18 views 2 mins 0 comments

Eks Presiden Filipina Didakwa ICC atas Kejahatan Kemanusiaan

In ASEAN
September 23, 2025

DEN HAAG – Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) secara resmi mendakwa mantan Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, atas kejahatan terhadap kemanusiaan. Dakwaan ini terkait perannya sebagai “pelaku tidak langsung” dalam ribuan pembunuhan di luar hukum yang terjadi selama kebijakan “perang melawan narkoba” yang brutal, baik saat ia menjabat sebagai presiden maupun sebagai wali kota.

Menurut dokumen dakwaan yang dipublikasikan pada Senin (22/9/2025), Duterte dituduh bertanggung jawab atas puluhan pembunuhan spesifik yang dilakukan oleh pihak lain, termasuk aparat kepolisian, dengan dalih memberantas narkotika.

Dakwaan tersebut dibagi menjadi tiga bagian utama: keterlibatan Duterte dalam pembunuhan 19 orang di Kota Davao saat ia menjabat wali kota (2013-2016), serta pembunuhan puluhan orang lainnya dalam operasi pembersihan desa dan penargetan “target bernilai tinggi” selama masa kepresidenannya (2016-2022).

Baca juga:
Perang Visa H-1B: Trump Patok Biaya Selangit

Jaksa menuduh Duterte memiliki “rencana bersama untuk menetralisir” orang-orang yang dituduh terlibat narkoba melalui kekerasan, termasuk pembunuhan. Selama masa pemerintahannya, perang narkoba ini secara resmi telah menewaskan lebih dari 6.000 orang, meskipun para aktivis HAM memperkirakan jumlah korban sebenarnya mencapai puluhan ribu.

Meski demikian, proses hukum terhadap Duterte diprediksi akan menghadapi jalan terjal. ICC tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penangkapan sendiri dan sangat bergantung pada kerja sama negara tempat tersangka berada. Sementara itu, Presiden Filipina saat ini, Ferdinand Marcos Jr., sebelumnya telah menepis kemungkinan untuk bekerja sama dengan ICC dalam penyelidikan kasus ini.

Para pendukung Duterte menuding dakwaan ICC ini sarat muatan politis dan digunakan sebagai alat oleh pemerintahan Marcos, yang diketahui memiliki hubungan tidak baik dengan keluarga Duterte. Hingga kini, pria berusia 80 tahun itu tidak pernah meminta maaf atas kebijakannya dan berulang kali menegaskan bahwa tindakan keras tersebut diperlukan untuk membersihkan Filipina dari kejahatan.