51 views 3 mins 0 comments

Jangan Pernah Menghina Rakyat dengan Kata “Tolol”

In Kolom
August 26, 2025

JAKARTA – Satu hal yang tak boleh dilakukan oleh siapapun yang menyebut dirinya wakil rakyat: menghina rakyatnya sendiri dengan kata “tolol”.

Ini bukan sekadar ucapan sembrono—ini penghinaan terhadap harkat demokrasi itu sendiri.

Rakyat membayar pajak, bekerja keras siang malam, sementara ada wakilnya yang malah berani merendahkan martabat mereka.

Padahal karena rakyatlah  para anggota dewan bisa menikmati, mulai dari gaji, tunjangan, hingga segala fasilitas priviledge untuk mereka.

Mengucapkan kata “tolol” kepada rakyat bukan saja sekadar ucapan kasar, tetapi bukti betapa rendahnya kelas seorang anggota dewan dalam bertutur. Wakil rakyat seharusnya menjadi teladan dalam bersikap & berucap, menjadi cermin kesantunan publik. 

Jika mulutnya saja tidak bisa dijaga, bagaimana mungkin pikirannya bisa jernih? Jika ucapannya merendahkan, bagaimana mungkin kebijakannya bisa mengangkat martabat rakyat?

Lebih jauh, hinaan itu menunjukkan betapa dangkal kemampuan mendengar seorang wakil rakyat. Alih-alih menanggapi kritik dengan argumen & solusi, ia malah memilih melempar caci maki. 

Alih-alih bersikap bijak kepada rakyat yang membiayai kursinya, ia justru memperlihatkan keangkuhan. Di titik inilah kata “tolol” tidak lagi menggambarkan kelas sebagai wakil rakyat, melainkan menjatuhkan martabat si wakil rakyat sendiri.

DPR seharusnya tidak alergi kritik. Kritik rakyat adalah alarm perbaikan, bukan bahan caci maki. Semakin kasar anggota dewan menanggapi kritik, semakin jelas bahwa mereka lupa siapa tuannya: rakyat, bukan partai, bukan penguasa.

Justru di tengah krisis kepercayaan publik, ada sederet tuntutan rakyat yang terus menggema, dan DPR wajib menjawabnya:

  1. Pemberantasan korupsi yang serius. Perkuat penegakan hukum dalam memberangus korupsi, bukan dilemahkan dengan aturan-aturan yang tidak perlu.
  2. Perlindungan HAM. Hentikan kriminalisasi aktivis dengan pasal karet. Demokrasi tidak bisa hidup jika rakyat dibungkam.
  3. Keadilan ekonomi. Awasi proyek-proyek besar agar tidak menjadi bancakan anggaran. Terapkan pajak progresif bagi konglomerat, lindungi buruh, pekerja informal, dan generasi muda yang kini menumpuk sebagai pengangguran terdidik.
  4. Lingkungan hidup. Buka transparansi AMDAL IKN, hentikan perampokan hutan dan eksplorasi tambang yang hanya menguntungkan segelintir orang.
  5. Demokrasi sehat. Hapus politik dinasti, hentikan pasal siluman, perbaiki UU Pemilu dan UU Partai agar kursi dewan tidak hanya diwariskan kepada anak, menantu, atau kerabat.
  6. Akuntabilitas DPR sendiri. Publikasikan absensi, buka rapat secara live, hentikan pemborosan anggaran yang tidak perlu. Kalau ingin dihormati, tunjukkan kerja, bukan arogan & kasar dalam berbicara.

Ingatlah: rakyat boleh marah, boleh kecewa, boleh mencaci. Itu hak mereka. Tapi wakil rakyat tidak boleh sekali pun menghinanya, apalagi dengan menyebut hinaan “tolol”.

Karena di atas kertas, wakil rakyat bekerja untuk rakyat. Tapi di hati rakyat, akan selalu dicatat siapa yang benar-benar mengabdi, dan siapa yang hanya menjadi beban.*

Didi Irawadi Syamsuddin, S.H., LL. M.Politikus Partai Demokrat.