
Akomodasi dan Transportasi
Sektor transportasi Indonesia sepanjang Januari–Mei 2025 belum menunjukkan sinyal pemulihan. Penurunan kinerja sektor ini mencerminkan realitas pahit menurunnya mobilitas masyarakat yang terhimpit tekanan ekonomi. Subsektor angkutan laut dan udara mengalami kontraksi cukup dalam hingga -28,5% dan -13,1% secara year-on-year pada Mei 2025. Meski angkutan kereta api masih bertahan di zona ekspansif, momentum pertumbuhannya mulai menunjukkan sinyal pelemahan yang mengkhawatirkan.
Ancaman baru mengintai dari rencana kenaikan tarif ojek online (ojol) yang berpotensi memperdalam tekanan kontraksi transportasi secara menyeluruh. Dengan lebih dari 1 juta pengemudi dan 25 juta UMKM yang bergantung pada ekosistem digital ini, kenaikan tarif dikhawatirkan akan menciptakan efek domino: menekan permintaan layanan, menurunkan aksesibilitas masyarakat terhadap transportasi terjangkau, dan pada akhirnya memperburuk daya beli yang sudah mengalami pelemahan.
Tanpa mitigasi kebijakan yang tepat atau penguatan sistem angkutan publik, tekanan terhadap sektor transportasi berpotensi meluas dan menurunkan kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.
Paradoks Sektor Akomodasi: Wisatawan Melonjak, Sektor Terkontraksi
Subsektor akomodasi mengalami anomali dimana sektor ini mengalami kontraksi sebesar -0,48% pada kuartal I-2025 di tengah membanjirnya kunjungan wisatawan. Bahkan jumlah wisatawan mancanegara dan domestik hingga Mei 2025 telah melampaui rekor empat tahun terakhir. Kontradiksi ini mengungkap perubahan struktural dalam industri perhotelan nasional yang telah berlangsung sejak kuartal I-2023.
Akar masalah tertuju pada merosotnya tingkat penghunian kamar (TPK) hotel berbintang yang tetap berada di zona rendah dan negatif sepanjang 2025 lebih rendah dibandingkan capaian 2022-2023. Fenomena ini mencerminkan pergeseran perilaku konsumen yang cenderung memilih akomodasi dengan harga lebih ekonomis untuk memangkas biaya akomodasi, sebuah adaptasi rasional di tengah tekanan daya beli masyarakat.
Kebijakan efisiensi anggaran pemerintah pada awal 2025 ikut memperparah tekanan sektor akomodasi, khususnya hotel-hotel yang mengandalkan segmen MICE (meeting, incentive, convention, and exhibition). Pemangkasan anggaran perjalanan dinas dan penyelenggaraan acara resmi di berbagai provinsi menciptakan kontraksi permintaan yang signifikan, menunjukkan betapa rentannya sektor ini terhadap kebijakan fiskal pemerintah.
Anggaran Infrastruktur Berlimpah, Efisiensi Logistik Stagnan
Indonesia terjebak dalam paradoks pembangunan infrastruktur, di mana investasi masif selama satu dekade terakhir tidak berkorelasi positif dengan peningkatan efisiensi logistik nasional. Skor Logistic Performance Index (LPI) Indonesia justru merosot dari 3,15 pada 2018 menjadi 3,00 pada 2023, mengungkap kegagalan struktural dalam mengintegrasikan pembangunan infrastruktur dengan optimalisasi sistem logistik.
Menurunnya kinerja LPI ini mencerminkan tantangan sistemik dan fundamental akibat lemahnya integrasi antar-moda transportasi, ketidakefisienan rantai distribusi, dan disparitas kualitas layanan. Ironisnya, pemerintah lebih banyak menggelontorkan anggaran untuk pembangunan jalan tol yang kurang efisien dan berbiaya tinggi ketimbang memperkuat moda logistik berbasis kereta api yang jauh lebih murah dan efisien untuk pengangkutan barang jarak jauh.
Target ambisius pemerintah menurunkan biaya logistik dari 14,5% menjadi 9% terhadap PDB kini menghadapi tantangan implementasi yang krusial melalui kebijakan zero ODOL (Over Dimension Over Load) pada kendaraan logistik di semester pertama 2025. Meski bertujuan mengurangi kerusakan infrastruktur dan mendorong peralihan ke moda transportasi yang lebih efisien, kebijakan ini berpotensi menciptakan disrupsi jangka pendek yang kontraproduktif.
