148 views 15 mins 0 comments

Jalesveva Jayamahe: Paradoks Negara Bahari yang Lupa Lautnya

In Analisis, Politika
June 23, 2025

Refleksi: Laut Sebagai Cermin Jati Diri

Di akhir eksplorasi tentang teknologi naval warfare dan posisi strategis Indonesia, muncul pertanyaan fundamental: apakah Indonesia benar-benar memahami makna “Jalesveva Jayamahe”?

Motto TNI AL yang berarti “Justru di Lautan Kita Menang” bukan sekadar slogan militer—melainkan reminder ontologis tentang jati diri Indonesia sebagai bangsa bahari. Dalam bahasa Sansekerta, Jalesu (di laut), Eva (justru), Jayamahe (kita menang) mengandung wisdom mendalam: bahwa kemenangan Indonesia tidak terletak di darat yang terbatas, melainkan di laut yang tak bertepi.

Konflik Iran-Israel menunjukkan bagaimana negara dengan sumber daya terbatas dapat menggunakan teknologi dan strategi asimetris untuk memproyeksikan kekuatan jauh melampaui kapasitas konvensional. Iran dengan kapal pembawa drone dan strategi chokepoint, Israel dengan sistem laser naval dan kapal selam nuclear-capable—keduanya membuktikan bahwa maritime supremacy bukan tentang siapa yang memiliki armada terbesar, melainkan siapa yang paling cerdas dalam menggunakan teknologi dan geografi.

Indonesia memiliki semua keunggulan alamiah: chokepoints strategis, perairan kompleks yang menguntungkan defensive warfare, sumber daya alam maritim yang melimpah, dan sejarah bahari yang gemilang. Yang dibutuhkan adalah paradigm shift dari landlubber mentality menuju genuine maritime consciousness.

Penutup: Dari Paradoks Menuju Supremasi

Laut telah berbisik rahasia kepada mereka yang mau mendengarkan: bahwa dalam era globalisasi, kontrol atas jalur perdagangan adalah kontrol atas ekonomi dunia. Selat Hormuz yang sempit memberikan Iran leverage geopolitik yang disproportional. Bayangkan apa yang dapat dicapai Indonesia dengan tiga chokepoint vital dan posisi strategis di jantung perdagangan Asia.

Yang paling dalam dari Jalesveva Jayamahe adalah aspek temporalnya. Dalam bahasa Sansekerta, Jayamahe menggunakan present tense—”kita sedang menang”, bukan “kita akan menang”. Ini menunjukkan bahwa supremasi maritim Indonesia bukan visi masa depan, melainkan potensi aktual yang harus direalisasikan sekarang.

Teknologi naval warfare modern telah menurunkan barrier to entry untuk kekuatan maritim. Converted commercial vessels, drone swarms, electronic warfare, dan cyber capabilities memberikan peluang bagi Indonesia untuk membangun kekuatan asimetris yang efektif dengan biaya relatif rendah.

Namun teknologi tanpa strategi adalah sia-sia. Indonesia perlu mengembangkan doktrin maritim yang mengintegrasikan traditional naval power, asymmetric capabilities, economic leverage, dan maritime diplomacy dalam satu kesatuan yang koheren.

Seperti pepatah Bugis: “Resopa temmangingi malomo naletei pammase dewata” (Hanya dengan kerja keras kita dapat meraih pertolongan Tuhan). Dalam konteks maritim, kerja keras itu adalah komitmen untuk membangun supremasi laut yang tidak hanya kuat secara militer, tetapi juga bijaksana secara diplomatik dan berkelanjutan secara ekonomi.

Ketika gelombang sejarah bergerak menuju Asia Century, Indonesia tidak boleh menjadi penonton di teaternya sendiri. Saatnya Jalesveva Jayamahe berubah dari motto menjadi realitas, dari paradoks menjadi supremasi, dari mimpi menjadi kemenangan di lautan yang tak bertepi.

Karena seperti wisdom Nusantara mengajarkan: “Laut iku guru sing paling apik—ngajari sabar marang sing bisa diatur, wani marang sing ora bisa diatur.” (Laut adalah guru yang paling baik—ia mengajarkan sabar terhadap yang bisa diatur, dan berani terhadap yang tidak bisa diatur.)

Pertanyaannya sekarang: apakah Indonesia siap menjadi murid yang baik bagi guru yang telah menunggunya selama berabad-abad?*

GWS.