
Pada sistem peradilan pidana yang gagal, korban dan pendamping menjadi sasaran bagi tindakan retaliasi/pembalasan oleh pelaku. Di Sukadana Lampung Timur para Korban digugat Perdata oleh Pelaku, sedangkan para pendamping di Malang dan Pemalang mendapatkan ancaman intimidasi dan kriminalisasi. Gugus Tugas TPPO yang diketuai oleh Kepolisian juga tidak berjalan efektif, sehingga perlu untuk dievaluasi menyeluruh.
Ketua Umum SBMI, Hariyanto Suwarno, menegaskan, apa yang disampaikan negara adalah janji. Tapi yang dialami korban adalah pengkhianatan.
“Ketika laporan-laporan yang kami buat sejak lebih dari sepuluh tahun lalu tak kunjung selesai, ketika korban dihina di ruang sidang, dan restitusi tak pernah dibayar, itu bukan sekadar kelalaian. Itu adalah pengabaian yang sistemik,”ujarnya.
Bagi SBMI, peringatan Hari Anti Perdagangan Orang tidak boleh menjadi panggung seremoni, tetapi menjadi momen untuk mempertanyakan ulang arah dan tanggung jawab negara.
Baca juga:
SBMI-LBH Semarang Desak Bongkar Jaringan Perdagangan Orang
Ketika keadilan tak lagi bisa ditemukan di dalam ruang hukum, maka yang dipertaruhkan bukan hanya hak korban, tapi juga martabat negara itu sendiri. Berikut rekomendasi SBMI dalam peringatan Hari Anti TPPO 2025:
- Pemerintah RI dan DPR RI harus segera mengakomodir hak-hak korban dalam RUU KUHAP yang berorientasi terhadap pemenuhan hak, kebutuhan pelindungan, peran korban dalam sistem peradilan pidana.
- Kepolisian RI, Kejaksaan Agung RI, dan Mahkamah Agung RI perlu menyusun dan menerbitkan peraturan/panduan bersama yang menjadi panduan penanganan kasus TPPO pada pekerja migran. Panduan ini harus menjelaskan penggunaan UU No. 21/2007 tentang PTPPO dan UU No. 18/2017 tentang PPMI secara terpadu, serta memprioritaskan pendekatan berbasis hak korban, termasuk mekanisme restitusi dan pemulihan.
- Pemerintah RI dan DPR RI segera melakukan revisi terhadap UU PTPPO untuk memperbaiki dan menyesuaikan unsur utama TPPO sesuai Protokol Palermo, memperkuat hak korban terutama menambahkan mekanisme kompensasi dan dana bantuan korban bagi korban TPPO.
- Pemerintah RI dan DPR RI harus menjamin pelindungan hukum terhadap korban atas tindakan pembalasan, non penghukuman serta pelindungan pendamping, paralegal, dan advokat yang terlibat dalam upaya pencegahan dan penanganan korban perdagangan orang. Hal ini merupakan mandat tegas Pasal 60, 61, dan 62 Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Undang-Undang No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, mengakui peran masyarakat sipil dalam pemberantasan TPPO yang sangat penting untuk mengakomodir prinsip Anti-SLAPP.
- Kepolisian RI segera mengembangkan dan mendirikan Direktorat TPPO di seluruh Kepolisian di tingkat daerah. Serta mengembangkan agar pelayanan Kepolisian ramah korban, mudah diakses, dan menjamin kerahasiaan serta keamanan korban. Pelaporan harus didukung oleh protokol yang memastikan hak korban terpenuhi sejak tahap awal, termasuk hak atas pendampingan, perlindungan, dan informasi.
- Pemerintah perlu memperkuat Gugus Tugas TPPO di semua tingkat dengan memastikan fungsi koordinatif berjalan efektif, anggaran tersedia pelibatan masyarakat sipil dilakukan secara bermakna, serta mendorong penguatan kapasitas Gugus Tugas Daerah agar dapat bekerja secara nyata dan tidak bersifat simbolik. Terutama memastikan Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanganan TPPO diimplementasikan.
- Meningkatkan kapasitas Aparat Penegak Hukum melalui pelatihan dan pendidikan dalam menangani kasus TPPO pekerja migran Indonesia dan untuk memahami kerangka hukum UU PTPPO dan UU PPMI. Serta menyediakan aparat penegak hukum khusus untuk menangani kasus TPPO.
- Memperkuat komitmen Pemerintah Indonesia dalam membangun kerjasama Global dan Asean untuk pencegahan dan penanganan TPPO transnasional.*
