131 views 52 mins 0 comments

COREInsight: Terhimpit Perlambatan Domestik, Terguncang Risiko Global 

In Kajian, Politika
July 26, 2025

Permasalahan Institusi dan Situasi Domestik Menghambat Pemulihan Investasi 
Pemulihan investasi pada kuartal II 2025 diperkirakan masih akan tertahan. CORE menilai, tertahannya pemulihan investasi pada kuartal II 2025 disebabkan oleh kebijakan tarif Trump yang mendorong ketidakpastian global yang berdampak pada arus investasi langsung dunia. 

Pada saat yang sama, buruknya efektivitas kebijakan pemerintah di dalam negeri telah menyebabkan sektor swasta yang mengantongi 88% total aktivitas investasi (PMTB) mengalami tekanan signifikan. Karena itu, CORE memperkirakan bahwa investasi pada kuartal II 2025 secara tahunan masih akan lebih rendah dari pertumbuhan tahun lalu yang mencapai 4,42% tetapi akan sedikit lebih baik dibandingkan kuartal I 2025 (2,12%). 

Dinamika kebijakan tarif resiprokal Trump dan serangkaian gejolak geopolitik yang terjadi di Timur Tengah seperti konflik Israel-Iran (13 Juni – 24 Juni), tidak bisa dimungkiri telah menimbulkan kekhawatiran investor, sehingga mendorong arus investasi langsung dunia melemah. Pada 2024, aliran investasi langsung merosot 11% (UNCTAD 2025). Sedang pada 2025, aliran investasi langsung diprediksi akan semakin melemah akibat eskalasi tarif resiprokal Trump dan gejolak geopolitik di kawasan Timur Tengah. 

Kendati demikian, aliran investasi langsung ke ASEAN cenderung meningkat, dan pada saat yang sama cenderung keluar dari Tiongkok. Pada 2024, aliran investasi langsung ke ASEAN naik 38% dari 2019, sementara aliran ke Tiongkok terkontraksi 17,7%. Kendati demikian, Indonesia hanya memperoleh limpahan 10% dari total investasi langsung yang mengalir ke ASEAN. 

Saat bersamaan, dengan tensi perang dagang yang masih dinamis antara AS dan Tiongkok, relokasi investasi perusahaan-perusahaan global yang beroperasi di Tiongkok semakin kuat. Berbagai survei menunjukkan, perusahaan global yang beroperasi di Tiongkok cenderung memilih atau berencana memindahkan perusahaannya ke negara- negara ASEAN (AmCham China 2025; Jetro 2025). 

Namun demikian, Indonesia masih belum menjadi preferensi utama investor, salah satu alasannya adalah tidak mudahnya mengakses tenaga kerja berkualitas (skilled labour) dan ketidakpastian kebijakan pemerintah untuk mendorong perbaikan iklim investasi di dalam negeri. 

Secara spesifik, selain kebijakan efisiensi anggaran, serangkaian kebijakan lainnya di bawah pemerintahan Presiden Prabowo belum berhasil meyakinkan kepercayaan investor secara umum. Perilaku investor ini sudah terlihat dari pergerakan investasi portofolio yang terkontraksi tajam khususnya pada saat diumumkannya kebijakan-kebijakan pemerintah tersebut. Bahkan setelah pernyataan pemerintah dalam merespons kebijakan tarif resiprokal yang diberlakukan AS juga sejauh ini belum mampu mengerek kepercayaan investor.

Prospek daya saing investasi di Indonesia juga berpotensi memburuk akibat mengendurnya efektivitas pengelolaan kebijakan pemerintah dan terhimpitnya sektor swasta. Peringkat government efficiency Indonesia, salah satu indikator daya saing global, merosot dari peringkat 23 pada 2024, menjadi peringkat 34 pada 2025 (IMD 2025). 

Merosotnya efisiensi kebijakan pemerintah disebabkan oleh lemahnya good governance sepanjang semester 1 2025, yang kemungkinan besar adalah akibat kebijakan pemangkasan anggaran dan reorientasi program prioritas pemerintah yang cenderung gegabah, dan secara khusus reorientasi program investasi ke sektor non-infrastruktur yang implementasinya masih centang perenang. 

Imbasnya, nilai investasi bangunan yang mencakup 74% total PMTB di Indonesia jatuh di level 1,35% (tahunan), jauh lebih rendah dari kuartal satu dan dua 2024, yang masing-masing melesat 5,46% dan 5,31%. 

