
JAKARTA – Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo) mengimbau publik untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap peredaran masif berita bohong atau hoaks yang menyertai gelombang demonstrasi di sejumlah daerah sejak Kamis (28/8). Mafindo memperingatkan bahwa penyebaran disinformasi ini berpotensi memperkeruh situasi dan memicu eskalasi kekerasan di lapangan.
Ketua Presidium Mafindo, Septiaji Eko Nugroho, menyatakan bahwa pihaknya telah mengidentifikasi berbagai hoaks yang beredar luas di media sosial dan aplikasi pesan. Di antaranya adalah klaim palsu mengenai terjadinya penjarahan di Gedung DPR RI dan Mal Atrium Senen, serta penggunaan teknologi kecerdasan buatan (deepfake) untuk menciptakan konten yang menyesatkan.
“Hoaks mengenai kerusuhan, penjarahan, dan represi aparat yang beredar bisa memperkeruh situasi. Akibatnya, muncul ketidakpastian, kemarahan, hasutan kebencian, dan aksi kekerasan,” ujar Septiaji dalam keterangan persnya di Jakarta, Senin (1/9/2025).
Mafindo menyoroti bahwa di tengah derasnya arus informasi, masyarakat harus mampu menyaring antara misinformasi, disinformasi, malinformasi, dan ujaran kebencian. “Masyarakat jangan mudah terprovokasi oleh konten tidak jelas, hoaks, maupun hasutan kebencian,” tegas Septiaji.
Baca juga:
Jusuf Hamka Serukan Optimisme di Tengah Gejolak Sosial
Ia menganjurkan masyarakat untuk menjadikan media massa arus utama yang kredibel sebagai rujukan utama dan memanfaatkan platform media sosial secara lebih bertanggung jawab.
Septiaji juga mengamati adanya fenomena aktivisme digital yang berjalan paralel dengan aksi di jalanan, di mana warganet menyiarkan peristiwa secara langsung dan menyuarakan aspirasi mereka. Namun, ia mengingatkan bahwa aktivisme ini kerap disertai dengan praktik berbahaya seperti doxing (penyebaran data pribadi tanpa izin), persekusi daring, dan serangan siber yang dapat merugikan individu.
Meskipun demikian, Mafindo menegaskan dukungannya terhadap demonstrasi sebagai bagian dari kebebasan berpendapat dan berekspresi yang sah dalam negara demokrasi. Namun, organisasi ini menentang keras segala bentuk kekerasan, baik yang dilakukan oleh aparat maupun demonstran, serta tindakan kriminal seperti penjarahan.
“Menjarah adalah tindakan yang harus dijauhi karena tergolong tindak pidana pencurian,” pungkasnya.
