64 views 8 mins 0 comments

Meluasnya Aksi Protes dan Tumbuhnya Kelas Baru yang Rawan

In Nasional, Peristiwa, Politik
September 08, 2025

JAKARTA – Di sebuah malam pada akhir Agustus 2025, di tengah hiruk pikuk jalan raya Sudirman–Thamrin Jakarta, bayangkan seorang pengemudi ojek daring merapatkan jaket hijaunya. Ia baru saja menyelesaikan pesanan terakhirnya, tetapi wajahnya tampak tegang. Bukan karena lelah, melainkan karena rentetan berita yang masuk di grup WhatsApp rekan-rekannya.

“Harga beras melonjak, cicilan motor naik, kontrak sewa rumah segera habis.”

Ia menatap gemerlap jalanan ibu kota dengan rasa getir. Lebih dari dua belas jam ia bekerja setiap hari, namun tak pernah ada kepastian apakah esok masih akan ada cukup pesanan untuk menyambung hidup. Ponselnya bergetar lagi—bukan notifikasi dari pelanggan, melainkan ajakan untuk ikut dalam aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR.

“Kita ini kaum yang rawan,” tulis temannya di grup. “Kalau bukan kita yang bersuara, siapa lagi?”

Kisah pengemudi ojol ini bukan sekadar cerita pribadi. Ia adalah simbol dari jutaan rakyat Indonesia yang kini hidup dalam bayang-bayang ketidakpastian. Dari rahim keresahan inilah lahir gelombang protes di 107 titik, yang tersebar di 32 provinsi, dan mengguncang negeri ini.

Memperkenalkan Prekariat: Kelas Baru yang Rawan

Guy Standing, seorang ekonom dan sosiolog terkemuka dari Inggris, menulis sebuah buku yang menjadi cermin zaman: The Precariat: The New Dangerous Class (2011). Di dalamnya, ia memperkenalkan istilah prekariat—sebuah kelas sosial yang hidup dalam kondisi serba tidak pasti (precariousness). Saya menerjemahkan kelas ini sebagai “kelas baru yang rawan”.

Berbeda dengan kaum proletariat klasik di era industri yang, meskipun miskin, memiliki stabilitas pekerjaan, kaum prekariat adalah mereka yang miskin sekaligus rapuh. Guy Standing merinci empat ciri utama dari kelas ini:

  1. Ketidakpastian Hidup: Kehidupan mereka ditentukan oleh kontrak jangka pendek, pekerjaan lepas (freelance), atau algoritma aplikasi. Masa depan menjadi sesuatu yang mustahil untuk dipetakan.
  2. Hilangnya Hak-Hak Dasar: Jika proletariat diperkuat oleh serikat buruh, kaum prekariat justru tercerai-berai. Mereka seringkali tidak memiliki akses terhadap perlindungan sosial, jaminan kesehatan, atau dana pensiun.
  3. Identitas yang Cair: Hari ini mereka bisa menjadi kurir, besok menjadi pekerja lepas desainer grafis, dan lusa menganggur. Identitas pekerjaan yang terus berubah ini membuat solidaritas di antara mereka sulit untuk dibangun.
  4. Bahaya Politik: Frustrasi yang menumpuk dapat membawa mereka ke dua arah: ke progresivisme yang menuntut keadilan sosial, atau ke populisme ekstrem yang membakar kebencian terhadap kelompok lain.

Guy Standing mengingatkan kita: mengabaikan keresahan kelas ini ibarat membiarkan bara api dalam sekam—yang setiap saat bisa menyala dan memicu ledakan sosial.