
JAKARTA – Kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) dari SPBU swasta seperti Shell dan Vivo yang terjadi di sejumlah wilayah dinilai sebagai bentuk “pemaksaan terselubung” agar konsumen kembali menggunakan produk Pertamina. Praktik ini dianggap sebagai persaingan bisnis yang tidak sehat dan berisiko merusak iklim investasi di Indonesia.
Analisis tajam ini disampaikan oleh Ketua Institut Studi Transportasi (Instran), Ki Darmaningtyas. Menurutnya, fenomena ini tidak bisa dilepaskan dari dinamika pasar pasca-kasus BBM oplosan yang sempat menerpa Pertamina.
“Sejak Pertamina terjegal kasus itu, masyarakat cenderung beralih ke SPBU seperti Shell dan Vivo, sehingga penjualan Pertamina turun. Supaya masyarakat kembali ke Pertamina, ya ada semacam paksaan seperti sekarang ini dengan membatasi impor (untuk swasta),” ujar Darma dalam keterangannya, Jumat (19/9/2025).
Menurut Darma, Pertamina seharusnya tidak perlu takut pada persaingan. Alih-alih mengandalkan proteksi, perusahaan pelat merah tersebut semestinya fokus memenangkan kepercayaan publik melalui peningkatan kualitas produk dan layanan.
“Kalau mereka percaya pada kualitas BBM Pertamina, maka tidak perlu takut konsumen akan hijrah. Pemerintah mestinya tetap membuka keran impor bagi SPBU swasta asing ini,” tegasnya.
Darma menekankan bahwa pada akhirnya, konsumen memiliki hak penuh untuk memilih produk terbaik sesuai kebutuhan mereka, dan biarkan mekanisme pasar yang bekerja secara adil.
Lebih jauh, ia memperingatkan bahwa kebijakan yang terkesan menghambat pemain swasta ini bisa menjadi sinyal negatif bagi investor asing. “Kebijakan tidak memperpanjang izin impor justru kontraproduktif. Hal ini dapat membuat investor asing merasa tidak nyaman,” pungkasnya.
