
Perdamaian Pragmatis
Tinjauan lebih dekat pada data Februari, yang berfokus pada mereka yang setuju dengan gagasan dua negara dan alasan mereka mendukungnya, menunjukkan bahwa Muslim Indonesia lebih menyukai pendekatan yang memprioritaskan solusi praktis dan efektivitas di dunia nyata daripada pemikiran yang kaku (Gambar 4).

Persentase responden yang percaya pada hak yang sama bagi Palestina dan Israel untuk memiliki negara adalah 43,6%. Faktanya, 28,4% menyatakan bahwa jika Israel dan Palestina dapat mencapai status negara, itu akan mengakhiri konflik panjang dan menciptakan perdamaian, dengan 15,2% menyatakan bahwa solusi dua negara adalah pilihan yang adil bagi keduanya, dan 2,9% menyatakan bahwa status negara adalah jalan menuju keadilan internasional, mengingat jumlah korban dari pihak Palestina. Jumlah total dari tiga jawaban di atas berarti bahwa, sebesar 46,5%, mereka mewakili inti pragmatis Muslim di Indonesia.
Survei bulan Februari menunjukkan bahwa sebagian masyarakat Indonesia tidak lagi terikat pada narasi anti-kolonialis saat memandang konflik Palestina-Israel, di mana Israel dianggap tidak memiliki hak atas tanah tersebut karena mereka adalah penjajah. Kelompok ini tampak cukup pragmatis untuk menerima solusi yang dapat mengakhiri konflik, bahkan jika itu berarti mengakui hak Israel untuk bernegara.
Namun, dalam survei bulan Juni, pendukung solusi dua negara turun menjadi 30,2%, sementara mereka yang mendukung proposisi bahwa hanya Palestina yang berhak memiliki negara meningkat menjadi 67,3% (Gambar 3).
Responden diminta memilih di antara tiga pertanyaan: (1) Haruskah Indonesia mengakui dan menormalisasi hubungan dengan Israel tanpa syarat? (2) Dapatkah Indonesia mengakui dan menormalisasi hubungan dengan Israel dengan syarat-syarat tertentu? (3) Haruskah Indonesia tidak pernah mengakui dan menjalin hubungan diplomatik dengan Israel?
Temuan bulan Juni menunjukkan bahwa 74,9% akan memilih posisi bahwa Indonesia tidak boleh menormalisasi hubungan atau mengakui Israel, dengan hanya 20,7% yang menerima bahwa Indonesia dapat menormalisasi hubungan, dengan syarat tertentu (Gambar 5).

Mengikis Perdamaian Pragmatis
Lalu, mengapa ada penurunan dukungan untuk solusi dua negara dan normalisasi hubungan diplomatik Indonesia-Israel? Responden menunjuk pada babak konflik terbaru sebagai penyebabnya, dengan 7,8% responden menyerukan penghentian segera perang di Gaza, 5% menyebutkan perlunya Israel menghentikan serangan terhadap Iran, dan 3,3% menginginkan Israel berhenti menyerang negara-negara tetangganya (Gambar 6).

Secara total, sekitar 16,1% responden dipengaruhi oleh keputusan Israel untuk melancarkan serangan terhadap Iran dan konflik yang berlanjut di Gaza. Survei ini dilakukan dari 12 hingga 18 Juni. Oleh karena itu, survei terbaru kemungkinan besar menangkap suasana hati publik terhadap serangan Israel ke Iran dan konflik yang terus berlanjut di Gaza. Keputusan ini kemungkinan besar berdampak pada penurunan persentase masyarakat Indonesia yang bersedia mendukung perdamaian pragmatis.
Solusi Politik versus Permainan Nihil-Hasil (Zero-Sum Game)
Survei-survei ini menunjukkan bahwa puluhan juta masyarakat Indonesia yang tinggal di negara dengan mayoritas Muslim terbesar di dunia mungkin mengakui hak Israel untuk memiliki negara dan menerima normalisasi hubungan diplomatik dengan Israel di bawah syarat-syarat tertentu. Namun, keyakinan ini berada di atas pijakan yang rapuh jika konflik terus berlanjut.
Secara keseluruhan, terdapat segmen populasi Indonesia yang cukup besar (meskipun semakin mengecil) yang terbuka terhadap gagasan solusi dua negara dan bahkan mungkin mendukung kemungkinan normalisasi hubungan dengan Israel. Data juga menunjukkan adanya konstituen substansial yang dapat mendukung pernyataan Prabowo untuk mengaitkan pengakuan Israel atas negara Palestina sebagai syarat normalisasi hubungan antara Indonesia dan Israel.
Namun, strategi Israel di Gaza, yang jauh melampaui upaya mengalahkan lawan, dan serangan terhadap Iran, kini berarti bahwa bahaya yang lebih besar bagi Prabowo adalah hilangnya dukungan politik dari konstituen Islam politiknya jika ia terus mendorong isu ini.*
Leonard C. Sebastian dan Rico Marbun, S. Rajaratnam School of International Studies.
