
“Cita-cita koperasi makin lama makin kuat. Di masa yang akhir ini banyak sekali orang menganjurkan serta mendirikan koperasi. Sayang tidak semua koperasi yang didirikan itu dapat diberi nama koperasi. Banyak orang mendirikan persekutuan perusahaan dengan nama “koperasi”, tetapi badan itu pada dasarnya bukan koperasi.” (Mohammad Hatta, 2 Februari 1943)
JAKARTA – Gagasan koperasi yang dibawa oleh Bung Hatta mensyaratkan tujuh prinsip dasar: Keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka; pengendalian oleh anggota secara demokratis; partisipasi ekonomi anggota; otonom dan independen; kerja sama antarkoperasi; dan kepedulian terhadap masyarakat.
Sebagai langkah ke depan, pemerintah perlu memastikan bahwa program koperasi desa Merah Putih dirancang dengan mempertimbangkan aspek-aspek utama dalam desain koperasi, khususnya desain dasar dan teknis pelaksanaannya di lapangan. Dalam hal ini, pemerintah harus merujuk pada gagasan koperasi yang digagas oleh Bung Hatta sebagai landasan filosofi dan arah kebijakan.
Sejarah panjang ekonomi desa, termasuk kemunduran KUD akibat pendekatan top- down dan seragam, menunjukkan pentingnya strategi yang kontekstual dalam membangun koperasi. Dalam pengembangan koperasi desa Merah Putih, pelajaran ini relevan agar program benar-benar berpijak pada kebutuhan dan partisipasi masyarakat, bukan sekadar kebijakan dari atas.
Menyalahi Ide Bung Hatta
Membangun dari desa untuk pemerataan ekonomi menjadi salah satu pilar utama dalam visi Presiden Prabowo. Komitmen ini tercermin jelas dalam agenda revitalisasi dan penguatan peran Koperasi Unit Desa (KUD) sebagai sarana penggerak ekonomi rakyat.
Gagasan tersebut kini mulai diaktualisasikan melalui program koperasi desa Merah Putih, sebuah inisiatif besar yang ditujukan untuk memperkuat ketahanan pangan, mempercepat pengentasan kemiskinan, serta mendorong sinergi pusat dan daerah dalam membangun ekonomi desa.
Koperasi desa Merah Putih adalah inisiatif langsung Presiden Prabowo. Pertama kali disampaikan dalam Retret Kepala Daerah di Akademi Militer Magelang pada 21–28 Februari 2025, dan ditegaskan kembali dalam Rapat Terbatas Kabinet di Istana Negara pada 3 Maret 2025.
Targetnya ambisius: Membentuk 80.000 koperasi serentak di seluruh desa di Indonesia dengan peluncuran resmi pada Hari Koperasi, 12 Juli 2025. Semua proses pembentukannya dilandasi oleh Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2025, yang diperkuat dengan berbagai peraturan turunan.
Namun begitu, di balik ambisi pemerintah membangun koperasi desa Merah Putih, muncul pertanyaan mendasar tentang apakah program koperasi ini sejalan dengan ide koperasi Bung Hatta?
Semangat gotong-royong yang hidup di tengah masyarakat adalah inspirasi dasar gagasan koperasi menurut Mohammad Hatta. Ketika Indonesia meraih kemerdekaan pada 1945 dan menghadapi agresi militer hingga akhirnya diakui merdeka penuh pada 1949, kondisi ekonomi nasional sangat memprihatinkan. Banyak infrastruktur rusak, dan negara kekurangan modal untuk membangun. Di sisi lain, warisan kapitalisme kolonial masih kuat mencengkeram, meskipun secara politik Indonesia telah merdeka.
Dalam kondisi tersebut, Bung Hatta berpendapat bahwa satu-satunya jalan untuk melawan kapitalisme kolonial dan membangun ekonomi rakyat adalah lewat koperasi (Hatta 1954: 196). Koperasi dipilih karena mengedepankan nilai tolong-menolong dan tanggung jawab bersama; tujuan utama koperasi bukan untuk mengejar keuntungan sebesar-besarnya, tetapi untuk meningkatkan kesejahteraan anggota dan masyarakat (Hatta 1954: 196).
