176 views 24 mins 1 comments

Hendarsam Marantoko, Sang Pembela Prabowo

In Sosok
May 16, 2025

Kenapa harus Prabowo?
Ya, ini cuma too good to be true aja sebenarnya. Bahwa, ini kembali ke orang tua saya. Bapak saya itu adalah pendiri dari PDI pada saat itu. Beliau adalah orang PDI lama. Beliau adalah seorang Murbais, letingan Pak Taufik Kiemas. Zaman-zaman aktivisnya dulu di Lampung sana. Dia adalah Ketua PDI pertama di Lampung ketika fusi lima partai. Tapi dia dari unsur partai Murbanya.

Banyak hal yang sebenarnya bapak saya itu buka. Bagaimana seorang Tan Malaka, pemikiran-pemikiran beliau dan introvertnya. Jadi bedanya Tan Malaka dengan Soekarno, satu sangat extrovert dan flamboyan, satunya pemikir sangat introvert. Jadi ini dua kutub yang ekstrem. Tapi ya dengan dengan segala dinamikanya, kedua-duanya adalah bapak bangsa.

Habis itu, yang saya ingat pada saat itu, pada saat Mega-Pro di 2009, bapak nonton, kita lagi nonton di TV waktu itu. Saya ingat itu, pas kita lagi ngobrol-ngobrol segala macam bapak melihat Prabowo di TV, lagi kampanye. ‘Kau kalau nggak ke Taufik, kalau memang (mau berpolitik) kau ke dia (Prabowo) ya,’ kata bapak. Jadi, bapak bilang, ini Soekarno muda.

Kalau kita lihat, kita bedah pemikiran-pemikiran daripada Marhaen, dan Pak Sumitro dengan Pak Prabowo itu sebenarnya kan bisa menarik. Irisannya sama. Basisnya sama, PDIP dengan massa partai wong cilik, Pak Prabowo juga seperti itu. Yang dia lakukan adalah ini masyarakat kecil, pedesaan, buruh, dan tani. Itulah kenapa dia memimpin HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia) waktu itu.

Jadi memang karena dia ingin membangun negara ini ditopang bottom up. Bukan menetes dari atas ke bawah. Tumbuh dari bawah ke atas menopang. Dan ini dipraktikkan oleh beliau. Jadi yang menopang elite-elite ini nanti ya masyarakat pedesaan. Yang menghidupi kita ini nanti masyarakat-masyarakat buruh, tani, nelayan, dan lain sebagainya.

Oleh karena itu, mereka harus dimakmurkan. Cara memakmurkannya bagaimana? Hal yang paling kuat, memutus mata rantai. Nah itu kan sudah dilakukan. Langsung lho, hal yang paling konkret kan kemarin Bulog membeli gabah dan beras dari petani langsung. Artinya kan sebelumnya ada mata rantai.

Setelah itu, bagaimana Anda bisa bertemu Prabowo?
Saat itu, saya kebetulan saya ini adik tingkatnya Habiburokhman (politikus Gerindra). Jadi pada saat sama-sama merantau di Jakarta beliau duluan, saya datang di tahun 2002. Kita sering berkoordinasi karena sama-sama lawyer. Istilahnya pada saat itu, saya 80 persen lawyer profesional, 20 persen politiknya. Habiburokhman sebaliknya, lebih banyak politiknya. Tapi kita selalu koordinasi, beriringan terus kemana-mana.

Dia sudah Gerindra waktu itu?
Waktu itu belum. Pada saat itu kita Mega-Pro, belum masuk Gerindra. Jadi ada organisasi dengan Arief Poyuono, Serikat BUMN Bersatu. Nah itu masuk di Mega-Pro. Pada saat masuk di Mega-Pro itu. Setelah Mega-Pro selesai kita mau kemana ini? Sempat juga ada wacana untuk masuk ke PDIP saat itu, cuma akhirnya kita melihat PDIP sudah full. Aktivisnya sudah banyak.

Jadi akhirnya kita masuk di Gerindra. Poyu menjabat Waketum bidang buruh dan tenaga kerja. Habiburokhman Ketua DPP bidang advokasi. Ya sudah, akhirnya jalan terus. Secara resmi saya masuk Gerindra pada 2011. Dari sayap, bukan langsung ke DPP. Saya dari lembaga advokasinya dulu. Pelan-pelan di 2019 baru saya masuk ke DPP, Ketua DPP bidang hukum.

Jadi sejak kapan Anda mulai intensif berkomunikasi atau berhubungan dengan Prabowo?
Sebenarnya dari 2011 itu ya, saat meng-endorse Jokowi-Ahok di Pilgub Jakarta. Kemudian di 2019 sampai sekarang. Jadi mengalir saja. Saya berjalan dan beriringan dengan Habiburokhman. Kemudian kita punya mentor juga tentunya, Bang Dasco. (Sufmi Dasco Ahmad). Menurut saya, dia orang yang sangat spesial.

Saya banyak ketemu dengan orang hebat, ketemu orang pintar, tapi ketemu Bang Dasco sangat spesial. Dia rangkuman dari semua itu, dan kita banyak belajar dari dia. Bang Dasco itu seorang politikus yang luwes, tidak mau ramai-ramai, tapi bijak. Kalau saya dan Habib ini kan eksplosif, bawaan darah. Tapi beliau itu, hati boleh panas tapi kepala harus tetap dingin. Nah itu yang kita belajar dari beliau.

Kabarnya Anda juga adalah lawyer pribadi Prabowo?
Ya, tentunya ada beberapa momen kita sering diberikan surat kuasa, mendapatkan kuasa dari Bapak untuk mewakili beliau dalam beberapa urusan. Baik itu secara pribadi maupun dari sisi kepartaian juga.

Jadi dua-duanya, pribadi dan partai?
Ya, dua-duanya; pribadi dan partai. Cuma merasa saya nggak mau stuck di lawyer saja. Nggak setiap lawyer bisa piawai ngomong politik. Nah itu menjadi tantangan tersendiri buat saya. Seperti di Amerika, itu memang dari lawyer kita harus naik ke politik. Karena di sana itu rata-rata presiden Amerika, beberapa orang itu—Barack Obama dan lain-lain—dari lawyer ke politik.

Mungkin saya dengan teman-teman lain itu ingin mencontohkan bahwa ini memang tingkatannya seperti itu, dari hukum naik ke politik. Memang atmosfer dan ekosistemnya ada di dunia. Contohnya Amerika ini. Jadi kita bukan cuma robot organik.

Apalagi produk hukum itu kan dihasilkan dari proses politik. Itu tidak bisa dipisahkan. Masak kita mau jadi robot-robot dari sistem politik yang ada? Kan enggak begitu caranya.  Keresahan-keresahan di bawah itu yang harus kita tangkap dan harus kita ubah melalui politik.

Dan sebagai seorang lawyer, karena juga saya nggak mengklaim diri saya aktivis, nanti klaim-klaim aktivis ada track record-nya juga. Ada teman-teman yang jauh banyak lebihnya dalam aktivisme. Tapi sebagai aktivis hukum, tentunya penting untuk kita menyuarakan dan memberikan kontribusi kepada negara.