itu, ia tidak pernah bertanya kenapa ia punya dua kaki yang seperti itu. Ia tidak menyalahkan siapa-siapa.