
Tidak sedikit usaha BUMDes yang bisnisnya menyamai usaha warga desa yang sudah eksis sehingga justru sulit bersaing. Perbedaan kualitas SDM setiap daerah kemudian menyebabkan BUMDes ada yang berhasil dan tidak.
Selain itu, terbatasnya dukungan dari pihak swasta menyebabkan BUMDes sulit berkembang. Swasta dalam hal ini diharapkan dapat memberikan dukungan, baik itu pendanaan, transfer pengetahuan dan teknologi atau dalam hal pemasaran.
Di balik berbagai kegagalan BUMDes, ada beberapa BUMDes yang berhasil meningkatkan penghidupan masyarakat desa setempat. Misalnya, BUMDes Mayangsari di Desa Pesanggrahan, Kota Batu, Jawa Timur.
Mereka berhasil menyumbang pendapatan asli desa sebesar Rp 20-30 juta per tahun melalui berbagai unit usaha seperti gantungan burung, UMKM warung kopi, dan parkir pendakian Gunung Panderman.
Ketiga, koperasi tani. Selain BUMDes, ada juga contoh koperasi produksi yang sukses. Pada masa Hindia Belanda, para petani teh lokal di Sukabumi, Jawa Barat, berserikat dengan cara mendirikan koperasi. Salah satu koperasi yang diinisiasi petani teh itu adalah koperasi Madoe Tawon, berdiri sekitar 1911–1915.
Di dalam catatan Alatas dan Sulong (2020: 46-50), koperasi Madoe Tawon awalnya adalah para petani teh yang mengelola perkebunan berbasis keluarga. Namun, karena para petani teh ini ingin mendongkrak produksi dan mengakses pasar yang lebih luas, mereka kemudian mendirikan koperasi.
Berdiri dengan mengumpulkan modal awal dari simpanan para anggota, koperasi ini kemudian mendapatkan dukungan dari pemerintah kolonial Belanda berupa pemberian lahan sebesar 35 bau, bibit teh, pinjaman bank, dan kemudahan registrasi usaha. Dukungan juga datang dari perusahaan perkebunan teh. Tapi, pendirian dan pengelolaan semua aktivitas koperasi adalah inisiatif para petani teh.
Dukungan dari perusahaan perkebunan teh dan pemerintah kolonial ketika koperasi sudah matang untuk berekspansi menjadi fondasi awal naiknya aktivitas bisnis teh koperasi Madoe Tawon. Di sini, dukungan dari pihak luar direspons oleh anggota/pengurus koperasi dengan strategi bisnis yang cerdas dan kreatif. Menurut catatan Alatas dan Sulong (2020), berkat manajerial dan produksi daun teh yang berkualitas, koperasi Madoe Tawon memperoleh kontrak kerja sama dengan perusahaan perkebunan teh Belanda, N.V.
Cultuurmaatschappij Sinagar pada 1918. Melalui kerja sama ini, koperasi Madoe Tawon sukses meningkatkan produksi tehnya untuk dijual ke Sinagar, yang kemudian diekspor ke pasar internasional. Koperasi ini terus bertahan saat krisis 1930 melanda Indonesia, namun kemudian kolaps pada 1940-an akibat ekses perang.
Selain BUMDes, ada juga contoh koperasi produksi yang sukses. Pada masa Hindia Belanda, para petani teh lokal di Sukabumi, Jawa Barat, berserikat dengan cara mendirikan koperasi. Salah satu koperasi yang diinisiasi petani teh itu adalah koperasi Madoe Tawon, berdiri sekitar 1911–1915.
Kegigihan anggota koperasi untuk bekerja bersama adalah fondasi utama keberhasilan koperasi Madoe Tawon. Pengumpulan modal secara bertahap dari anggota, yang merupakan para petani teh lokal, menunjukkan komitmen kolektif terhadap usaha bersama.
Partisipasi ini bersifat sukarela dan didorong oleh kesadaran ekonomi, bukan paksaan, yang mencerminkan transformasi mentalitas masyarakat dari subsisten menuju orientasi pasar ekonomi.
Kasus Madoe Tawon membuktikan, ketika diberikan kesempatan, akses, dan dukungan yang memadai tanpa pendekatan yang intervensionis, masyarakat mampu mengembangkan usaha yang tidak hanya berkelanjutan tetapi juga kompetitif dalam konteks ekonomi pasar global.
Pola keberhasilan serupa juga ditemukan di koperasi petani teh pada era Indonesia modern. Temuan di Koperasi petani teh di Pagilaran Kabupaten Batang, Jawa Tengah menunjukkan bahwa faktor unit bisnis menjadi yang paling dominan. Aspek komersial dan kemampuan koperasi untuk mandiri secara bisnis merupakan kunci utama penguatan.
Ketika koperasi mampu mandiri secara bisnis untuk memproduksi dan mendistribusikan produk mereka, efisiensi yang dicapai akan menjadi keuntungan bagi para petani anggota koperasi.
Nilai tambah dan sistem informasi akses untuk branding dan diversifikasi pasar akan memastikan keuntungan yang lebih baik bagi petani, sementara program kepemilikan akan membantu petani mengurangi risiko biaya dalam mengelola bisnis teh mereka. (Yuliando et al. 2015).
Mencermati contoh keberhasilan koperasi di masa Hindia Belanda dan Indonesia modern di atas, dapat disimpulkan bahwa kombinasi antara kepemimpinan koperasi yang visioner, anggota yang memiliki semangat bersama, strategi bisnis yang adaptif, dukungan institusional dari pemerintah yang tidak mengikat dan modal sosial yang kuat adalah formula keberhasilan yang dapat kita renungkan.
Mencermati contoh keberhasilan koperasi di masa Hindia Belanda dan Indonesia modern di atas, dapat disimpulkan bahwa kombinasi antara kepemimpinan koperasi yang visioner, anggota yang memiliki semangat bersama, strategi bisnis yang adaptif, dukungan institusional dari pemerintah yang tidak mengikat dan modal sosial yang kuat adalah formula keberhasilan yang dapat kita renungkan.
