
Tiba-tiba Olo bangun, “Ntang aku lapar. Kau tak beli nasi?”
Lintang ragu-ragu untuk menjawab. Olo tidak pernah tau dari mana Lintang dapat uang untuk membelikan sebungkus nasi untuknya. Lintang bangkit, “Kau lapar?”
Olo mengangguk. Lintang sedih melihat tubuh yang terbaring lemah di atas kardus-kardus bekas yang mereka gunakan untuk alas tidur.
“Tunggulah sekejap! Aku akan membelikannya untukmu.” Lintang berjalan meninggalkan Olo sendiri. Walau ia merasa was-was.
Lintang membawa karung berwarna putih dan pengait bengkok di ujung. Ia meninggalkan gubuk semakin jauh. Tapi, ia belum menemukan apa-apa, selain dua buah botol Aqua bekas. Lintang putus asa. Ia menyesal. Seandainya ia keluar lebih cepat. Tentu tidak ada yang mendahuluinya.
“Kemana saja kau, Ntang?” Aku tidak melihatmu dari tadi.”
“Olo sakit, Cok.”
“Sakit apa?”
“Tak tahulah. Aku tak punya uang untuk membeli nasi. Obat apalagi.”
Keduanya berwajah putus asa. Hari ini mereka bernasib sama. Semakin hari semakin banyak yang mengais makan di jalanan. Ah, seandainya saja masih ada Emak dan Abah, sesal Lintang. Tentu ia tidak harus ada di jalanan. Setiap hari, setiap pagi. Lintang tidak menyadari, ia menangis. Seingatnya ia sudah lama melupakan air mata. Lintang benci air mata. Air mata membawanya pada kesedihan.
***
Emak dan Abah pergi pada saat yang sama. “Jaga Olo ya, Lintang. Sore Mak dan Abah kembali,” ucap Emak.
Emak dan Abah ke kota membeli baju baru untuk Olo dan Lintang. Mereka punya sedikit tabungan. Dua hari lagi ada kenduri ulang tahun kampung. Emak dan Abah sudah lama berencana untuk membelikan mereka baju baru. Lintang tersenyum di depan pintu melepas Emak dan Abah. Olo juga. Senyum paling indah dalam hidup mereka. Namun juga untuk terakhir kali.
“Dadah Mak, Bah.” Olo melambai. Ia sangat bahagia. Sore ini Emak dan Abah akan membawa sepasang baju baru. Lintang menanti di depan pintu bersama Olo. Harap-harap cemas.
Menjelang sore mereka tidak kembali. Olo mulai menangis. “Mana baju baru? Mana baju baru?” persis seperti anak-anak.
Lama sekali Lintang tidak memikirkan baju baru. Ia lebih mengkhawatirkan Emak dan Abah.
“Lintang….” Olo merengek.
“Diam Olo!” Tiba-tiba Lintang marah.
Kemudian Olo benar-benar berhenti mengeluarkan suara. Tapi air matanya tak berhenti membasahi pipinya. Itu membuat Lintang jengkel dan pergi meninggalkan Olo sendirian tanpa menoleh. Olo berteriak-teriak memanggil.
Tidak lama berselang, Lintang kembali. Kasihan remaja tujuh belas tahun itu tidak mengerti apa-apa. Yang ia tahu sebentar lagi ia akan dapat baju baru.
Ketika tirai malam mulai terkembang Emak dan Abah belum juga datang. Lintang dan Olo masih menunggu di depan pintu. Sementara air mata Olo masih saja mengalir. Sesekali ia menatap Lintang lama. Seperti menunggu Lintang menjelaskan sesuatu. Ia cuma menusukkan pandangannya ke ilalang yang bergoyang ditiup angin. Lintang merasakan hawa dingin.
Tidak lama sesudah azan Maghrib, Lintang dan Olo serentak melihat ada bayangan yang semakin dekat. “Hore….Emak dan Abah pulang.” Olo melompat-lompat kegirangan. Tapi tidak. Bukan Emak ataupun Abah yang datang, namun Mang Udin.
“Ada apa Mang?” tanya Lintang. Olo berhenti menari dan ikut memandang Mang Udin.
“Bus yang ditumpangi Emak dan Abah kau masuk jurang, Ntang,” ucap Mang Udin. Sesaat Lintang diam saja.
“Ada baju baru, Ntang?” dengan wajah sungguh-sungguh Olo bertanya.
“Diam!” Lintang mendekati Olo. Ia merasa bersalah. “Tak pernah ada baju baru, Lo,” lintang meraung sejadi-jadinya seraya memeluk Olo.
***
Ucok memukul bahu Lintang. “Olo kau tinggalkan sendiri?”
“Aku harus cari uang untuk beli nasi.” Lintang meninggalkan Ucok begitu saja. Pikirannya tak menentu. Tapi ia terus berjalan.
Lintang berlari-lari menembus angin. Olo pasti sudah sangat lapar. Ia membuka pintu cepat-cepat. “Olo, lihatlah apa yang kubawa!”
Olo masih terbaring. Lintang mendekatinya dan menggoyang-goyangkan badan Olo yang jauh lebih besar darinya. “Ayo kita makan, Lo!”
Tiba-tiba suara muncul dari balik pintu. Si Jangkung? “Olo sudah pergi.”
“Apa maksudmu? Kau apakan abangku?”
“Aku…Aku berniat mengganggunya. Karena kau selalu lebih dulu dariku. Aku ingin balas dendam. Tapi saat aku datang Olo sudah tidak bernyawa lagi,” ucap Si Jangkung.
“Bohong! Kau telah membunuhnya!” Lintang menyerang membabi-buta.
“Bukan. Bukan aku!” Si Jangkung berlari meninggalkan gubuk itu. Lintang menoleh. Tapi tidak mengejarnya.
“Kenapa kau tidak menungguku? Aku membawa nasi untukmu, Lo!” Lintang membeku di sudut gubuk. Malam telah larut dan nasi di tangannya benar-benar telah membeku.*
Kayla Ghifari Ahmad, lahir di Surabaya yang kini menetap di Kota Tangerang. Menulis puisi, cerpen dan artikel. Saat ini masih menempuh studi di Universitas Negeri Surabaya (Unesa).
Cerpen ini pernah dimuat di: www.erakini.id.
