147 views 15 mins 0 comments

Jalesveva Jayamahe: Paradoks Negara Bahari yang Lupa Lautnya

In Analisis, Politika
June 23, 2025

JAKARTA – Ada ironi yang menyakitkan ketika menyaksikan Iran—sebuah negara dengan garis pantai yang jauh lebih pendek dari Indonesia—mampu menggunakan Selat Hormuz sebagai senjata geopolitik yang mengguncang ekonomi dunia. 

Sementara Indonesia, yang memiliki 17.508 pulau dan menguasai tiga chokepoint vital perdagangan global, masih berkutat dengan impian menjadi “negara maritim” tanpa pernah benar-benar memahami apa artinya.

Konflik naval Iran-Israel di Juni 2025 telah memberikan pelajaran masterclass tentang bagaimana teknologi modern dapat mengubah laut menjadi battlefield tiga dimensi. Iran dengan kapal pembawa drone Shahid Bagheri yang menyamar sebagai kapal kargo, Israel dengan sistem laser Iron Beam Naval yang dapat menghancurkan target dengan biaya 3 dolar per tembakan (tentu tidak termasuk biaya pengembangan dan maitenance), dan kapal selam kelas Dolphin yang beroperasi sebagai deterrent nuclear mobile. 

Ini bukan lagi pertempuran antara kapal perang tradisional—melainkan pertarungan algoritma di mana supremasi teknologi bertemu dengan strategi asimetris.

Yang paling mencengangkan dari spektakel ini adalah bagaimana sebuah selat selebar 33 kilometer dapat melumpuhkan seperlima ekonomi energi dunia. Ancaman Iran untuk menutup Selat Hormuz bukan sekedar gertakan kosong—mereka memiliki layered denial capability yang dapat memblokade jalur perdagangan tanpa harus mengontrolnya secara fisik.

Lalu di mana posisi Indonesia dalam permainan besar ini? Negara yang motto angkatan lautnya berbunyi “Jalesveva Jayamahe” (Justru di Lautan Kita Menang) justru masih mencari-cari kemenangan di domain yang seharusnya menjadi kekuatan alamiahnya.

The Art of Maritime Chokepoints: Pelajaran dari Selat Hormuz

Selat Hormuz membuktikan bahwa dalam era ekonomi global, geographical chokepoints bukanlah sekadar fitur geografis—melainkan strategic weapons dengan daya hancur setara senjata nuklir. Iran dapat mengerahkan kapal serang cepat senilai total 10 juta dolar untuk memblokade jalur pelayaran yang membawa kargo bernilai miliaran dolar per hari. Cost of disruption jauh melebihi cost of causing disruption.

Indonesia memiliki leverage yang bahkan lebih besar dari Iran. Selat Malaka memfasilitasi perdagangan senilai USD 3,5 triliun pada 2023—hampir dua kali lipat seluruh GDP Indonesia. Dengan 94.000 kapal per tahun atau 231 kapal per hari yang melintas, Selat Malaka adalah urat nadi ekonomi Asia yang tidak dapat digantikan.

Namun alih-alih mengoptimalkan posisi strategis ini, Indonesia justru terjebak dalam paradigma lama yang melihat laut sebagai pembatas, bukan penghubung. Sementara Iran menggunakan teknologi converted commercial vessels untuk menyamarkan platform militer sebagai kapal sipil, Indonesia masih berkutat dengan pertanyaan apakah boleh mengenakan tarif kepada kapal yang transit melalui perairan nasional.

Phillip Channel dengan lebar tersempit 2,8 kilometer sebelum masuk Selat Singapura memberikan Indonesia kontrol atas 40% pelayaran perdagangan dunia. Tapi alih-alih mengembangkan kemampuan maritime domain awareness yang canggih, Indonesia masih bergantung pada sistem pengawasan konvensional yang mudah di-spoof oleh teknologi modern.

Algoritma vs Intuisi: Gap Teknologi yang Menganga

Konflik Iran-Israel menunjukkan konvergensi domain dalam naval warfare modern. Keberhasilan di laut kini bergantung pada supremasi di udara, spektrum elektromagnetik, dan cyber space. Iron Beam Naval Israel membutuhkan kondisi atmosfer jernih, sistem radar dapat diganggu electronic warfare, dan sistem navigasi rentan terhadap cyber attacks.

Indonesia menghadapi kerentanan berlapis dalam menghadapi ancaman teknologi modern. BRIN telah mengembangkan AUV Hugin 1000 untuk operasi hidrografi sipil, namun masih jauh dari spesifikasi militer yang diperlukan untuk seabed warfare. China telah mengembangkan quantum sensing yang dapat mendeteksi kapal selam menggunakan drone—teknologi yang mengancam keamanan ALKI Indonesia.

Yang lebih ironis, Indonesia menempati peringkat 24 dari 194 negara dalam Global Cybersecurity Index, namun menghadapi serangan siber berulang terhadap infrastruktur pemerintah pada 2024. Kerentanan cyber meluas ke sistem pertahanan naval, di mana algoritma navigasi dan komunikasi kapal selam dapat disabotase dari jarak jauh.

Sementara Israel mengoperasikan sistem pertahanan udara naval Barak Magen yang memberikan cakupan 360 derajat, Indonesia masih bergantung pada sistem point defense konvensional yang rentan terhadap serangan drone swarm. Iran bahkan dapat meluncurkan drone kamikaze seharga 20.000 dolar yang sulit dicegat oleh sistem pertahanan Indonesia yang ada.

Wisdom Bahari yang Terlupakan

Ada kebijaksanaan mendalam dalam pepatah Jawa: “Segara tanpa wates, nanging ana dasare” (Laut tanpa batas, namun ada dasarnya). Nenek moyang Indonesia memahami bahwa kekuatan maritim bukan hanya tentang menguasai permukaan laut, melainkan memahami dinamika yang tak terlihat di bawahnya.

Kerajaan Sriwijaya menguasai Selat Malaka bukan dengan armada besar, melainkan dengan pemahaman mendalam tentang pola angin, arus laut, dan diplomasi perdagangan. Majapahit menjadi kekuatan regional bukan karena memiliki teknologi superior, melainkan karena memahami bahwa laut adalah jaringan, bukan penghalang.

Namun paradigma thalassophobia era kolonial telah mengubah Indonesia menjadi negara yang takut dengan lautnya sendiri. Doktrin pertahanan masih terfokus pada ancaman darat, infrastruktur pembangunan berorientasi Java-sentris, dan elite politik yang lebih nyaman berbicara tentang investasi infrastruktur darat ketimbang supremasi maritim.

Konsep “Maritime Fulcrum” era Jokowi—dengan lima pilar budaya maritim, perlindungan sumber daya, infrastruktur, diplomasi, dan kekuatan maritim—adalah langkah yang tepat secara konseptual. Namun implementasinya masih terjebak dalam pendekatan birokratis yang tidak memahami urgency of maritime competition.