128 views 52 mins 0 comments

COREInsight: Terhimpit Perlambatan Domestik, Terguncang Risiko Global 

In Kajian, Politika
July 26, 2025

Jebakan Komitmen Perdagangan Trump: Kontradiksi Swasembada 
Di tengah retorika swasembada pangan, Indonesia justru terpaksa menerima komitmen pembelian produk pertanian AS senilai USD 4,5 miliar sebagai konsekuensi negosiasi penurunan tarif resiprokal Trump. 

Ironi ini semakin mencolok ketika data harga komoditas menunjukkan bahwa produk AS tidak selalu menawarkan harga kompetitif: gandum Rusia (USD 228/MT) lebih murah dari AS (USD 233/MT), sementara jagung Argentina (USD 193/MT) jauh lebih ekonomis dibanding jagung AS (USD 194/MT). 

Komitmen pembelian kepada AS akan menutup peluang Indonesia mendapatkan suplier yang lebih efisien. Padahal untuk jagung, Indonesia sebenarnya mengalami surplus dari produsen domestik, namun harga impor lebih murah akibat skala produksi masif dan subsidi yang diterima oleh petani AS. Dampak struktural kebijakan komitmen pembelian produk dari AS berpotensi mengancam petani lokal karena gempuran produk impor murah akan menekan harga domestik dan menggerus minat konsumen terhadap produk lokal. 

Yang lebih mengkhawatirkan, komitmen ini juga menciptakan kontradiksi fundamental antara retorika swasembada dengan realitas ketergantungan struktural terhadap impor AS. Indonesia kehilangan fleksibilitas memilih suplier berdasarkan efisiensi harga dan terpaksa mengalokasikan devisa untuk produk yang tersedia lebih murah dari negara lain, sebuah distorsi ekonomi yang berpotensi merugikan kedaulatan pangan jangka panjang. 

Dalam pusaran kontradiksi ini, sektor pertanian Indonesia berada di persimpangan kritis: momentum positif terancam terdistorsi oleh jebakan komitmen perdagangan yang justru menjauhkan Indonesia dari cita-cita swasembada pangan yang berkelanjutan. 

Pertambangan
Sektor pertambangan Indonesia menghadapi ancaman fluktuasi harga nikel global, tercermin dari pertumbuhan PDB yang terjerembab hingga -11,83 persen pada kuartal pertama 2025. Indonesia, yang memasok lebih dari 60% suplai nikel global, kini menghadapi dilema oversupply yang mengancam stabilitas industri. Ekspansi tambang dan smelter yang tak terkendali disinyalir telah menciptakan kelebihan pasokan global sehingga mengakibatkan harga nikel yang anjlok. Dengan demikian, saat ini beberapa smelter di Morowali, Halmahera, dan Teluk Weda terus mengerem produksi untuk mengantisipasi harga yang terus merosot. 

Di sisi lain berdasarkan data International Energy Agency (IEA), pasokan nikel dari Indonesia diproyeksikan akan terus tumbuh dan mendominasi hingga 72-74% pasokan nikel global pada 2040, sehingga berpotensi menciptakan oversupply yang lebih kronis apabila tidak diantisipasi dengan baik. 

Implementasi Standar ESG yang masih setengah hati. Selain menghadapi tantangan stabilitas harga, industri pertambangan nikel Indonesia juga masih dihadapkan dengan persoalan penerapan standar Environmental, Social, and Governance (ESG) yang masih stagnan dan belum optimal. Kondisi ini mencerminkan paradoks, di mana potensi manfaat ekonomi yang diciptakan dari hilirisasi dan partisipasi Indonesia dalam rantai nilai global justru berpotensi memunculkan dampak lingkungan-sosial-tata kelola yang kompleks di tingkat lokal. 

Dalam menghadapi tantangan-tantangan pada industri nikel tersebut, pemerintah telah menunjukkan arah kebijakan yang strategis meskipun terkesan lambat. Sebagai contoh, Proyek Strategis Nasional (PSN) ekosistem baterai listrik, sebagai salah satu rantai nilai nikel, senilai USD 5,9 miliar menunjukkan kemajuan yang menggembirakan, meskipun oversupply nikel telah terjadi sejak 2023 dan fasilitas hilirisasi nikel tersebut dicanangkan baru akan beroperasi pada beberapa tahun mendatang. 

Selain itu, usulan standar ESG nasional untuk hilirisasi nikel disesuaikan dengan konteks lokal sedang dikembangkan dengan menggunakan referensi internasional, seperti Initiative for Responsible Mining Assurance (IRMA), Responsible Mining Initiative (RMI), dan standar lainnya, untuk meningkatkan kredibilitas nikel Indonesia di pasar global. Standar ESG nasional untuk nikel tersebut masih dalam tahap usulan dan pengembangan meski kebijakan hilirisasi nikel telah berjalan hingga lima tahun dan berbagai eksternalitas negatif telah dirasakan oleh pemangku kepentingan lokal. 

