
JAKARTA – Analis politik dari Universitas Indonesia, Dr. Bonny Hargens, menilai bahwa gelombang unjuk rasa masif yang terjadi pada akhir Agustus lalu merupakan letusan kemarahan publik yang otentik terhadap arogansi elite politik, dan bukan sebuah gerakan makar yang bertujuan menggulingkan Presiden Prabowo Subianto.
Menurutnya, kemarahan tersebut tidak ditujukan kepada presiden yang secara pribadi masih dihormati rakyat, melainkan kepada para elite di parlemen dan sebagian di eksekutif yang kebijakannya dianggap menyakiti hati rakyat.
Menurut Bonny, kemarahan publik ini merupakan akumulasi dari serangkaian kebijakan pemerintah yang kontroversial dan tidak berpihak pada rakyat. Pemicunya antara lain adalah kenaikan pajak di sejumlah daerah, wacana pemblokiran rekening oleh PPATK.
Baca juga:
Disorot PBB atas Kematian Demonstran, Pemerintah Janji Usut Aparat Pelanggar HAM
Ancaman pengambilalihan lahan tidur oleh negara, dan puncaknya adalah disahkannya kenaikan tunjangan bagi anggota DPR di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang sulit. “Puncaknya di situ. Orang marah, orang turun ke jalan,” ujar Bonny.
Bonny secara serius mengingatkan adanya potensi ancaman “Jawa Spring”, sebuah gelombang kemarahan publik yang lebih besar, jika akar persoalan ini tidak segera ditangani. Ia menganalogikannya dengan “Arab Spring” yang dimulai dari Tunisia, di mana aksi protes seorang individu dapat memicu revolusi di seluruh kawasan.
Gerakan protes yang dimulai dari Pati, Jawa Tengah, terkait penolakan pajak, dianggap sebagai sinyalemen awal yang harus diwaspadai oleh seluruh institusi negara sebagai langkah mitigasi.
