
JAKARTA – Indonesia diguncang gelombang amarah rakyat setelah kematian Affan Kurniawan (21), seorang pengemudi ojek online yang menjadi simbol kerentanan pekerja urban tanpa kepastian penghasilan maupun perlindungan sosial. Tragedi ini memicu protes luas, dengan kemarahan tumpah dalam bentuk perusakan simbol negara dan penyerangan fasilitas publik serta properti pribadi tokoh-tokoh publik. Pertanyaannya adalah mengapa demikian?
Program Studi Sosiologi Universitas Nasional menegaskan bahwa protes ini bukan sekadar gejolak kerusuhan, melainkan cermin transformasi besar dalam kehidupan sosial-politik Indonesia kontemporer, yang menuntut keadilan sosial dan perbaikan tata kelola perkotaan. Uraian berikut merangkum pokok kertas posisi yang membaca gelombang protes dari sudut sosiologis-historis: bukan sekadar kerusuhan, melainkan ekspresi politik rakyat akibat akumulasi ketidakadilan, rapuhnya kelas menengah, dan tersumbatnya representasi. Analisis ini menjadi pijakan kebijakan yang lebih adil dan responsif.
Ringkasan Tinjauan
- Reportoar aksi kolektif. Gejolak pada akhir Agustus-awal September 2025 bukanlah ledakan spontan, melainkan kelanjutan dari tradisi panjang tindakan kolektif rakyat. Charles Tilly (2006) menegaskan bahwa setiap masyarakat memiliki repertoar protes serangkaian cara bertindak yang dipelajari, diulang, dan dikenali oleh rakyat maupun negara. Karena itu, peristiwa ini tidak dapat dianggap anomali, melainkan sebuah bab baru dalam kosakata politik jalanan Indonesia.
- Pergerseran lokus protes rakyat. Gejolak itu juga menunjukkan fakta penting bahwa secara historis lokus protes rakyat di Indonesia telah bergeser. Jika dulu pemberontakan kerap muncul dari desa agraris pada abad ke-19 hingga 1960-an kini keresahan lahir dari kota, produk urbanisasi besar sejak awal 2000-an. Kota menghadirkan janji mobilitas sosial, tetapi juga memunculkan ketidakpastian hidup, solidaritas sosial yang rapuh, serta kedekatan dengan simbol kuasa yang terasa timpang. Peristiwa Jakarta pun bukan insiden tunggal, melainkan bagian dari rangkaian demonstrasi yang menolak kebijakan pemerintah yang dianggap membebani rakyat dan mempersempit demokrasi.
- Aksi yang terpola. Apa yang tampak sebagai aksi spontan sesungguhnya mengikuti pola yang telah berulang sejak Reformasi 1998. Mahasiswa kerap menjadi pemantik, membuka ruang bagi rakyat yang lebih luas untuk ikut serta, hingga bentrokan dengan aparat menjadi klimaks terantisipasi (Aspinall, 2013). Urbanisasi cepat, ketimpangan sosial-ekonomi, dan rapuhnya kota menciptakan lahan subur politik jalanan (Hadiz, 2010). Karena itu, ledakan kemarahan 2025 bukan kejutan, melainkan ekspresi politik rakyat sahih atas ketidakadilan struktural.
- Kotradiksis sosial-ekonomi yang menumpuk di perkotaan menjadi akar ledakan protes Jakarta pada Agustus 2025. Urbanisasi besar-besaran menjadikan kota pusat mobilitas sosial, tetapi juga ruang penuh ketidakpastian: biaya hidup melambung, solidaritas sosial melemah, dan kanal politik tersumbat (Bauman, 2000). Kelas menengah, pilar demokrasi, menyusut dari 57,3 juta jiwa (2019) menjadi 47,9 juta (2024) (Katadata, 2025). López-Calva & Ortiz-Juárez (2014) menyebut kondisi ini sebagai “rentan jatuh miskin.” Bersamaan, pekerja gig economy tanpa perlindungan dasar menanggung beban serupa.
