133 views 12 mins 1 comments

Koperasi Itu Soal Masa Depan, Bukan Masa Lalu

In Kolom
April 05, 2025

Masa depan ekonomi Indonesia

Langkah Prabowo yang ingin membesarkan ekonomi nasional berbasis pedesaan melalui koperasi masih juga belum dipahami banyak pihak. Mereka cenderung sinis dan selalu beralasan soal masa lalu koperasi yang berperilaku korup dan penuh penyelewengan.

Pandangan ini bisa jadi ada benarnya. Namun juga banyak kelirunya. Penyelewengan dan perilaku korup terjadi juga di model badan usaha kapitalis. Bahkan jauh lebih besar dan masif. Kasus Timah, Jiwasraya, Pertamina, Kominfo dan kredit ekspor yang besarnya ratusan trilyun tidak melibatkan koperasi sama sekali.

Mereka mungkin juga seperti katak dalam tempurung.  Tidak melihat bagaimana koperasi berkembang di negara-negara maju. Organisasi koperasi Dunia yaitu International Cooperative Alliance (ICA) baru mengumumkan pada tahun 2023 bahwa 300 koperasi teratas di seluruh dunia berhasil mencatatkan omset US$ 2 triliun (2,409 miliar USD) atau setara Rp 30.000 triliun per tahun dengan acuan data keuangan tahun 2021. Meliputi usaha koperasi yang bergerak disektor Pertanian (105 perusahaan), Asuransi (96 perusahaan), Perdagangan Besar dan Eceran mewakili sektor ekonomi terbesar ketiga (57 perusahaan).

Dari segi omset terbesar, dua koperasi sektor keuangan menduduki posisi teratas, yaitu Groupe Crédit Agricole Prancis (omset 117,01 miliar USD pada tahun 2021) dan Grup REWE dari Jerman (omset 82,03 Miliar USD pada tahun 2021). Menyusul di posisi ketiga koperasi ritel Groupe BPCE (omset 64,06 Miliar USD pada tahun 2021).

Ada juga koperasi pertanian Jepang Zen Noh dengan omset 55 milyar USD per tahun dan Koperasi industri pertanian Korsel Nonghyup yang beromset 41 milyar USD per tahun. Kelasnya sudah seperti omset konglomerat di Indonesia.

Sayang memang koperasi di Indonesia belum masuk dalam ranking 300 besar koperasi dunia tersebut. Namun seperti halnya timnas sepakbola Indonesia yang sedang berjuang masuk 100 besar dunia versi FIFA, gerakan koperasi di bawah pemerintahan Prabowo mulai disiapkan untuk besar dan masuk 300 besar dunia.

Bayangkan jika 70 ribu koperasi desa itu terealisasi dan memiliki bisnis dengan putaran omset Rp 1 milyar saja per tahun maka sudah ada putaran Rp 70 trilyun per tahun. Itu belum ditambah putaran omset koperasi yang ada sekarang sekitar 150 trilyun per tahun.

Belum lagi efek penyerapan tenaga kerja jika koperasi desa ini berkembang. Rata-rata koperasi desa bisa menyerap 100-300 orang sebagai pekerja. Total bisa menyerap 10-20 juta pekerja.

Kepemilikan usahanya juga tersebar di banyak orang. Bukan hanya di segelintir pemilik modal. Ekonomi yang berbasis rakyat banyak ini tampaknya akan menjadi model ekonomi Indonesia ke depan.

Membangun legacy melalui koperasi

Tokoh buruh nasional Jumhur Hidayat yang juga pejuang ekonomi kerakyatan, dalam sebuah diskusi menyampaikan bahwa hanya koperasi bentuk usaha paling cocok untuk membentengi rakyat dari keserakahan kaum kapitalis. Dan itu adalah amanah konstitusi.

Karena itu seyogyanya cabang-cabang usaha yang menguasai hajat hidup orang banyak dan sifatnya memanfaatkan kekayaan alam harus berbentuk badan hukum koperasi.

Seperti halnya di sektor pertanian, peternakan, perikanan, hutan, tambang dan bahkan minyak bumi. Kalau tidak, maka sumber daya alam tersebut akan habis dihisap kaum kapitalis. Dengan adanya koperasi akan lebih menjamin masa depan kehidupan warga setempat. Mereka memiliki posisi yang setara dengan pelaku bisnis lain.

Bahkan, dalam bisnis modern seperti taksi online, sudah seharusnya para sopir ojol berhimpun dalam koperasi dan turut memiliki saham di perusahaan pemilik aplikasi sehingga relasi antara sopir dan pemilik aplikasi bukan hanya mitra tetapi juga sesama pemilik usaha. Seperti halnya koperasi peternak sapi perah di negara maju, yang memiliki saham di industri pengolahan susu. Ada kesetaraan antara rakyat dan pelaku bisnis. Koperasi sebagai fasilitas kelembagaannya.

Prabowo yang di dalam darahnya mengalir ideologi koperasi sebagaimana diwariskan oleh kakeknya Margono Djojohadikoesoemo dan ayahnya Profesor Soemitro Djojohadikoesoemo, tentu terpanggil untuk menghidupkan kembali gerakan koperasi di tanah air, terutama di pedesaan. Gerakan ini bertujuan untuk mengembalikan pilar ekonomi nasional dari sedikit oligarki ke tangan rakyat banyak. Tentu ini langkah yang tidak mudah dan bakal menghadapi banyak tantangan seperti mendaki gunung terjal.

Namun sesungguhnya semangat ini sama dengan semangat sejumlah masyarakat kota Rochdale, Inggris yang mendirikan koperasi pertama di dunia pada tahun 1844, sebelum akhirnya gerakan koperasi menyebar ke seluruh dunia. Mereka mendirikan koperasi sesungguhnya adalah respon atas kegagalan revolusi industri yang memperjuangkan konsep Liberte – Egalite – Fraternite (kebebasan – persamaan – kebersamaan).

Konsep tersebut dianggap gagal karena revolusi industri tidak membawa perubahan terhadap kondisi ekonomi rakyat. Liberte atau kebebasan hanya dirasakan oleh mereka yang memiliki kapital sehingga dapat meraup untung sebanyak-banyaknya. Begitu juga dengan Egalite dan Fraternite atau persamaan dan kebersamaan, hanya menjadi milik pemilik-pemilik modal besar.

Hampir 200 tahun kemudian, dengan semangat yang sama, Prabowo ingin membangkitkan kembali gerakan koperasi di Indonesia. Langkah ini akan bertemu dengan semacam common sorrow, rasa senasib sepenanggungan di dalam hati masyarakat bawah yang selama ini terpinggirkan secara ekonomi. Cahaya di ujung lorong itu memang belum terlalu terang, tapi sepertinya akan terus membesar dan menerangi jalan. Semoga bisa menjadi legacy.*

Turino Yulianto, Mantan Ketua Umum Koperasi Kesejahteraan Mahasiswa (Kokesma) ITB.