Sebagai instrumen untuk memperbaiki ekonomi rakyat yang ambruk pascakemerdekaan, koperasi dibangun atas asas kekeluargaan. Prinsipnya sukarela dan terbuka, dengan tujuan utama: membela kepentingan bersama dan memperjuangkan cita-cita kolektif.
Menurut Bung Hatta, ini adalah “satu-satunya jalan bagi rakyat yang miskin dan lemah ekonominya untuk memperbaiki dasar penghidupan” (Hatta 1954). Artinya, koperasi bukan alat kepentingan individu, apalagi hanya pengurus atau pemerintah, melainkan hasil kesadaran bersama dari warga untuk memperbaiki taraf hidup mereka.
Karena sifatnya sukarela dan bertumpu pada kekuatan masyarakat, pembangunan koperasi harus dimulai secara bertahap dan disesuaikan dengan kondisi masyarakat. Kalau modal yang tersedia hanya dari hasil bertani atau melaut, maka bentuk koperasinya pun mengikuti kapasitas lokal. Bung Hatta pernah menyampaikan pada 11 Juli 1953 bahwa, “Koperasi rakyat haruslah berdasar pada kombinasi yang baik antara faktor-faktor produksi yang ada dalam masyarakat kita.”
Koperasi, menurutnya, mesti dibangun dari modal simpanan anggota sendiri, bukan dari pinjaman pihak luar. Tujuannya jelas: mendidik anggota untuk mandiri (Amin 1961: 9). Jika koperasi sudah mapan dan berdaya, barulah boleh mendapat bantuan pemerintah (Hatta 1954).
Jadi, semua elemen dalam koperasi, dari modal, kepemimpinan, hingga semangat kerja, harus muncul dari masyarakat sendiri. Di titik inilah, model koperasi Bung Hatta tampak berbeda dari desain koperasi desa Merah Putih yang justru top-down dan birokratis.
Lebih jauh, karena dibentuk dari akar rumput, koperasi menurut Bung Hatta adalah jalan menuju demokrasi ekonomi. Dengan berkoperasi, masyarakat belajar untuk mandiri, percaya diri, dan mampu mengambil keputusan ekonomi sendiri, termasuk bermitra dengan pihak lain (Hatta 1954: 219).
Tidak ada jurang antara pengurus dan anggota; semua setara dan ikut bertanggung jawab atas usaha bersama. Setiap anggota punya hak suara yang sama, keuntungan dibagi adil sesuai kontribusi, dan sebagian laba digunakan untuk pendidikan anggota (Hatta 1954: 220). Nilai-nilai ini mencerminkan tujuan utama koperasi: mendidik rakyat menjadi mandiri.
Melalui koperasi, Bung Hatta ingin menegaskan bahwa pembangunan ekonomi rakyat tak harus selalu dipegang negara. Meskipun ada ungkapan “ekonomi harus dikuasai oleh negara”, Bung Hatta mengingatkan bahwa itu tidak berarti pemerintah menjalankan semua jenis usaha. “Dikuasai negara tidak berarti bahwa pemerintah sendiri menjadi pengusaha dalam segala rupa” (Hatta 1954).
Jadi, kalau koperasi desa Merah Putih didesain sebagai bisnis monopoli, itu justru bertentangan dengan semangat koperasi Bung Hatta karena koperasi sejatinya tidak berorientasi pada mencari untung, melainkan pada memperkuat ekonomi rakyat secara kolektif.
Mencermati desain koperasi desa Merah Putih, CORE berpandangan bahwa terdapat sejumlah aspek penting yang perlu dikritisi dan diperhatikan secara serius agar koperasi Merah Putih benar-benar mampu menjadi mesin ekonomi rakyat, bukan sekadar retorika elite pemerintah semata.