- Memburuknya kondisi ekonomi rakyat. Biaya hidup yang tinggi, upah minimum tak mencukupi, dan gelombang PHK memperburuk keadaan. Data Kemnaker yang dikutip Katadata (2025) mencatat 42.385 kasus PHK hingga Juni 2025, naik 32% dari tahun sebelumnya. Banyak pekerja terpaksa masuk sektor informal tanpa perlindungan, memperdalam jurang antara elite dan rakyat. Protes perkotaan pun menjadi ekspresi keras krisis representasi dengan adanya sumbatan dalam sistem politik yang tidak lagi dapat menjadi saluran aspirasi suara rakyat.
- Partai politik tidak berfungsi sebagai penyalur aspirasi rakyat. Alih-alih menjadi jembatan antara masyarakat dan negara, partai justru beroperasi layaknya kartel elektoral yang sibuk dengan transaksi pasca-pemilu. Ketika keresahan rakyat meledak di jalanan, tidak ada partai yang mampu mengantisipasi maupun menenangkan massa; mereka memilih diam, menjadi penonton, dan bahkan takut berhadapan dengan rakyat yang marah.
- Media membentuk persepsi dan daya kekuatan aksi. Media arus utama cenderung menyoroti aspek kekerasan dan “anarkis,” sehingga menutupi akar struktural seperti beban hidup dan krisis representasi politik. Sebaliknya, media alternatif dan platform digital menghadirkan narasi tandingan melalui video amatir, unggahan personal, dan siaran langsung yang menyoroti sisi kemanusiaan, terutama tragedi Affan Kurniawan. Teknologi digital mempercepat penyebaran amarah: isu lokal di Jakarta dengan cepat meluas ke Makassar, Yogyakarta, dan kota lain. Media, karenanya, menjadi arena perebutan wacana antara kriminalisasi protes dan legitimasi politik rakyat.
- Tergerusnya jaminan pengaman sosial dan kohesivitas masyarakat urban Indonesia. Urbanisasi masif telah mengikis solidaritas desa tanpa menghadirkan pengganti yang kokoh di kota, membuat individu tercerabut dari jaring pengaman sosial dan hidup dalam kondisi cair serta rapuh sebagaimana digambarkan Bauman. Dalam situasi ini, tindakan massa bukanlah deviasi, melainkan bahasa terakhir mereka yang kehilangan suara.
- Gaya hidup pamer elite politik kian mencolok di tengah kesenjangan sosial yang semakin terasa. Para pejabat tampil dengan fasilitas negara yang mewah, mulai dari kendaraan dinas, rumah dinas, hingga perjalanan luar negeri dengan biaya tinggi yang ditanggung rakyat. Sirene kendaraan dinas yang memaksa jalanan terbuka lebar di tengah kemacetan menjadi simbol sehari-hari betapa privilese kekuasaan begitu kontras dengan penderitaan warga yang harus bergulat dengan biaya hidup. Pola hidup konsumtif dan demonstrasi kemewahan ini bukan sekadar soal etika, tetapi menegaskan jarak kuasa antara elite dan rakyat, sekaligus memperdalam ketidakpercayaan publik terhadap negara.
Baca juga:
Dari Konsesi Ke Konsekuensi
Penutup Apa yang kita saksikan di jalanan Jakarta bukan sekadar huru-hara, melainkan cermin rapuhnya kontrak sosial masyarakat urban Indonesia. Seperti diingatkan Emile Durkheim, masyarakat modern hanya bertahan bila solidaritas sosial terpelihara. Namun urbanisasi massif telah meruntuhkan solidaritas desa tanpa menghadirkan pengganti di kota, meninggalkan individu dalam kondisi rapuh sebagaimana digambarkan Bauman dengan istilah liquid modernity.