Pemerintah Indonesia tengah melakukan revisi terhadap Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) pertambangan agar kembali ke periode tahunan, mundur dari sistem tiga tahunan. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi ketidakseimbangan antara permintaan dan produksi serta mengendalikan harga nikel di tingkat global. Meski demikian, hal ini juga memicu kekhawatiran para pelaku usaha terhadap ketidakpastian regulasi dan volatilitas pasar yang tinggi. 

Di samping itu, UU Minerba 2025 yang disetujui DPR RI pada Februari 2025 untuk memperkuat tata kelola dan mendukung hilirisasi masih dinanti. Begitu pula dengan berbagai komoditas pertambangan lainnya yang telah masuk ke dalam shortlist proyek hilirisasi yang akan memperoleh suntikan dana dari Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara seperti industri smelter aluminium (bauksit) di Mempawah, industri mangan- sulfat (mangan) di Kupang, industri modul surya terintegrasi (bauksit dan silika) di Kawasan Industri Batang, dan berbagai proyek lainnya. 

Berkaca dari pengalaman hilirisasi nikel sebelumnya, tanpa akselerasi implementasi standar ESG yang komprehensif dan strategi mitigasi oversupply yang terukur, sektor pertambangan Indonesia berisiko kehilangan momentum hilirisasi yang telah dibangun dengan nilai investasi yang tidak sedikit, sekaligus menghadapi tekanan akses pasar global yang semakin ketat terhadap produk mineral yang tidak memenuhi standar keberlanjutan, serta tantangan sosial-lingkungan di tingkat lokal yang semakin kompleks. 

Perdagangan
Sektor perdagangan Indonesia mencatatkan pertumbuhan 5,03% pada kuartal I- 2025, melampaui capaian Kuartal I 2024 (4,58%). Hanya saja melambat dari momentum kuartal IV 2024 (5,19%) di tengah gejolak transformasi struktural yang belum sepenuhnya terarah. Akselerasi ini lebih mencerminkan dorongan proteksionisme negara- negara tujuan ekspor dan dinamika regulasi domestik ketimbang pemulihan fundamental daya saing perdagangan nasional. 

Proteksionisme Regulasi: Solusi Jangka Pendek, Risiko Jangka Panjang 
Transformasi kebijakan perdagangan ditandai pencabutan Permendag 8/2024 yang digantikan sembilan peraturan sektoral berdasarkan komoditas merupakan sebuah pergeseran paradigma menuju proteksionisme yang lebih sistematis. Meski langkah ini memudahkan pengendalian arus impor dan berpotensi memperkuat posisi industri domestik, ancaman retaliasi dari mitra dagang dan distorsi harga pasar domestik tetap mengintai efektivitas strategi protektif ini. 

Paralel dengan kebijakan protektif, fenomena tutupnya retail modern mengungkap realitas pahit pergeseran konsumsi masyarakat yang telah beradaptasi dengan era digital. Perubahan radikal pola belanja dari mall ke platform online, preferensi berbelanja dekat rumah, hingga meningkatnya experiential shopping menciptakan tekanan eksistensial bagi ritel konvensional. Namun, tantangan yang lebih mendasar tertuju pada melemahnya daya beli konsumen, maraknya predatory pricing platform digital, dan membengkaknya biaya operasional mulai dari sewa, listrik, SDM, hingga kompleksitas aksesibilitas. 

Di tengah urgensi transformasi digital, pemerintah justru menghadirkan kebijakan yang berpotensi kontraproduktif. Rencana penggabungan Kantor Bea dan Cukai Perdagangan dalam satu sistem berisiko menciptakan bottleneckbirokrasi yang menghambat kelancaran usaha dan menimbulkan persoalan hukum baru sebuah langkah mundur di era digitalisasi perdagangan. 

Kontradiksi kebijakan semakin mencolok dalam penerapan pajak marketplace untuk UMKM. Meski Dirjen Pajak berhasil merancang skema pemotongan PPh final 0,5% dari peredaran bruto yang dapat menambah penerimaan negara Rp 500 juta hingga Rp 4,8 miliar, kebijakan ini menciptakan paradoks kebijakan fiskal yang mengkhawatirkan. Di satu sisi menambah penerimaan negara, namun di sisi lain memberatkan UMKM dengan beban administratif tambahan yang signifikan khususnya bagi pedagang kecil yang selama ini mengandalkan fleksibilitas platform digital untuk mempertahankan usaha mereka. 

Sektor perdagangan Indonesia kini berada di persimpangan antara kebutuhan proteksi industri domestik dan tuntutan efisiensi ekonomi digital. Tanpa kalibrasi kebijakan yang tepat dan konsisten, sektor ini berisiko terjebak dalam jaring regulasi yang justru menghambat adaptasi terhadap dinamika perdagangan global yang terus berevolusi dengan kecepatan eksponensial.