
Pesawat itu mendarat di Bandara Internasional Kairo menjelang senja. Dari balik jendela kabin, langit tampak muram, seolah sedang bersekongkol dengan kabut yang menggantung. Faris menempelkan dahinya ke kaca yang dingin. Sudah bertahun-tahun ia tidak menginjakkan kaki di kota ini—tanah yang seakan selalu berdenyut oleh luka, namun sekaligus memanggilnya dengan kerinduan yang sulit dijelaskan.
Ia datang bukan semata-mata karena tugas redaksi. Kairo bukanlah tujuan utama, tapi Gaza, Palestina. Gaza baginya adalah sesuatu yang lebih personal, sebuah titik yang masih menggantung di hatinya, tak pernah benar-benar selesai. Di antara reruntuhan, dulu ia pernah menemukan sepasang mata. Mata itu milik seorang gadis bernama Rania. Ia bukan sekadar narasumber, melainkan wajah yang menyelamatkan Faris dari sunyinya perjalanan.
Ketika roda pesawat berhenti berputar, Faris merasakan detak jantungnya berdegup aneh: campuran antara ketakutan, rindu, dan kehilangan yang belum ia pahami sepenuhnya. Perjalanan dari Kairo menuju perbatasan Rafah, pintu masuk Gaza, masih enam jam lagi. Malam ini ia harus menginap di Kairo, dan melanjutkan perjalanan ke Gaza keesokan harinya.
Lima belas tahun silam, Faris meliput agresi militer Israel terhadap Gaza dengan tajuk “Operation Cast Lead”. Hampir sebulan lamanya ia terjebak dalam gemuruh ledakan bom, erang kesakitan, dan tetes darah yang membasahi tanah Palestina. Di sebuah sekolah mungil bentukan UNRWA (Badan PBB untuk Urusan Pengungsi Palestina), Faris bertemu Rania, gadis yang baru lulus kuliah dari Universitas al-Azhar Gaza, dan mengajar Bahasa Inggris di sekolah reot itu.
Rania lulus dari Fakultas Sastra Inggris, Universitas al-Azhar Gaza, dengan predikat ‘summa cum laude’. Impiannya untuk melanjutkan studi keluar negeri terhalang tembok besar berupa invasi Zionis ke tanah kelahirannya. Dan di sebuah kamp pengungsi Jabaliya, di dalam kelas tanpa tembok dan jendela itu, Rania mengabdikan diri.
Dan kini, di jendela pesawat yang tak lagi bergerak, wajah Rania mendominasi dan menghalangi pandangan Faris pada keriuhan bandara di luar sana. Ia masih terpaku. Enggan beranjak dari kursinya, demi menatap wajah itu lebih lama lagi.
*
Pagi di perbatasan Rafah, yang membelah Mesir dan Palestina, antrean ribuan manusia sudah mengular panjang. Riuh warga Gaza yang ingin kembali pulang ke kampung halaman bersahutan dengan instruksi aparat berseragam putih. Faris menunggu dengan sabar, sesekali menunduk ke layar ponselnya yang menampilkan dokumen perjalanan, dan selebihnya hanya memelototi bayangan dirinya di kaca gawai mungil itu.
Usai pemeriksaan yang seolah tak berkesudahan, akhirnya ia berhasil memasuki gedung imigrasi yang hanya berjarak sepelemparan batu dari gerbang besi gigantis yang memisahkan jarak dua negara. Untuk kedua kalinya Faris terjebak di gedung ini. Pada 2009 lalu, ia juga tertahan lama di sini, bertubi-tubi diberondong pemeriksaan yang tiada henti oleh polisi, badan intelijen dan petugas imigrasi Mesir. Nuansa dan aroma tak bersahabat yang meruapi ruangan ini, makin menyesakkan dadanya. Keheranannya makin memuncak, belasan tahun berlalu, suasana gedung ini masih saja menyimpan kepongahan yang seolah dikekalkan dalam kotak pandora.
“Hari pertama. Panas seperti menempel di kulit. Anak-anak tidur di lantai gedung imigrasi Rafah. Ada seorang ibu yang membawa roti kering di tas plastik, dibagi-bagikan diam-diam. Semua orang menunggu kesempatan melintas. Gaza, kau begitu dekat, namun tetap saja terasa seperti benua lain yang mustahil disentuh,” tulis Faris dengan cepat di buku kecilnya. Baginya, catatan itu bukan sekadar laporan, melainkan mantra penenang.