Dalam realitasnya, penerapan zero ODOL diproyeksikan akan meningkatkan biaya logistik jangka pendek akibat kebutuhan penyesuaian armada, potensi disrupsi distribusi, dan keterbatasan kapasitas moda alternatif seperti kereta api dan kapal laut. Dengan infrastruktur pendukung yang belum optimal dan minimnya moda alternatif, dampak kebijakan ini berisiko menghambat efisiensi alih-alih memperbaikinya.
Keberhasilan program zero ODOL menuntut orkestrasi kebijakan yang komprehensif terdiri dari penguatan kapasitas angkutan kereta api dan laut, integrasi sistemik antar-moda transportasi, serta restrukturisasi fundamental rute distribusi dan sistem pergudangan nasional. Tanpa pendekatan holistik ini, cita-cita efisiensi logistik akan tetap menjadi mimpi di tengah realitas infrastruktur yang fragmentatif dan tidak terintegrasi.
Rekomendasi
Untuk itu, dalam waktu kurang dari enam bulan ke depan pemerintah perlu mengambil langkah-langkah strategis yang terfokus untuk mempercepat pemulihan dan menjaga momentum pertumbuhan. Beberapa langkah penting yang dapat segera dilakukan antara lain:
Pertama, memperluas dan memperpanjang paket stimulus ekonomi. Program bantuan tunai langsung perlu diperluas jangkauannya untuk menjangkau lebih banyak rumah tangga menengah ke bawah, dengan fokus khusus pada pemulihan kemampuan konsumsi makanan pokok. Pemerintah juga bisa mempertimbangkan kebijakan diskon tarif listrik mengingat biaya listrik menyumbang rata-rata 10% pengeluaran rumah tangga Indonesia.
Kedua, pemerintah dapat membuka opsi insentif bersyarat. Insentif ini diberikan kepada perusahaan yang tidak melakukan PHK. Insentif akan berupa keringanan pajak penghasilan badan, subsidi upah karyawan, atau akses kredit berbunga rendah. Paralel dengan ini, program padat karya di sektor infrastruktur dan layanan publik bisa digunakan solusi jangka pendek untuk menyerap 11,1 juta pekerja informal yang kehilangan kesempatan kerja layak.
Ketiga, percepat eksekusi belanja pemerintah yang bersifat strategis. Pemerintah perlu membentuk fiscal delivery task force lintas kementerian/lembaga guna mengatasi berbagai hambatan dalam realisasi anggaran. Selain itu, insentif kinerja dan pelaporan berbasis hasil perlu diintegrasikan ke dalam mekanisme penganggaran agar belanja prioritas dapat terealisasi lebih cepat dan tepat sasaran.
Keempat, Pemerintah perlu melakukan evaluasi menyeluruh dan pemetaan sektoral terhadap hambatan non-tarif (NTM) Indonesia sebelum menerapkan penghapusan NTM secara selektif untuk produk asal Amerika Serikat. Sebagaimana yang pernah disampaikan pada COREInsight April Silam. Penghapusan tersebut harus didasarkan pada prinsip resiprositas, transparansi, dan non-diskriminasi, serta disertai kajian dampak terhadap sektor domestik yang rentan.
NTM yang berfungsi melindungi kesehatan, keamanan pangan, dan lingkungan tetap perlu dipertahankan sesuai standar internasional, agar kebijakan perdagangan tidak hanya berpihak pada kepentingan jangka pendek, tetapi juga menjaga kedaulatan regulasi nasional dan daya saing industri dalam negeri.
Kelima, pemerintah perlu melakukan optimalisasi penyerapan produk lokal. Dalam hal ini pemerintah melalui Bulog perlu menambah komoditas strategis lainnya selain beras seperti jagung dan daging ayam serta memberikan subsidi kepada industri hilir agar menggunakan bahan baku domestik. Misalnya, memberikan subsidi jagung untuk pakan ternak peternak skala kecil.
Keenam, mempercepat hilirisasi komoditas pertanian menjadi produk bernilai tambah. Pentingnya membangun linkageantara petani/peternak dan industri menengah- besar yang didukung modernisasi teknologi dimulai dari produksi, pasca panen dan pengolahan sehingga dapat meningkatkan daya saing produk lokal.
Ketujuh, melindungi industri domestik dari serbuan impor ilegal yang murah melalui pengetatan verifikasi impor dengan melibatkan jasa Testing, Inspection and Certification (TIC). Selain itu perlu adanya penambah anggaran subsidi untuk industri kunci seperti makanan-minuman, petrokimia, logam dasar, dan elektronik yang dapat menekan biaya produksi seperti subsidi energi dan infrastruktur pendukung agar mampu bersaing dengan produk impor.*
