63 views 8 mins 0 comments

Meluasnya Aksi Protes dan Tumbuhnya Kelas Baru yang Rawan

In Nasional, Peristiwa, Politik
September 08, 2025

Proletariat vs. Prekariat: Pergeseran Wajah Kelas Pekerja

Untuk memahami fenomena ini, penting untuk melihat perbedaannya dengan kelas pekerja di masa lalu:

  • Proletariat → Anak kandung Revolusi Industri. Mereka adalah buruh pabrik yang miskin tetapi memiliki pekerjaan yang stabil. Identitas kelas mereka jelas, yang kemudian melahirkan gerakan serikat buruh dan konsep negara kesejahteraan. Singkatnya: miskin tapi pasti.
  • Prekariat → Anak kandung globalisasi dan revolusi digital. Mereka adalah pekerja lepas atau kontrak yang miskin sekaligus rapuh. Identitas mereka cair dan sulit untuk bersatu. Namun, bila mereka bangkit, kekuatan mereka dapat mengguncang tatanan yang ada. Singkatnya: miskin sekaligus tak menentu.

Wajah Prekariat di Indonesia

Indonesia hari ini adalah rumah bagi jutaan anggota kelas prekariat. Mereka adalah:

  • Pengemudi ojek online yang nasibnya bergantung pada algoritma aplikasi.
  • Kurir ekspedisi yang dibayar per paket, bukan per jam kerja.
  • Guru honorer dengan gaji rendah dan kontrak yang mudah diputus kapan saja.
  • Pekerja start-up yang dirumahkan secara massal saat perusahaan melakukan “efisiensi.”
  • Content creator yang terus-menerus mengejar algoritma platform agar tetap relevan.
  • Buruh pabrik outsourcing yang dapat diganti tanpa pesangon.

Ketika harga pangan melonjak, merekalah yang paling pertama tercekik. Ketika biaya hidup naik sementara kontrak kerja bisa diputus secara sepihak, fondasi masa depan mereka runtuh. Maka, wajar jika wajah-wajah prekariat inilah yang menjadi mayoritas dalam gelombang protes kemarin. Mereka turun ke jalan bukan hanya karena marah, tetapi karena akumulasi ketakutan: takut esok tak ada penghasilan, takut anak-anak mereka putus sekolah, dan takut masa depan mereka tetaplah kosong.

Jeritan Zaman: Dari Protes Menuju Tuntutan Martabat

Sejarah mencatat, kaum proletariat di abad ke-19 berhasil mengguncang Eropa, melahirkan revolusi, dan mendorong terbentuknya negara kesejahteraan. Kini, di abad ke-21, kaum prekariat lahir di jalan-jalan Jakarta, Bandung, Medan, hingga Makassar. Mereka datang dengan membawa keresahan khas zaman digital: hidup yang diatur oleh algoritma, masa depan yang ditentukan oleh kontrak sementara, dan keberlangsungan hidup yang diserahkan pada mekanisme pasar yang dingin.

Victor Hugo pernah berkata: “Tidak ada yang lebih kuat daripada sebuah ide yang waktunya telah tiba.”

Hari ini, ide itu bernama martabat manusia yang menolak untuk hidup dalam ketidakpastian abadi.

Filsuf Michael Sandel mengingatkan: “Pasar harus menjadi alat bagi manusia, bukan manusia yang menjadi alat bagi pasar.”

Bila negara menutup telinga, keresahan ini bisa disambar oleh narasi populisme dan berubah menjadi api yang destruktif. Namun, bila negara hadir—dengan melindungi yang paling rapuh, memperluas jaring pengaman sosial, dan membuka ruang partisipasi—maka keresahan ini dapat menjadi tenaga sejarah yang memperbarui demokrasi kita.

Karena sesungguhnya, protes itu bukan sekadar amarah. Ia adalah jeritan zaman. Ia adalah jeritan anak-anak algoritma yang rapuh, tetapi tetap ingin hidup secara bermartabat.

Jalan ke Depan: Respon Negara dan Solidaritas Digital

Pemerintah dapat merespons keresahan prekariat dengan langkah-langkah konkret, seperti memperluas skema perlindungan sosial universal, memastikan akses jaminan kesehatan dan pensiun meski pekerja berpindah-pindah sektor, serta mendorong regulasi kontrak kerja yang lebih adil. Selain itu, perlu disediakan dana subsidi untuk upskilling dan reskilling, agar para pekerja fleksibel ini tetap memiliki masa depan yang produktif dan terjamin.

Di tengah ketidakpastian, teknologi digital tak hanya menjadi alat eksploitasi, tetapi juga dapat menjadi sarana resistensi. Komunitas daring kaum prekariat—seperti forum pengemudi, grup guru honorer, dan lainnya—mulai merajut solidaritas lintas sektor. Mereka berbagi strategi untuk bertahan, mengadvokasi hak melalui petisi online, dan membangun kekuatan kolektif yang dapat mengubah kerapuhan menjadi kekuatan politik yang progresif.

Presiden Prabowo sudah menyiapkan banyak sekali program populis dengan anggaran yang masif. Namun, masalahnya kini terletak pada tingkat eksekusi. Termasuk dalam tantangan eksekusi itu adalah kemampuan adaptif untuk merevisi program sesuai dengan kebutuhan nyata di lapangan.

Dan sejarah akan selalu berpihak kepada mereka yang berani mendengarkan suara yang paling lemah, yang paling rawan. Suara kaum prekariat.*

Oleh Denny JA