
Jakarta sudah siap
Banyak yang ragu, “Apakah Jakarta benar-benar siap menerapkan ERP?” Padahal, jika dilihat dari berbagai aspek, ibu kota sebenarnya “terlalu siap” untuk sistem ini.
Pertama, dasar hukum sudah jelas, ERP bukan wacana tanpa payung hukum. Aturannya sudah tercantum dalam Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, serta diperkuat oleh Peraturan Pemerintah tentang manajemen dan rekayasa lalu lintas. Artinya, secara regulasi, tidak ada lagi alasan untuk menunda.
Kedua, dari sisi infrastruktur transportasi, Jakarta juga semakin siap. Kota ini telah memiliki jaringan transportasi yang terus berkembang, mulai dari MRT, LRT, TransJakarta, hingga JakLingko. Seluruh moda ini terintegrasi, baik secara fisik melalui titik-titik simpul perpindahan, maupun secara tarif melalui sistem pembayaran yang lebih praktis dan menyatu.
Ketiga, dari sisi teknologi, kesiapan Jakarta juga tak bisa dianggap remeh. Kita sudah terbiasa dengan pembayaran nontunai, baik untuk transportasi umum maupun transaksi harian lainnya. Kamera pengawas dan perangkat berbasis sensor juga sudah mulai digunakan untuk memantau lalu lintas secara real-time. Teknologi ini bisa dengan mudah diadaptasi untuk mendukung sistem ERP, mulai dari deteksi kendaraan hingga pencatatan transaksi secara otomatis.
Jika semua prasyarat tersebut sudah terpenuhi, maka hambatan terbesar dalam penerapan ERP saat ini bukan lagi soal teknis. Tantangan utama kini adalah faktor politik dan sosial, yakni keberanian pengambil kebijakan untuk bertindak, serta kesiapan masyarakat untuk menerima perubahan.
Siapa yang menolak ERP?
Seperti halnya kebijakan publik lainnya, penerapan ERP tentu tidak bebas dari penolakan. Beberapa kelompok ini mungkin akan paling vokal menyuarakan keberatan. Pertama, Pemilik mobil pribadi dari kelas menengah ke atas, yang merasa sudah membayar pajak kendaraan dan BBM. Bagi mereka, tarif ERP dianggap sebagai pajak ganda yang tidak adil, seolah harus membayar dua kali hanya untuk bisa menggunakan jalan yang sama.
Kedua, pengemudi ojek daring (online) dan pengusaha logistik kecil. Mereka khawatir, jika ERP juga diberlakukan untuk kendaraan roda dua atau kendaraan niaga ringan, maka biaya operasional mereka akan meningkat. Bagi kelompok ini, tambahan beban biaya bisa menggerus profit harian yang sudah tipis.
Ketiga, politisi yang takut kehilangan suara. Penolakan dari kelompok ini biasanya muncul karena kekhawatiran akan risiko elektabilitas, mereka cenderung menghindari kebijakan tidak populer. Mereka khawatir dukungan publik menurun jika terlihat mendukung kebijakan yang dianggap “membebani rakyat.” Padahal, kebijakan seperti ERP justru berpihak pada kepentingan jangka panjang kota dan warganya secara keseluruhan.
Keempat, sebagian masyarakat umum yang belum mendapatkan informasi yang utuh tentang tujuan dan mekanisme ERP. Kelompok ini rentan terpengaruh oleh narasi yang menyesatkan, seperti anggapan bahwa masyarakat sudah bayar pajak kendaraan, jadi tidak seharusnya dikenai biaya lagi saat menggunakan jalan.
Ada juga yang mengira kebijakan ini akan membuat semua kebutuhan jadi lebih mahal, atau bahkan ini sekadar akal-akalan pemerintah untuk mencari uang dari rakyat. Tanpa edukasi publik yang memadai, kesalahpahaman semacam ini bisa menyebar luas dan memicu penolakan terhadap kebijakan yang sebenarnya dirancang untuk kepentingan bersama.
Memahami resistensi dari berbagai kelompok ini penting, bukan untuk menyalahkan, tapi untuk menjawab kekhawatiran mereka secara terbuka dan argumentatif. Pemerintah perlu menjelaskan bahwa ERP bukan pajak tambahan, melainkan mekanisme pengelolaan ruang jalan secara adil, di mana biaya kemacetan tidak lagi ditanggung bersama, tapi oleh mereka yang memilih tetap menggunakan kendaraan pribadi.
Inklusif, mempertimbangkan keringanan untuk kelompok rentan. Dengan pendekatan komunikasi yang jujur dan empatik, penolakan bisa diubah menjadi dukungan.
Pada akhirnya, ERP ini bukan untuk menghukum pengendara, tapi untuk menyelamatkan masa depan kota Jakarta yang kita tinggali bersama. Perubahan selalu ditakutkan pada awalnya, tapi bisa diterima ketika manfaatnya terlihat jelas.
Jangan hanya jadi penonton
Sudah terlalu lama rencana penerapan pembatasan kendaraan pribadi melalui ERP, tapi sampai kapan Cuma jadi wacana? Sementara itu, kemacetan terus memburuk dari tahun ke tahun, polusi udara makin tinggi, dan angkutan umum yang seharusnya menjadi solusi justru ikut tersendat di jalan yang sama. Lama-lama, siapa mau beralih ke angkutan umum kalau kondisinya tak kunjung membaik?
Padahal, semua prasyarat untuk menerapkan ERP sudah tersedia: regulasinya jelas, infrastruktur transportasi publik terus berkembang, teknologi sudah siap. Yang kurang hanyalah kemauan politik dan tekanan publik.
Pemerintah memang pengambil keputusan, tapi masyarakat tak boleh lepas tangan, dan hanya menjadi penonton sambil mengeluh. Warga yang peduli harus ikut mendorong kebijakan yang benar, untuk Jakarta yang lebih tertib, sehat, dan manusiawi. Sudah waktunya masyarakat sipil, akademisi, komunitas transportasi, dan media mendesak Gubernur dan DPRD untuk segera mengambil langkah nyata menerapkan ERP.
Waktunya melangkah
ERP bukan sekadar alat untuk membatasi kendaraan pribadi, bukan sekadar soal bayar atau tidak bayar. Ini tentang menentukan masa depan Jakarta, apakah kita mau terus tenggelam dalam kemacetan, atau mulai membangun kota yang lebih manusiawi, kota yang memberi ruang jalan yang lebih adil untuk semua, mendorong mobilitas yang ramah lingkungan, dan membangun masa depan transportasi umum yang nyaman dan berkelanjutan.
Memang, tak semua orang akan langsung setuju. Tapi seperti banyak kebijakan penting lainnya, contohnya TransJakarta busway yang dulu banyak diragukan, bahkan dibilang bakal gagal total. Nyatanya? Sekarang busway jadi tulang punggung transportasi ibukota.
Kuncinya, berani untuk memulai, tidak perlu menunggu sempurna di awal, lalu sambil terus diperbaiki dan disempurnakan pelan-pelan.
Pertanyaannya, kita mau mulai sekarang, atau mau menunggu sampai macet total melumpuhkan kota ini?*
Muhammad Akbar, Pemerhati Transportasi.
