
Belajar dari Dunia, Berkaca ke Desa: Apa yang Bisa Kita Pelajari soal Koperasi?
Koperasi sebagai organisasi ekonomi berbasis gotong royong dan kekeluargaan berkembang berbeda di setiap negara sesuai sistem ekonomi politik yang dianut.
Amerika Serikat dengan paham liberal murni membentuk koperasi berdasarkan inisiatif masyarakat tanpa campur tangan pemerintah, berperan sebagai alat bersaing dalam liberalisme, instrumen ekonomi sosial, dan mekanisme check and balances terhadap monopoli kapitalisme, dengan pemerintah hanya berperan sebagai regulator dan pemberi bantuan teknis tidak langsung.
Sementara itu, Swedia menerapkan model sosial-demokrat yang unik dengan koperasi dibentuk murni oleh inisiatif masyarakat. Koperasi berperan sebagai alat pemerataan kesejahteraan nasional dan instrumen “jalan tengah” (middle way) yang melibatkan masyarakat, swasta, dan pemerintah melawan monopoli, dengan pemerintah hanya berperan sebagai regulator meski menganut sistem sosial-demokrat.
Di sisi lain, Korea Selatan menunjukkan evolusi yang menarik dalam perkembangan koperasinya. Pada awalnya, sebagian koperasi dibentuk berdasarkan inisiatif masyarakat, sementara sebagian lainnya dibentuk oleh pemerintah, mencerminkan dualisme dalam pendekatan pembentukan koperasi. Transformasi besar terjadi memasuki tahun 1980-an ketika masa pemerintahan demokrasi dimulai, dan sejak saat itu koperasi dibentuk murni berdasarkan inisiatif masyarakat.
Peran koperasi dalam struktur perekonomian sangat beragam: sebagai alat politik dan kebijakan program pemerintah, instrumen mencapai kesejahteraan masyarakat kelas sosial rendah, dan juga sebagai alat melawan liberalisme.
Indonesia menunjukkan pola yang serupa dengan Korea Selatan dalam hal evolusi peran pemerintah, namun dengan karakteristik unik tersendiri. Koperasi Indonesia terbentuk melalui kombinasi inisiatif masyarakat atau pergerakan nasional dan peran pemerintah yang dominan, dengan pemerintah juga aktif mendorong pertumbuhan koperasi.
Dari perspektif ekonomi politik, Indonesia mengalami transisi panjang dari model negara berkembang sejak masa penjajahan hingga masa Orde Baru, baru kemudian pada masa reformasi. Terdapat beberapa bentuk usaha desa, seperti KUD, BUMDes, dan koperasi tani yang dapat menjadi pelajaran bagaimana koperasi desa Merah Putih seharusnya dikembangkan.
Pertama, KUD. Pada 1970-an, pemerintah Orde Baru menyatukan berbagai jenis koperasi pertanian dalam satu wadah yang disebut Koperasi Unit Desa (KUD). Berdasarkan Inpres No. 4 Tahun 1973, KUD didefinisikan sebagai koperasi pertanian. Kemudian, pada 1978 dengan Inpres No. 2 Tahun 1978, KUD diubah menjadi koperasi pedesaan. Puncaknya, KUD dikukuhkan melalui Inpres No. 4 Tahun 1984 sebagai organisasi koperasi tunggal di tingkat desa.
Konsep KUD dirancang untuk menopang wilayah unit desa bersama BRI unit Desa yang fokus menyalurkan sarana produksi pertanian, pengadaan pangan, penyaluran kredit dan pemasaran hasil-hasil pertanian.
Sayangnya, sepanjang KUD dibentuk, banyak yang tidak sukses melaksanakan kemitraan pengadaan pangan dengan Bulog. Termasuk, banyak KUD yang gagal menyalurkan pupuk. Pengadaan pangan dan penyaluran pupuk pada akhirnya diambil alih oleh LSM dan swasta.
Implikasinya, program KUD banyak yang tidak sesuai dengan kondisi masing-masing wilayah desa. Selain itu, KUD juga bergantung pada fasilitas pemerintah yang membuatnya tidak mandiri.
Di sisi lain, KUD hanya mengurusi kegiatan ekonomi usaha tani di sektor hulu yang nilai tambahnya tidak optimal. Tidak ada proses penghiliran produk pertanian yang dikelola koperasi sehingga daya saing dan nilai tambah petani menjadi relatif rendah dibandingkan dengan swasta yang terintegrasi dari hulu ke hilir.
Faktor kegagalan lainnya adalah sistem top-down. Sistem ini menyebabkan kurangnya kaderisasi dan membuat pelaksanaan KUD bergantung pada figur tertentu. Pembentukan pengurusnya pun tidak berbasis pada kebutuhan dan inisiatif masyarakat, membuat legitimasi dan komitmen anggota menjadi lemah.
Seiring dengan berakhirnya pemerintahan Orde Baru, kebijakan pemerintah terhadap koperasi mulai berubah. Melalui Inpres No. 18 Tahun 1998, pemerintah menghapus legitimasi KUD sebagai organisasi koperasi tunggal di tingkat desa. Inilah yang mempercepat KUD mati suri. Berganti pemimpin, berganti pula arah kebijakannya.
Paska-reformasi, pembentukan koperasi di level desa semakin dipermudah, seperti penyediaan pinjaman lunak dan penghapusan monopoli KUD sebagai satu-satunya koperasi di level desa. Hasilnya, jumlah koperasi pada 1998–2015 meningkat dari 45.899 menjadi 150.223 unit.
Kedua, BUMDes. Di bawah rezim Presiden Joko Widodo, BUMDes adalah institusi ekonomi di level desa yang dikembangkan. Landasannya adalah UU Desa No. 6 Tahun 2014, yang ingin meningkatkan kemandirian ekonomi desa melalui pengelolaan aset desa dengan membentuk BUMDes.
Lalu, pada 2023 jumlah BUMDes melesat menjadi 66.417 unit. Sayangnya, jumlah BUMDes yang naik itu tidak berbanding lurus dengan kontribusinya terhadap pendapatan asli desa. Misalnya, pada 2014, jumlah pendapatan asli desa mencapai Rp 4,23 triliun. Namun, pada 2023 angka itu turun menjadi Rp 3,22 triliun.
Sementara itu, dalam 10 tahun terakhir, tidak banyak BUMDes yang berkembang. Hanya 10% BUMDes yang masih on the track, dan sebesar 21% di antaranya mangkrak, sedang sisanya masih bertumbuh mencari jati diri.
Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut, desa menjadi ladang korupsi terbesar dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2016, terdapat 17 kasus korupsi di desa dengan potensi kerugian negara mencapai Rp 40,1 miliar. Angka ini melonjak signifikan pada 2022, menjadi 155 kasus dengan potensi kerugian mencapai Rp 381 miliar.
Pada 2023, kasusnya bertambah jadi 187. Faktor minimnya pengawasan, keterbatasan kapasitas perangkat desa, dan kurangnya partisipasi masyarakat menjadi pemicu utama terjadinya penyelewengan.
Pengembangan BUMDes terkendala oleh beberapa faktor, seperti kualitas pengurus/pengelola. Otonomi desa yang dapat menjadi alat untuk mengembangkan desa sesuai dengan potensi yang dimiliki, ternyata bertepuk sebelah tangan karena keterbatasan SDM, yang menyebabkan kurang maksimalnya penyusunan model bisnis BUMDes yang berkelanjutan.
