
Subsidi energi yang menggerus 5,5% porsi belanja RAPBN 2026 sangat rentan terhadap fluktuasi harga minyak dunia. Dengan asumsi ICP USD 70 per barel dalam RAPBN, realisasi subsidi berpotensi lebih rendah jika harga mencapai proyeksi EIA USD 58 per barel, namun dinamika geopolitik dapat mendorong harga naik dan memaksa penyesuaian komposisi belanja.
Besaran subsidi energi juga ditentukan oleh biaya yang dibayarkan pemerintah kepada pembangkit listrik, khususnya PLTU batubara yang menjadi tulang punggung pasokan listrik nasional. Biaya ini mencakup kompensasi atas harga batubara melalui kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) sebesar USD 70 per ton, lebih rendah dari harga pasar, serta subsidi listrik untuk menjaga tarif tetap terjangkau bagi konsumen. Berdasarkan perhitungan CORE, nilai subsidi ini dapat mencapai sekitar Rp105 triliun per tahun pada periode 2024-2030 dalam skenario business as usual tanpa perubahan kebijakan yang signifikan.
Sementara besaran anggaran untuk program makan bergizi gratis (MBG) untuk perbaikan gizi hampir menelan separuh dari dana pendidikan. Dengan anggaran 335 Triliun rupiah, realisasi anggaran ini berpotensi tidak akan optimal mengingat realisasi anggaran tahun 2025 saja per Agustus ini baru sekitar 4,7% dari total anggaran yakni sekitar Rp 8,2 triliun dari pagu Rp 171 triliun. Rendahnya realisasi anggaran untuk menyasar hampir 82,9 juta penerima tentunya memerlukan perbaikan sistemik.
Anggaran ketahanan pangan tahun 2026 sebesar Rp 164,4 triliun menunjukkan komitmen pemerintah yang besar, namun efektivitasnya bergantung pada strategi kebijakan yang tepat. Meskipun anggaran terus meningkat dalam lima tahun terakhir, hasilnya belum signifikan mengurangi ketergantungan impor komoditas strategis seperti jagung, gula, kedelai, daging, dan susu. Produktivitas pertanian Indonesia masih tertinggal dari negara lain dengan beras di bawah Vietnam, jagung di bawah Argentina-Brasil, dan harga komoditas pangan domestik yang jauh lebih mahal dari impor.
Permasalahan utama terletak pada kurangnya mekanisasi dan R&D akibat stagnasinya ekosistem riset yang disebabkan minimnya kolaborasi perguruan tinggi-swasta dan insentif pembiayaan R&D. Tanpa inovasi, sektor pertanian hanya mengandalkan perluasan lahan ketimbang inovasi teknologi, sehingga pemerintah sering menempuh jalur dengan membangun food estate yang sejauh ini belum berhasil.
Food estate yang hampir menelan 32% dari total anggaran ketahanan pangan perlu mengubah konsep dari perluasan areal di hutan/gambut/rawa menjadi revitalisasi lumbung pangan eksisting dengan dukungan teknologi, benih produktivitas tinggi, dan perbaikan irigasi yang didukung dengan inovasi tanpa harus melakukan deforestasi.
Di sisi lain, belanja produktif semakin terbatas oleh kewajiban belanja rutin yang terus meningkat, terutama pembayaran bunga utang. Pos belanja bunga utang dalam RAPBN 2026 mencapai Rp 599 triliun atau 19% dari total belanja pemerintah pusat, menjadi yang terbesar setelah belanja barang. Tren ini menciptakan dampak ganda: mengurangi kemampuan APBN mendorong pertumbuhan jangka panjang melalui investasi publik dan meningkatkan rigiditas anggaran yang mempersempit ruang penyesuaian ketika penerimaan meleset.
Kontradiksi terlihat pada Transfer Ke Daerah (TKD) yang mengalami penurunan alokasi -29%, kontraksi terbesar sejak era desentralisasi fiskal dimulai dan pertama kali terjadi di luar masa Covid-19 sejak 2017. Penurunan ini akan menekan sumber utama penerimaan daerah, mengingat 25 dari 38 provinsi memiliki rasio kemandirian fiskal di bawah 50%, artinya lebih dari setengah provinsi Indonesia masih bergantung pada TKD pemerintah pusat.
Kondisi ini diperburuk masih masifnya korupsi dan clientelism di tubuh pemerintah daerah. Dalam keterbatasan ini, Pemda yang belum mandiri dan tidak mampu meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) secara signifikan harus melakukan penyesuaian pajak daerah dan/atau pos belanja. Jika dilakukan tidak hati-hati, hal ini akan menimbulkan resistensi dan mengecilkan proporsi belanja produktif pada anggaran daerah.
Belanja produktif semakin terbatas oleh kewajiban belanja rutin yang terus meningkat, terutama pembayaran bunga utang yang menelan 19% dari total belanja pemerintah pusat. Selain itu, Transfer Ke Daerah (TKD) yang terkontraksi -29% dapat menekan sumber utama penerimaan daerah mengingat 25 dari 38 provinsi di Indonesia belum mandiri fiskalnya.
