195 views 17 mins 0 comments

COREinsight: Setengah Daya Pacu Ekonomi

In Kajian, Politika
June 20, 2025

Kelas menengah dan calon kelas menengah menyumbang lebih dari 50% konsumsi nasional. Namun sayangnya, dalam beberapa tahun terakhir, jumlah kelompok ini mengalami penurunan. Bantuan sosial yang secara khusus ditujukan kepada mereka pun masih terbatas.

Dari lima stimulus yang diberikan pemerintah, bantuan yang secara spesifik menyasar kelompok kelas menengah masih minim. Memang, ada bantuan berupa diskon transportasi dan tarif tol yang ditujukan bagi mereka. Namun, perlu dicatat, stimulus serupa juga pernah diberikan saat mudik lebaran, yang notabene memiliki masa libur lebih panjang,

tetapi tetap tidak berhasil mendorong peningkatan jumlah pengguna. Kementerian Perhubungan mencatat bahwa jumlah perjalanan dalam dan antarprovinsi selama Lebaran 2025 mencapai sekitar 154,6 juta orang, turun 4,69% dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 162,2 juta orang. Ini menunjukkan, insentif yang diberikan belum cukup efektif mendorong partisipasi masyarakat, khususnya dari kelompok kelas menengah.

Efektivitas stimulus berupa relaksasi iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) bagi dunia usaha tergolong kecil, mengingat nilai iurannya relatif rendah dibandingkan dengan total beban operasional perusahaan, terutama di sektor manufaktur padat karya. Berdasarkan tarif BPJS Ketenagakerjaan, iuran JKK bervariasi antara 0,24% hingga 1,27% tergantung tingkat risiko pekerjaan.

Dalam sebuah skenario misalnya, untuk perusahaan manufaktur skala menengah dengan 100 karyawan dan gaji rata-rata Rp 3 juta/bulan, total gaji bulanan mencapai Rp 300 juta. Dengan asumsi tarif JKK sektor manufaktur sebesar 0,54%, maka beban JKK hanya sekitar Rp 1,62 juta/bulan atau setara dengan Rp 19,44 juta/tahun.

Bandingkan dengan biaya listrik yang menjadi salah satu komponen biaya operasional utama bagi perusahaan di sektor industri manufaktur. Untuk industri dengan kebutuhan daya 50.000–200.000 kWh per bulan (golongan tarif I-3), biaya listrik dapat mencapai Rp 55,7–222,9 juta per bulan, atau kurang lebih 20–75 kali lipat dari iuran JKK.

Ketimpangan ini menunjukkan, meskipun diskon JKK membantu margin usaha, dampaknya terhadap daya saing biaya produksi sangat terbatas jika tidak dibarengi dengan insentif yang menyasar komponen biaya utama seperti energi.

Dibatalkannya stimulus diskon tarif listrik, juga semakin menyempitkan jangkauan manfaat dari lima paket stimulus ekonomi ini. Padahal, biaya listrik mengeruk rata-rata 10% total pengeluaran rumah tangga Indonesia.

Dari sisi ketepatan, diskon tarif listrik diperkirakan juga salah satu skema stimulus yang paling tepat sasaran, karena masyarakat menginstal listrik tentu didasarkan pada kemampuan ekonomi masing-masing keluarga, sehingga potensi kekeliruan data atau manipulasi yang seharusnya tidak berhak menerima bantuan diskon listrik sulit dilakukan.

Melihat hal di atas, besaran stimulus yang hanya Rp 24,4 triliun, setara 0,8% dari PDB konsumsi Indonesia pada triwulan I 2025 dan masa berlakunya yang hanya dua bulan, sulit mengharapkan kebijakan ini memberikan dampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.

Terlebih, manfaat dari kelima paket stimulus tersebut belum sepenuhnya menjangkau kelompok masyarakat yang paling membutuhkan. Dengan cakupan yang terbatas dan durasi yang singkat, berharap stimulus ini menjadi game changer bagi pertumbuhan ekonomi pada kuartal II 2025 tampaknya terlalu optimistis.

Ketika Bantuan Tak Sampai ke yang Berhak

Banyak masyarakat yang sebenarnya berhak justru tidak menerima stimulus pemerintah, sementara yang tidak berhak malah mendapatkannya. Hal ini menunjukkan lemahnya pengelolaan dalam penyaluran bantuan. Masalah ini terus berulang dan pada akhirnya mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan negara dalam memenuhi tanggung jawabnya menjamin kesejahteraan warga.

Di sisi hulu, akar permasalahan terletak pada ketidakakuratan data penerima. Ketimpangan antara data dan realitas di lapangan sering kali begitu besar, sehingga bantuan tidak sampai ke mereka yang benar-benar membutuhkan. Palili et al. (2024) menunjukkan, di Desa Cibeureum, Kabupaten Bogor, terdapat 5.546 warga miskin yang tercatat dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).

Namun, dari sekitar 700 calon penerima bantuan Program Keluarga Harapan (PKH) yang diusulkan, hanya 278 yang akhirnya ditetapkan sebagai penerima. Ketidaksesuaian ini memperkuat gambaran, sistem penyaluran bantuan masih jauh dari kata ideal, dan memperbesar risiko ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah sebagai penyedia jaring pengaman sosial.

Ketidakpaduan data antara pemerintah pusat dan daerah membuat penyaluran bantuan sering kacau. Misalnya, saat penyaluran bansos tunai pada masa pandemi Covid-19, pemerintah desa di Sukabumi menolak bantuan dari pemerintah provinsi karena data penerima tumpang tindih. Banyaknya jenis bantuan, dari tingkat provinsi, kabupaten/kota, hingga desa, yang datang tidak bersamaan juga membingungkan masyarakat.

Masalah lain adalah kurangnya transparansi. Studi Novika (2020) menemukan, dalam penyaluran BLT Dana Desa, faktor politik masa lalu ikut mempengaruhi beberapa aparat desa hanya mencatat dan memprioritaskan warga yang mendukung mereka di pemilu sebelumnya. Di sisi hilir, terdapat persoalan dalam sistem penyaluran yang memerlukan verifikasi berlapis dari RT/RW hingga pemerintah kabupaten/kota.

Kapasitas institusional yang terbatas menjadi akar persoalan lain dalam penyaluran stimulus l. Palili et al. (2024) menemukan, ketimpangan besar antara beban kerja dan sumber daya yang tersedia. Di beberapa desa, satu operator harus menangani ribuan data warga miskin, sementara satu pendamping PKH bisa membawahi hingga tiga desa. Selain jumlah tenaga yang terbatas, kualitas proses juga jadi masalah.

Meski sudah ada sistem digital seperti SIKS-NG, pendataan masih sangat bergantung pada tatap muka dan kuesioner manual dari dinas sosial yang rawan kesalahan subjektif. Akses sistem pun terbatas; misalnya, input data hanya bisa dilakukan antara tanggal 15–25 setiap bulan, sehingga memperlambat pemutakhiran data yang seharusnya cepat dan responsif terhadap kondisi warga.