
JAKARTA – Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) menghadapi gugatan perdata senilai Rp 125 triliun di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Gugatan ini dilayangkan oleh seorang warga sipil bernama Subhan Palal yang mempersoalkan keabsahan ijazah setara SMA milik Gibran saat mendaftar sebagai calon wakil presiden pada Pemilu 2024 lalu.
Gugatan yang terdaftar dengan nomor perkara 583/Pdt.G/2025/PN Jkt.Pst ini dijadwalkan akan menjalani sidang perdana pada Senin, 8 September 2025.
Subhan Palal berargumen bahwa Gibran tidak memenuhi syarat pendidikan minimum sebagai cawapres. Ia mendasarkan gugatannya pada Undang-Undang Pemilu yang menurutnya secara spesifik mensyaratkan calon presiden dan wakil presiden harus merupakan tamatan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA), SMA, atau yang sederajat dalam lingkup sistem pendidikan Indonesia.
“Syarat menjadi cawapres tidak terpenuhi. Gibran tidak pernah sekolah SMA sederajat yang diselenggarakan berdasarkan hukum RI,” ujar Subhan saat dihubungi pada Rabu (3/9/2025).
Baca juga:
Penetapan Tersangka Kasus Ijazah Jokowi Diprediksi Awal September
Menurut Subhan, ijazah Gibran dari Orchid Park Secondary School di Singapura dan UTS Insearch di Sydney, Australia, tidak secara otomatis memenuhi syarat tersebut. Ia berpendapat bahwa KPU tidak memiliki kewenangan untuk menafsirkan dan menyetarakan kualifikasi pendidikan dari luar negeri dengan standar SLTA/SMA yang diamanatkan undang-undang.
“Ini pure hukum, ini kita uji di pengadilan. Apakah boleh KPU menafsirkan pendidikan sederajat dengan pendidikan di luar negeri,” lanjutnya.
Salah satu hal yang paling menarik dari gugatan ini adalah tuntutan ganti rugi yang fantastis, yakni sebesar Rp 125 triliun. Namun, Subhan menegaskan bahwa uang tersebut tidak ditujukan untuk dirinya, melainkan harus disetorkan ke kas negara. Langkah ini, menurutnya, membuktikan bahwa gugatannya murni bertujuan untuk menegakkan hukum.
Subhan juga membantah adanya motif politik atau sponsor di balik gugatannya. Ia mengaku bergerak sendiri karena merasa “hukum telah dibajak” dan menduga KPU berada di bawah tekanan saat meloloskan pencalonan Gibran. Sebelumnya, ia pernah melayangkan gugatan serupa ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, namun ditolak karena dianggap telah melewati batas waktu sengketa pemilu.
