91 views 4 mins 0 comments

Konferensi ‘Harm Reduction’ untuk Rokok Dinilai Menyesatkan

In Nasional
June 17, 2025

BANDUNG – Menyikapi diselenggarakannya Asia-Pacific Conference on Smoking and Harm Reduction 2025 di Bandung yang disponsori oleh Center of Excellence for the Acceleration of Harm Reduction (CoEHAR), sejumlah pakar pengendalian tembakau dan komunikasi di Indonesia menyampaikan keprihatinan serius atas narasi yang dibangun dalam forum tersebut.

Acara ini menghadirkan sejumlah pembicara yang dikenal sebagai pendukung pendekatan “harm reduction” dalam konsumsi produk tembakau dan nikotin, termasuk rokok elektronik dan produk tembakau yang dipanaskan.

Pendekatan ini dinilai berisiko membelokkan arah kebijakan pengendalian tembakau yang berbasis bukti ilmiah dan perlindungan kesehatan masyarakat. Terlebih, sponsor acara tersebut adalah organisasi asing yang diketahui menerima pendanaan dari industri rokok Philip Morris.

Kiki Soewarso, aktivis pengendalian tembakau dari Tobacco Control Support Center (TCSC) IAKMI dan pakar komunikasi dari London School of Public Relations (LSPR) Institute, mengungkapkan konsep harm reduction yang diusung dalam konferensi ini sebenarnya adalah bagian dari strategi industri rokok untuk mempertahankan pasar produk adiktif mereka.

“Bukti ilmiah independen menunjukkan bahwa produk seperti rokok elektronik dan HTP (heated tobacco products) tetap berisiko bagi kesehatan dan dapat menarik anak-anak serta remaja untuk mulai menggunakan nikotin,” kata Kiki.

Kiki juga menyampaikan keprihatinannya melihat adanya upaya menciptakan ‘new normal’, penggunaan vape atau rokok elektronik di dalam ruangan yang dicitrakan lebih aman dibandingkan rokok konvensional.

“Ini adalah ilusi yang sengaja dibangun oleh industri untuk membuka kembali ruang-ruang yang sebelumnya berhasil dilindungi dari asap rokok,” tegasnya.

Prof. Eni Maryani, Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, turut mengkritisi framing komunikasi yang dilakukan dalam acara tersebut.

“Menggunakan istilah seperti ‘advancing innovation for smoking cessation’ sangat menyesatkan. Inovasi yang seharusnya didorong adalah kebijakan yang memperkuat upaya berhenti merokok sepenuhnya, bukan mengganti dengan produk nikotin lain yang juga menimbulkan kecanduan dan risiko kesehatan,” tegas Prof. Eni.

Mouhamad Bigwanto, Ketua Ruang Kebijakan Kesehatan Indonesia (RUKKI), menyampaikan keprihatinan atas keterlibatan peneliti dari lembaga negara dalam acara yang cenderung menguntungkan narasi industri rokok.

“Kami sangat menyesalkan keterlibatan peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), lembaga riset negara, dalam konferensi ini. Lembaga negara seharusnya menjaga independensi dan komitmen terhadap perlindungan kesehatan masyarakat, bukan justru tampil dalam forum yang secara terang-terangan mempromosikan konferensi yang dipelopori oleh lembaga asing dan didanai oleh industri rokok. Ini berpotensi mencoreng kredibilitas lembaga riset nasional di mata publik,” ungkap Bigwanto.

Bigwanto juga mengingatkan bahwa narasi “harm reduction” sering kali dipakai untuk melemahkan upaya pengendalian tembakau dan agenda seperti ini patut diwaspadai karena sering digunakan sebagai bagian dari intervensi industri rokok di tingkat kebijakan.

“Indonesia harus berhati-hati terhadap upaya normalisasi produk-produk baru ini lewat forum-forum ilmiah semu. Kita justru membutuhkan penguatan regulasi dan edukasi publik tentang bahaya semua bentuk produk tembakau dan nikotin, termasuk rokok elektronik” tambahnya.

Senada, dr. Ahyani Raksanagara, Ketua Umum IAKMI Pengda Jawa Barat, menegaskan pentingnya menjaga integritas kebijakan pengendalian tembakau di tingkat lokal dan nasional.

“Kami di Bandung dan Jawa Barat berkomitmen untuk melindungi masyarakat, khususnya anak-anak dan remaja, dari paparan semua produk tembakau dan nikotin. Konsep “harm reduction” yang diglorifikasi justru dapat menghambat pencapaian target kesehatan masyarakat yang telah ditetapkan. Harm reduction juga masih perlu dipertanyakan dampaknya terhadap kesehatan paru-paru dan pengaruhnya terhadap adiksi,” ujar Ahyani.

Para pakar ini mendesak pemerintah, akademisi, dan masyarakat untuk bersikap kritis terhadap narasi yang diusung oleh industri rokok dan afiliasinya yang bisa saja berupa kelompok-kelompok ilmiah di perguruan tinggi. Mereka juga mendorong penguatan kebijakan pengendalian tembakau yang komprehensif, termasuk pelarangan iklan, promosi, dan sponsorship produk tembakau baru.*

Baca juga: Rokok Elektronik Aman Adalah Klaim Menyesatkan