149 views 15 mins 0 comments

Jalesveva Jayamahe: Paradoks Negara Bahari yang Lupa Lautnya

In Analisis, Politika
June 23, 2025

Asimetri yang Menguntungkan

Belajar dari strategi Iran, Indonesia dapat mengembangkan kemampuan maritime denial yang efektif dengan biaya relatif rendah. Konsep converted commercial vessels sangat relevan bagi Indonesia yang memiliki armada kapal komersial besar dan jalur pelayaran padat.

Kapal kargo konvensional dapat dikonversi menjadi platform drone mobile yang beroperasi di jalur pelayaran ALKI tanpa menarik perhatian. Dengan teknologi autonomous underwater vehicles dan sea mines, Indonesia dapat menciptakan layered denial capability di selat-selat strategis tanpa harus membangun armada surface combatant yang mahal.

Yang lebih strategis, Indonesia dapat mengembangkan kemampuan quantum sensing dan electronic warfare untuk mendeteksi serta mengganggu aset musuh yang beroperasi di perairan nasional. Dengan geografis kepulauan yang kompleks, Indonesia memiliki keunggulan natural untuk underwater guerrilla warfare.

Namun pendekatan asimetris ini membutuhkan paradigma shift dari sea control menuju sea denial. Indonesia tidak perlu mengontrol seluruh Samudera Hindia dan Pasifik, cukup memastikan tidak ada kekuatan asing yang dapat menggunakan perairan Indonesia untuk tujuan yang merugikan kepentingan nasional.

Ekonomi Politik Chokepoints

Potensi ekonomi dari kontrol selat strategis Indonesia sangat besar, namun terkendala oleh UNCLOS yang menjamin hak transit bebas. Meski demikian, Indonesia dapat mengenakan tarif untuk alasan keamanan, perlindungan lingkungan, dan keselamatan navigasi.

Traffic Separation Scheme (TSS) di Selat Malaka dapat dikembangkan menjadi sistem vessel traffic management yang lebih canggih dengan biaya navigasi yang fair. Singapura berhasil mengumpulkan pendapatan signifikan dari port dues dan pilotage services—model yang dapat diadaptasi Indonesia dengan skala yang lebih besar.

Sektor maritim Indonesia berpotensi menghasilkan USD 1,2 triliun per tahun, namun kontribusi saat ini baru kurang dari 30% PDB. Gap ini menunjukkan besarnya peluang yang terbuang akibat paradigma maritim yang tidak optimal.

Yang lebih strategis, kontrol ekonomi atas chokepoints dapat menjadi deterrent yang lebih efektif daripada kekuatan militer konvensional. Ancaman untuk mengganggu supply chain global akan memaksa kekuatan besar untuk berpikir ulang sebelum mengancam kedaulatan Indonesia.

Teknologi Masa Depan: Race Against Time

Autonomous Underwater Vehicles (AUV) dan Unmanned Underwater Vehicles (UUV) akan menjadi game-changer dalam naval warfare masa depan. Israel dan Iran telah mengembangkan berbagai prototipe untuk intelligence gathering, mine laying, dan underwater assassination.

Indonesia perlu mempercepat pengembangan swarm underwater drones yang dapat dioperasikan dari platform permukaan atau kapal selam. Konsep ini sangat cocok dengan karakteristik perairan Indonesia yang dangkal dan kompleks, di mana underwater drones dapat bersembunyi di antara terumbu karang dan topografi dasar laut yang rumit.

Yang paling menakutkan adalah kemungkinan AI-enabled underwater warfare. Dalam lingkungan bawah laut di mana komunikasi real-time sangat terbatas, autonomous decision-making menjadi kebutuhan—namun juga ancaman yang berbahaya jika jatuh ke tangan yang salah.

BRIN perlu berkolaborasi dengan industri pertahanan untuk mengembangkan teknologi dual-use yang dapat digunakan untuk eksplorasi sumber daya alam sekaligus pertahanan maritim. Indonesia memiliki keunggulan dalam indigenous knowledge tentang karakteristik perairan lokal yang dapat diintegrasikan dengan teknologi modern.

Strategi 360 Derajat: Beyond Traditional Naval Power

Indonesia perlu mengembangkan doktrin maritim yang mengintegrasikan hard power dan soft power secara sinergis. Traditional naval power dengan kapal perang canggih tetap penting, namun harus dilengkapi dengan asymmetric capabilities dan economic leverage.

Konsep “Archipelagic State” memberikan Indonesia legitimasi hukum internasional untuk mengatur lalu lintas di perairan nasional. Namun legitimasi ini harus didukung oleh kemampuan enforcement yang kredibel dan sistem monitoring yang canggih.

Indonesia dapat mengembangkan coast guard yang kuat dengan teknologi maritime domain awareness terdepan. Kombinasi satelit, underwater sensors, drone patrols, dan AI analytics dapat memberikan real-time picture dari seluruh aktivitas di perairan Indonesia.

Yang lebih strategis, Indonesia perlu mengembangkan maritime diplomacy yang memanfaatkan posisi geografis untuk memediasi konflik regional. Seperti filosofi Jawa “Jer Basuki Mawa Beya” (untuk mencapai keselamatan diperlukan biaya), Indonesia harus berani menginvestasikan sumber daya untuk membangun kekuatan maritim yang kredibel.