65 views 12 mins 0 comments

Memahami Aksi Protes: Akar Masalah, Pemicu, dan Distrosi

In Kolom
September 07, 2025

Pertama, berita kenaikan tunjangan DPR. Slip gaji anggota dewan yang fantastis beredar luas di media sosial, menyakiti hati rakyat yang sedang lapar dan merasa para wakilnya di pemerintahan tidak peka terhadap penderitaan mereka.

Kedua, gaya komunikasi politisi yang arogan. Rakyat yang mencoba menyuarakan protes justru dihina sebagai “paling tolol sedunia.” Kata-kata, yang seharusnya menjadi air penyejuk, justru menjelma bensin yang menyiram dan membakar kemarahan.

Lalu, tibalah tragedi itu: Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online, tewas terlindas mobil aparat. Ia bukan seorang aktivis garis depan; ia hanya rakyat kecil yang ingin pulang mencari nafkah. Namun, tubuhnya yang tergeletak di jalanan menjelma simbol penderitaan nasional. Gelombang protes pun berubah menjadi tsunami.

Namun, protes murni itu pada dasarnya rapuh. Awalnya berjalan damai—para pengemudi ojol meniup klakson serempak, mahasiswa berorasi dengan lantang, dan para buruh membawa obor sebagai simbol harapan. Ada nuansa ritual solidaritas yang kuat.

Tetapi provokasi berhasil masuk. Batu-batu mulai melayang, api mulai menyala, dan kantor DPRD di Makassar terbakar. Kantor pejabat dijarah. Aparat membalas dengan tembakan gas air mata. Di titik inilah distorsi terjadi. Suara rakyat soal beras, PHK, dan pajak, lenyap ditelan asap. Kamera media hanya merekam kekerasan, bukan lagi pesan yang ingin disampaikan.

Gema Sejarah: Perut Lapar Mengguncang Dunia

Apa yang terjadi di Indonesia pada tahun 2025 hanyalah pengulangan pola lama dalam sejarah.

  • Revolusi Prancis 1789 meletus karena harga roti yang mahal. Dari antrean panjang untuk sepotong roti, lahir semboyan agung: “Liberté, Égalité, Fraternité.”
  • Arab Spring 2010–2011 dimulai ketika Mohamed Bouazizi, seorang pedagang kaki lima, membakar diri karena frustrasi ekonomi. Api dari tubuhnya menjalar dan membakar seluruh Timur Tengah.
  • Gerakan Solidarność di Polandia pada era 1980-an lahir dari para buruh galangan kapal yang mogok kerja karena harga kebutuhan pokok melonjak. Dari kota Gdańsk, gelombang itu mengguncang hingga meruntuhkan Uni Soviet.

Semua gerakan besar itu berangkat dari perut yang lapar. Politik bisa ditunda. Korupsi mungkin bisa ditoleransi untuk sementara waktu. Tetapi perut yang kosong akan selalu memaksa rakyat untuk turun ke jalan.

Dalam budaya Jawa, ada pepatah luhur: “Mangan ora mangan kumpul.” (Makan tidak makan yang penting berkumpul). Namun, jika urusan mangan (makan) sudah terganggu, maka kumpul bisa berubah menjadi protes. Dalam falsafah Bugis, ada konsep siri’ na pacce—harga diri dan solidaritas. Ketika rakyat merasa lapar dan harga dirinya diinjak, solidaritas itu dapat berubah menjadi badai.

Filosofi utamanya jelas: perut rakyat adalah fondasi legitimasi sebuah negara. Tanpa itu, stabilitas hanyalah fatamorgana.

Solusi di Meja Makan: Program Populis dan Tantangan Eksekusi

Presiden Prabowo sudah mampu meredam gelombang protes yang sempat membara di 32 provinsi. Para penyusup yang mendistorsikan aksi telah ditangani, dan pemicu yang membakar bara berhasil didinginkan.

Namun, bagaimana dengan rumput kering di ladang rakyat? Bagaimana dengan akar masalahnya: perut yang lapar, dompet yang semakin menipis, dan pekerjaan yang hilang?

Untuk mengatasi ini, sebenarnya Prabowo sudah datang dengan sebelas program besar—sebuah paket program populis yang dirancang untuk menjangkau rakyat kecil. Ada program makan siang gratis untuk anak-anak sekolah, Koperasi Merah Putih untuk menghidupkan ekonomi desa, serta Sekolah Rakyat, Rumah Rakyat, rehabilitasi sekolah, penuntasan tuberkulosis, cek kesehatan gratis, hingga pembangunan irigasi dan infrastruktur pangan.

Semua itu bagai oase yang dijanjikan di tengah padang yang gersang. Dana yang disiapkan pun bukan angka kecil: lebih dari Rp 446 triliun. Angka raksasa yang, bila benar-benar sampai ke meja makan rakyat, bisa mengubah wajah keseharian mereka.

Masalahnya terletak pada tingkat eksekusi. Di lapangan, berkah itu belum mengalir deras. Hingga September 2025, serapan anggaran dilaporkan masih di bawah 20 persen. Alasannya bisa dipahami: ini adalah program baru dengan skala raksasa, dijalankan oleh birokrasi yang mungkin masih canggung. Namun, rakyat yang menanti tak bisa hanya diberi penjelasan. Perut tidak akan kenyang oleh laporan teknis.

Kenaikan pajak PBB yang fantastis sebaiknya ditunda dulu, karena kondisi ekonomi rakyat sedang tidak baik-baik saja. Sebaliknya, percepat aneka program yang mengalirkan dana langsung ke masyarakat agar roda ekonomi bergerak kembali. Tanpa reformasi birokrasi yang radikal, dana raksasa dari program populis ini akan macet atau bocor di tengah jalan. Transparansi eksekusi, pemangkasan rente, dan digitalisasi distribusi dengan dukungan AI harus segera ditempuh. Hanya dengan cara itu, program populis dapat berubah menjadi realitas di meja makan rakyat.