Pada saat yang sama, serangkaian kebijakan yang melemahkan investasi di dalam negeri tersebut, berimbas pada turunnya ranking business efficiency dari peringkat 14 pada 2024, ke peringkat 26 pada 2025. Secara umum, hal ini melemahkan daya saing investasi Indonesia di level global dan regional ASEAN. Hal ini terbukti, perusahaan-perusahaan Jepang global cenderung memilih Vietnam dan Thailand ketimbang Indonesia (Jetro 2025). 

Seretnya Belanja Pemerintah di Tengah Risiko Tarif Trump 
Serapan belanja strategis masih rendah meskipun keran efisiensi telah dibuka. Hingga April 2025, realisasi efisiensi belanja baru mencapai 28,2% dari target, sementara belanja barang dan bantuan sosial masing-masing baru terealisasi sebesar 20% dan 32,6%. Angka ini menunjukkan bahwa fungsi fiskal sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi belum bekerja optimal.

Lemahnya serapan belanja strategis mencerminkan ketidaksiapan birokrasi dalam mengeksekusi anggaran. Berbagai hambatan teknis seperti minimnya insentif kinerja, prosedur pencairan yang berbelit, serta keterbatasan kapasitas teknis menjadi faktor utama terjadinya bottleneck yang sistemik. 

Kinerja program prioritas nasional juga menunjukkan kondisi yang mengkhawatirkan. Realisasi Program Makan Bergizi Gratis (MBG) hanya mencapai 7% dari total alokasi Rp71 triliun, disertai masalah pelaksanaan seperti laporan keracunan makanan dan keterlambatan pembayaran vendor. Program koperasi Merah Putih pun menghadapi kritik luas akibat desain yang tidak matang dan lemahnya kesiapan kelembagaan. 

Lambatnya serapan anggaran di daerah memperburuk catatan belanja pemerintah. Pertumbuhan realisasi belanja pemerintah daerah sampai dengan semester I-2025 melambat hingga -20% jauh menurun dibandingkan periode yang sama di tahun lalu yang mencapai 41%, bahkan belanja pegawai yang bersifat wajib dan rigid juga mencatatkan penurunan hingga -6%. 

Fenomena ini mengindikasikan gangguan struktural dalam sistem fiskal daerah, mulai dari keterlambatan transfer pusat, lemahnya tata kelola anggaran, hingga pengaruh politik lokal seperti Pilkada yang menyebabkan sikap wait-and-seedalam pengambilan keputusan. 

Keterlambatan petunjuk teknis (juknis) dan kurangnya integrasi dalam sistem penganggaran pusat-daerah membuat anggaran daerah tidak cukup adaptif terhadap kondisi sosial-ekonomi lokal. Fragmentasi ini secara langsung mengurangi efektivitas fiskal sebagai instrumen stabilisasi di tingkat nasional. 

Sementara itu, kondisi perekonomian menekan penerimaan negara. Secara keseluruhan pertumbuhan penerimaan perpajakan sampai Juni mengalami perlambatan hingga -19%. Penerimaan dari PPN dan PPnBM mengalami penurunan tajam hingga -15%, dan PPh non- migas turun sebesar -5,4%. 

Kondisi ini juga selaras dengan indikator utama seperti konsumsi rumah tangga dan investasi yang mengalami perlambatan di kuartal kedua. Jika tren pertumbuhan perpajakan tetap berada di kisaran rata-rata 10%, maka realisasi penerimaan pajak diperkirakan hanya mencapai sekitar Rp2.320 triliun lebih rendah dari target APBN 2025 yang ditetapkan sebesar Rp2.387 triliun. 

Ke depan, penerimaan negara juga berpotensi terdistorsi kebijakan tarif Trump yang mengancam sektor-sektor penyumbang pajak utama. Implementasi tarif ini akan berdampak langsung pada industri pengolahan yang berkontribusi 26% dari total lapangan usaha penyumbang pajak terbesar. 

Sektor ekspor unggulan Indonesia ke AS seperti elektronik dan mesin elektrik, tekstil dan produk garmen, serta karet dan produk turunannya akan menghadapi tekanan yang tentu akan mempengaruhi setoran penerimaan pajak dari sektor manufaktur. Di saat yang bersamaan, meski beberapa barang dari AS seperti energi, pangan, dan bahan baku industri dikenakan tarif bea masuk yang relatif rendah (grafik 2) namun kebijakan bea masuk 0% tetap berpotensi menghilangkan penerimaan di kisaran 389 juta USD. 

Di tengah tekanan tersebut, perlu pula dicermati rencana pembelian pesawat dalam perjanjian perdagangan dengan AS. Jika tidak diantisipasi secara cermat, bukan tidak mungkin beban anggaran negara kembali meningkat mengulang pola seperti proyek kereta cepat yang pada akhirnya didanai oleh APBN.