56 views 9 mins 0 comments

Lahirnya Generasi Rentan: Kelas Baru di Balik Kerusuhan 2025

In Kolom
September 15, 2025

Industri Digital: Rahim Lahirnya Generasi Rentan

Ekonomi digital menjanjikan kebebasan, fleksibilitas, dan peluang tak terbatas. Namun, seperti janji yang tak ditepati, ia juga melahirkan sisi gelap: ketidakpastian.

  • Pengemudi Ojol: Lebih dari 4,5 juta orang di Indonesia (data 2023) menggantungkan hidup pada aplikasi transportasi daring. Mereka bebas mengatur waktu, tetapi tidak ada upah minimum yang pasti. Bonus bisa berubah sewaktu-waktu sesuai algoritma perusahaan.
  • Kurir E-commerce: Industri belanja daring yang meledak pascapandemi membuat kurir menjadi tulang punggung logistik. Mereka mengejar target pengiriman yang ditentukan mesin, bukan manusia.
  • Freelancer Daring: Dari penulis konten, desainer grafis, hingga penerjemah. Mereka semua berkompetisi di pasar global yang padat karya, dengan bayaran sering kali lebih rendah dari standar kelayakan.
  • Content Creator Kecil: Banyak anak muda bercita-cita jadi YouTuber atau seleb TikTok. Sebagian berhasil, tetapi mayoritas hidup di pinggir algoritma, tergantung pada like, view, dan monetisasi yang tak menentu.

Kontradiksi ini jelas: di satu sisi, fleksibilitas memberi ruang kebebasan. Di sisi lain, rapuhnya perlindungan sosial membuat hidup mereka seperti berjalan di atas tali tipis. Industri digital tidak menciptakan kepastian, melainkan memperluas zona abu-abu kerja. Generasi Rentan lahir dari rahim digital ini—dan jumlah mereka makin membesar seiring revolusi platform terus menggurita.

Dimensi Psikologis dan Politik: Dari Cemas Menjadi Aksi

Kerentanan bukan hanya soal ekonomi, melainkan juga soal batin. Generasi Rentan hidup dalam bayang-bayang kecemasan yang kronis: apakah hari ini ada order? Apakah besok ada kontrak? Apakah bulan depan masih bisa bayar cicilan?

Secara psikologis, mereka sering merasa terasing. Mereka tidak merasa bagian dari kelas menengah mapan, tetapi juga tidak mengidentifikasi diri sebagai kaum miskin tradisional. Mereka berada “di tengah”—tetapi tanpa pegangan yang kokoh. Rasa kehilangan identitas ini membuat mereka mudah marah, mudah kecewa, dan mudah terprovokasi.

Secara politik, Generasi Rentan bisa menjadi kekuatan civil society baru. Lihatlah solidaritas pengemudi ojol ketika salah satu dari mereka meninggal akibat kecelakaan kerja. Dalam hitungan jam, ribuan ojol turun ke jalan menuntut keadilan. Media sosial menjadi corong yang memperbesar suara mereka.

Namun, kerentanan ini juga berbahaya. Generasi Rentan mudah dimobilisasi untuk kepentingan politik sesaat.

Ledakan protes di Indonesia, Agustus–September 2025 tidak lahir dari ruang hampa. Laporan BPS dan sumber independen menunjukkan pendapatan pekerja gig, seperti pengemudi ojol, menurun signifikan, sementara inflasi pangan tercatat sejak Agustus 2025. Kombinasi frustrasi ekonomi, ketidakpastian digital, dan lemahnya perlindungan sosial menjadikan Generasi Rentan mudah tersulut.

Mereka bisa berubah dari kelompok solidaritas menjadi kerumunan kerusuhan. Inilah yang terjadi di berbagai negara: di Prancis, Yellow Vests lahir dari keresahan serupa; di Amerika Serikat, pekerja Amazon menuntut kondisi kerja yang lebih manusiawi; di Hong Kong, generasi digital muda memimpin aksi protes besar-besaran.

Generasi Rentan di Indonesia pun menunjukkan pola serupa: mudah menyatu, mudah marah, dan mudah bergerak—karena dasar kehidupannya memang rapuh.