Sore itu, ketika akhirnya ia mendapat izin melintasi garis batas yang memisahkan Mesir dan Palestina, perasaan berbuncah memenuhi rongga dadanya. Di bangku bis paling belakang, Faris merasakan tubuhnya ditekan sejenis ketegangan yang khas—antara salak senapan, dentum meriam, dan kerinduan yang tak sempurna. Bis karatan bergerak pelan dalam komplek imigrasi Rafah menuju gedung imigrasi Palestina.
Ia memejamkan mata, wajah Rania muncul seketika. Senyumnya samar, seperti seberkas cahaya lilin yang nyaris padam. “Apakah kau masih di sana, Rania?” bisiknya dalam hati.
***
“Amin, sekarang kita bergerak ke kamp pengungsi Jabaliya. Aku mau meliput tentang satu-satunya sekolah UNRWA yang masih tersisa di sana,” kata Faris pada Amin, ketika lelaki ceking itu baru saja memarkirkan mobil bututnya di depan apartemen yang disewa Faris selama meliput di Jalur Gaza.
Apartemen itu terbilang mungil, hanya terdiri dari tiga lantai. Terletak di sebuah jalan raya dekat Rumah Sakit Asy-Syifa, apartemen ini merupakan tempat berkumpulnya para jurnalis dari berbagai negara yang meliput serangan Israel di Jalur Gaza. Israel memulai serangan menjelang akhir tahun baru 2008, dan berlanjut hingga bulan-bulan berikutnya di 2009.
Di lantai tiga gedung mungil itu, Faris satu kamar dengan dua orang jurnalis dari Spanyol dan Italia. Mereka patungan menyewa sebuah ruangan berukuran 4 x 6 meter selama sebulan ke depan. Harga sewa sebesar USD 3.000 mereka bayar di muka. Harga yang cukup murah untuk ukuran Gaza yang memang tidak dalam kondisi normal.
“Baik, bos,” sahut Amin pendek, lantas membuka pintu depan mobil sebelah kanan. Faris melemparkan pantatnya di atas jok mobil yang lapuk dan berbau tanah khas padang pasir. Gumpalan debu menempel di hampir seluruh bagian dalam kendaraan yang tak jelas jenisnya itu.
Sebagaimana apartemen, Faris juga telah mengontrak Amin untuk menjadi ‘driver’ merangkap ‘fixer’ selama di Gaza. Lelaki paruh baya yang telah menduda itu harus siap siaga mengantarkan Faris ke seluruh wilayah Gaza, kapan pun dibutuhkan. Dan seperti hari ini, lelaki berjenggot tipis itu telah menampakkan batang hidungnya di depan apartemen.
Meliput sekolah PBB di Jabaliya itu adalah bagian terakhir dari rangkaian liputan Faris di Jalur Gaza. Masih tersisa tiga hari baginya untuk berada di wilayah yang tiada henti mengetam luka itu. Pemerintah Mesir hanya memberikan waktu sebulan lamanya pada Faris untuk melaksanakan tugas jurnalistik di Jalur Gaza. Pejabat intelijen Mesir mengancam akan menjebloskannya ke penjara jika melebihi masa tinggal.
Kendaraan melaju pelan, membelah jalan utama di pusat Kota Gaza menuju wilayah utara kawasan yang terblokade itu. Di angkasa, tiga pesawat tempur Israel tampak meraung-meraung menebarkan ancaman lewat manuver-manuver akrobatik. Hasilnya, dari kejauhan terdengar tiga ledakan yang mengguncang kota. Mobil butut Amin bergelinjang bak pegas yang ditekan secara tiba-tiba berulang kali. Lelaki yang ingin segera keluar dari Gaza ini malah menyeringai dan menikmati kekagetan yang dialami Faris.
“Ini Gaza, akhi (saudaraku),” ujarnya seraya menampakkan deretan giginya yang tak dibisa disebut putih. “Jadi, tenang saja. Kalau belum waktunya kita mati, maka kita tak akan mati. Laa takhof wa laa tahzan (jangan takut dan jangan sedih)!”
Faris hanya melengos sejenak ke arah muka Amin, lantas kembali mengarahkan pandangan ke depan, menembus kaca mobil yang makin tebal tertutup debu. Ia agak malas merespons ucapan sopir yang seolah menyitir penggalan ayat kitab suci itu.
Amin sebenarnya sosok yang baik, sopan, dan ramah. Bapak beranak satu ini selalu berhasil menembus narasumber yang dibutuhkan Faris, entah itu dari kalangan Hamas atau Fatah. Ia menjalin komunikasi yang baik dengan mereka, dan memenuhi segala kebutuhan liputan Faris.

Ballig salam haar li ahli gazza
Insya Allah.